Share

4

Sesampainya di ruang aman. Maria segera mengunci pintu rahasia tangga tadi. Ratha melihat ada peralatan medis di meja. Dia segera memeriksa lukanya, “Untungnya tidak tembus pelurunya. Tapi rompi anti peluru ini sudah tidak berguna.”

“Bagaimana dengan bala bantuanmu?” tanya Ratha.

“Mereka sedang beradu tembak di luar.” Jawab Maria.

“Pasti para polisi yang berpatroli sudah disogok olehnya untuk tidak muncul hingga pagi.” Kata Ratha. “Sekarang masih jam 10 malam lagi.”

“Bagus ada staples medis di kotak medis ini. Akhirnya aku bisa mengeluarkan peluru di pahaku ini.” Ratha mulai mengoprasi sendiri luka pada kakinya. Maria membantunya dengan pencahayaan. “Pengalaman sebagai prajurit elit membantuku juga akhirnya.”

“Apakah kamu dulunya polisi elit yang korup?” tanya Maria.

“Tidak. Aku prajurit elit dulunya. Hanya saja karena hutang aku menjadi mafia. Herman menawarku mahal.” Jawab Ratha. “Berikan staplesnya.”

“Menurutmu bagaimana selanjutnya?” tanya Maria.

“Bertahan di dalam sini. Aku akan melindungimu.” Jawab Ratha.

“Bisakah aku duduk di sampingmu?” tanyanya lagi.

Ratha mengijinkannya dan Maria duduk di sampingnya. Sofa tempat Ratha duduk memang muat untuk 3 orang. “Apakah bila aku tidak terlibat bisnis ilegal orang tuaku masih hidup?”

“Mungkin saja iya.” Jawab Ratha. “Kamu menyesali pilihanmu?”

“Tidak. Jika tidak begini aku dan keluarga tetap akan tinggal di pemukiman kumuh. Mungkin aku akan dijual untuk jadi pelacur.” Ucap Maria. “Peluk aku Ratha. Aku membutuhkannya sekarang.”

“Kamu gadis yang kuat.” Ratha memeluk Maria. Didengarnya tangisan dari Maria. Ponsel miliknya bergetar, Ratha melihat ponselnya. Dia tidak menggubris pesan dari Herman.

“Ponselmu bergetar angkat saja.” pinta Maria.

“Ini dari Herman. Mau lihat isi pesannya?” tanya Ratha.

Maria mengambil ponsel milik Ratha dan melihat bahwa Herman ingin berdamai. Dia juga memberi kabar bahwa polisi bekerja sama dengan Herman dan menangkap anak buah Maria. Dari monitor CCTV tersembunyi itu terlihat bahwa puluhan anak buahnya ditangkap oleh polisi. Opini publik pasti berpikir Maria lah yang jahat bila situasinya begini.

“Aku mau. Suruh dia bertemu di ruang kerja ayahku. Kamu berjaga di depan pintu.” Kata Maria dan membuka pintu rahasia lagi.

Ratha membalas pesan tersebut dan setuju untuk bertemu dengan Herman. Mereka kembali ke ruang kerja ayahnya yang sudah berantakan. Ratha menggeser meja dan rak buku yang menghalangi pintu utama. Ratha berjaga di luar pintu dan berdiri tegap.

Tak lama terdengar suara langkah kaki dari arah tangga lantai 3. Ratha mengenali mantan bosnya itu. Herman tersenyum, “Anjingku yang penurut ternyata goyah. Sayang sekali keponakanmu tewas.”

Ratha emosi dan menodongkan senjatanya ke kepala Herman. Namun di belakang Herman ada beberapa anggota kepolisian bersenjata lengkap. “Kamu melakukan ini buat apa Herman? Membuat dirimu tampil baik di mata masyarakat atas masalah yang kamu buat?”

“Kamu tahu aturan mainnya Ratha. Sebenarnya aku ingin membunuhmu karena kamu berkhianat kepadaku. Tapi aku memberimu kesempatan kedua kalau kamu mau. Putriku masih mencintaimu meskipun kamu tidak.” Herman menggeleng-gelengkan kepalanya. “Di mana Maria? Aku siap untuk membahas perjanjian damainya.”

“Padahal yang memulai pertempuran ini kamu dan kamu menuduh dia yang memulai?” Ratha membuka pintu.

Tampak Maria dengan muka penuh amarah melihat Herman. “Kamu mengkhianati aliansi kita. Dengan serangan tiba-tiba lagi. Kenapa? Tidak cukup bagimu kah untuk mendanai kampanye politikmu?”

“Aku ingin menguasai semuanya. Aku serakah itu saja. Aku menginginkanmu pergi dan tutup mulut.” Herman menjawab dan duduk di hadapan Maria.

“Pergi dari provinsi ini dan mulai lagi di daerah lain. Provinsi ini cocok bagiku untuk mengembangkan bisnis bagiku. Terpencil dan pemerintah pusat jarang melirik provinsi ini.” ucap Herman. “Jika kamu tidak mau aku akan membunuhmu.”

“Apa yang akan kamu rekayasa kepada publik jika tiba-tiba seorang wanita terkenal di provinsi ini meninggal?” tanya Maria. “Pendukung pasti tak tinggal diam. Kamu hanya menang karena berhasil membuat tentara dan polisi daerah di sini memihakmu.”

“Aku juga akan mengambil anjing setiaku kembali. Tidak kusangka hanya karena aku membunuh keponakannya dia membelot.” Herman melirik Ratha yang kini diborgol oleh para polisi.

“Aku menyerah Herman. Tunjukkan rencanamu yang sebenarnya.” Pinta Maria.

“Menikahlah denganku. Dengan begitu suaraku akan semakin kuat dan bisa menjadi gubernur di sini.” Kata Herman. “Kamu bisa mengelola bisnismu tapi diisi oleh orang-orangku.”

“Aku tidak akan menyentuhmu karena aku hanya menginginkan pengaruhmu terhadap bawahanmu dan orang-orang di daerah miskin.” Tambahnya.

“Politikmu kotor. Tepati janjimu, lalu bisa kamu bebaskan Ratha? Aku memintanya untuk jadi pengawal pribadiku.” Pinta Maria.

“Untuk Ratha? Tidak bisa, putriku menginginkannya.” Jawab Herman. “Terlebih lagi dia anjing kesayanganku.”

“Bisakah kamu menganggapku sebagai manusia?” tanya Ratha. “Aku bukan hewan!”

“Kamu perlu GS-90 kan? Obat yang sangat berguna bagi dirimu.” Herman mengeluarkan sebuah kotak suntik dari saku jasnya dan mendekati Ratha. Disuntikkannya obat tersebut kepada Ratha dan membuatnya menjadi tenang dan diam.

“Apa itu?” tanya Maria.

“Rahasia.” Jawab Herman. “Ada lagi?”

“Pernikahannya disembunyikan dari publik lalu aku tetap akan mendapat semua bisnisku yang legal. Dari toko kosmetik, spa, salon semuanya tetap aku pegang.” Ucap Maria.

“Disembunyikan dari publik, tidak bisa. Tapi yang lainnya bisa.” Balas Herman. “Naikkan Ratha ke mobilku. Putriku akan suka bermain dengannya.”

“Bawa Maria ke persembunyian nomer 5. Bawa putriku, juga Ratha ke sana.” Perintahnya lagi. “Lalu lenyapkan barang bukti yang ada di rumah ini.”

Kini perlahan-lahan semuanya mulai pergi meninggalkan bangunan ini. Para polisi membantu anggota mafia untuk bersiap membakar bangunan ini dan membuatnya seperti konsleting listrik. Semua media massa yang hendak meliput sudah disuap dan disuruh untuk memberitakan berita palsu tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Ratha yang lemas dimasukkan ke dalam mobil Herman. Seorang gadis berambut putih menunggunya di dalam sana. “Kekasihku kembali juga akhirnya. Terima kasih telah membawakannya pulang.”

“Lavrinda, hari ini kita pulang ke rumah nomer 5. Kamu akan bertemu dengan ibu barumu.” Herman masuk ke dalam mobil dan duduk di samping putrinya.

“OK!” balas Lavrinda dengan ceria.

“Karena Papa menepati janji. Kamu harus menepati janjimu juga.” Pinta Herman.

“Papa bisa mendapatkan filenya di penyimpanan kantorku. Akan aku ambil nanti,” balas Lavrinda. “Tapi hari ini aku ingin bermain dengan Ratha dahulu.”

“Filenya dahulu ya. Karena dengan itu Papa mau membangun kota ini dengan sempurna. Secara tidak langsung file itu berisi semua sertifikat tanah milik pribadi warga. Nanti Papa bisa menggusur mereka dan membangun sesuatu dengan pandangan utopia Papa.” Jawab Herman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status