Aku tersenyum sinis pada Ibu Anna. Tak sedikit pun tergerak hatiku untuk menolongnya.Bughhh.Sebuah tinju melayang ke rahangku dengan keras, hingga membuatku jatuh tersungkur. Sontak aku menoleh. Mata melebar seraya memegang sudut bibirku yang koyak dan mengeluarkan sedikit darah.Aku tidak menyangka mereka berdua akan pulang secepat ini, dan menghentikan aksiku menculik Naira. Saat mereka tiba aku baru saja keluar dari gerbang dan ingin membawa Naira ke mobil. Tangan Arman dengan cepat merebut Naira dari gendonganku dan memberikannya pada Indah. Setelah itu dengan penuh amarah ia melayangkan tinjunya kembali padaku, hingga perkelahian diantara kami pun tak terelakkan. Bughhh.Satu tinju aku berikan sebagai balasan atas tinju yang Ia berikan padaku, namun pria itu begitu lincah. Ia kembali berhasil membalas tinjuanku barusan, adu jotos tak dapat dihindari lagi diantara kami. Walau pada akhirnya, aku yang berulang kali kena tinju tangan pria itu hingga membuat wajahku yang tampan me
Aku tidak habis pikir, bagaimana Mas Dito begitu berani datang ke rumah ini dan berniat mengambil Naira dariku. Aku yakin ada sesuatu yang sedang ia rencanakan. Jika tidak, tidak mungkin ia begitu ngotot ingin rujuk kembali padaku. Karena Naira? Itu tidak akan mungkin, karena aku tahu pasti siapa Mas Dito.Aku mendekati Naira yang sedang duduk manis di sebelah Mas Arman. Kuusap kepala putriku lembut, sudah tak sabar mulut ini ingin menanyakan perihal kejadian tadi padanya. Apa Mas Dito memaksa dan berlaku kasar pada putriku tadi. Sebab aku melihat putriku menangis di gendongannya.Naira gadis kecilku ini, adalah anak yang tidak mudah dekat dengan orang lain. Bahkan ia cendrung membantasi diri terhadap orang luar. Dengan Mas Arman saja ia bisa dekat, karena ia mengira Mas Arman adalah ayahnya."Naira, Bunda boleh tanya sesuatu, gak, sayang?" ujarku lembut. Mas Arman menatapku bingung. Mungkin ia penasaran dengan pertanyaan yang ingin aku sampaikan. Entahlah ..."Apa, bunda? Bunda mau t
Setelah sekian lama bergelut dengan pikiran yang berkecamuk, serta gemuruh di dalam hati. Akhirnya kuusap kasar air mata ini, lalu kuciumi puncak kepala putriku dengan sayang. Aku sudah membuat sebuah keputusan, aku tak bisa hidup dalam ketakutanku seperti ini terus. Putriku berhak bahagia, ia berhak hidup dengan keluarga yang utuh. Ya ... aku tak boleh egois lagi. Apa pun yang terjadi nanti akan aku tanggung. Asalkan putriku bahagia, ia bisa tersenyum riang saat merasakan apa yang dirasakan teman-temannya."Naira mau Ayah dan bunda tinggal bersama? Baiklah, Bunda dan Ayah akan tinggal bersama. Asalkan ..." Aku menggantung ucapanku, ingin melihat bagaimana reaksi gadis kecilku dan benar saja. Naira langsung menghentikan tangisnya dan memandang ke arahku penuh harap."Asalkan apa Bunda?" tanganya dengan mata bulat yang berkaca-kaca."Asalkan Naira janji sama Bunda, tidak akan jadi anak nakal lagi! Naira tidak boleh dekat-dekat dengan orang yang tidak dikenal, dan jangan terima pembe
"Saya terima nikah dan kawinnya Indah Savitri binti Heru Sudrajat, dengan mas kawin satu set perhiasan seberat 50gram dan seperangkat alat sholat dibayar, TUNAI!" "Sah, para saksi?""Sah!""Sah!" Dengan satu tarikan nafas, Mas Arman berhasil mengucapkan kalimat sakral yang mengikatku seumur hidup, menjadikanku istrinya yang sah. Mas Arman menepati janjinya, pada Naira untuk bisa tinggal di rumah ini dalam 3 hari. Dengan segala persiapan yang terkesan dadakan, tapi pantas akhirnya pernikahan ini terlaksana dengan khidmat.Pernikahan ini hanya dihadiri sanak saudara serta tetangga-tetangga dekat komplek saja. Doa untuk para pengantin dipanjatkan, aku tak kuasa menahan haru, akhirnya air mata pun jatuh ke pipi. Begitu pun dengan Ibu.Saat ini perasaanku bercampur aduk, ada rasa sedih, juga ada rasa bahagia yang melebur jadi satu.Dulu saat menikah dengan Mas Dito, aku berharap pernikahan yang kujalani saat itu, adalah pernikahan sekali seumur hidup. Namun nyatanya, pernikahan itu h
"Heh ... aku tidak menyangka, akhirnya Mas Arman menikah denganmu! Aku heran, apa yang ia lihat darimu?" ujar Nina dengan nada yang terdengar sinis. Ia tiba-tiba datang menghampiriku, yang sedang berdiri di sudut meja, mengambil minuman.Sorot matanya memindai diriku dari atas hingga kebawah, lalu kembali lagi menatap wajahku dengan senyum mengejek. Seolah aku adalah wanita yang sangat buruk dan tak pantas di matanya. Aku tidak tahu kenapa sejak dulu, wanita ini selalu membenciku. Rasa-rasanya, aku tidak pernah melakukan kesalahan ataupun berbuat sesuatu yang menyakiti hatinya."Memangnya kenapa? Aku tak mengerti apa yang sedang kamu maksud?" jawabku santai. Karena aku memang malas meladeni, aku tak mau moodku rusak, hingga menghancurkan sukacita yang kurasakan di hari bahagiaku ini. Baru saja aku mau melangkah pergi, Nina dengan cepat mencekal tanganku erat, sehingga membuat lenganku sakit. Aku menepis tangannya kasar, tapi Nina malah melangkahkan kakinya, mendekatkan dirinya samp
Pov. Nina"Kamu ini bagaimana sih, Mas! Bukannya belain istri, tapi malah nurut omongan kakakmu itu. Patuh banget kamu jadi adik?!" ocehku kesal.Kami masih di dalam mobil, masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun, hatiku sudah tak sabar untuk mengomel pada suamiku ini tentang apa yang terjadi tadi."Kamu yang apa-apaan, nyiram Indah pakai minuman segala. Kamu mau mancing keributan, Nin? Jangan kekanak-kanakan, deh. Kamu itu sudah dewasa, sudah jadi seorang Ibu." ujar Mas Rio. Tatapan matanya tetap fokus menatap ke jalan. Aku mencebikkan bibir. Kekanak-kanakan dia bilang?"Mancing keributan bagaimana, Mas? Memang Indahnya aja, tuh, yang sensi sama aku. Dia juga udah ngata-ngatain aku yang tidak-tidak tadi. Kamu aja yang gak denger! Seharusnya kamu itu belain aku," sungutku. Aku berbohong sedikit agar Mas Rio ikut membenci Indah.Mas Rio terlihat melirikku sekilas lalu tersenyum kecut. "Aku yang lebih mengetahui siapa kamu, luar dalam, Nina. Aku juga tahu bagaimana bencinya Istriku in
Seperti biasa, pagi ini aku bangun, mandi dan berdandan rapi. Lalu dengan santai berjalan ke meja makan. Selama menikah aku tinggal di rumah mertua, aku tidak pernah bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Untuk apa? Toh ... sudah banyak pelayan di rumah ini. Enaknya punya mertua kaya, ya, gini. Apa-apa tinggal minta dan perintah."Pagi, Ma," sapaku manis pada Ibu mertuaku yang baik. Setelah seminggu menginap di rumah menantu barunya itu, akhirnya Mama pulang juga. Aku menggeser kursi yang ada di antara Mas Rio dan putraku, Kevin. Kevin tampak asik menikmati sarapannya, tanpa memperdulikan aku sebagai Ibunya yang datang."Pagi," jawab Mama singkat. Mertuaku memang seperti itu, ia selalu irit bicara saat bersamaku. Jika tidak penting-penting sekali, maka dia hanya akan diam. Sangat berbeda saat bersama Indah. Membuat hati ini cemburu melihatnya, dan sialnya lagi. Indah justru sudah menjadi menantunya.Aku mengambil nasi goreng, meletakkannya ke piring, menyuapkan nasi ke mulutku sambil m
Tak terasa sudah sebulan waktu berlalu. Itu artinya, sudah sebulan pula aku menyandang status Nyonya Arman Anggara. Sejak menikah dengan Mas Arman, aku memilki rutinitas tambahan setiap akhir pekan; yaitu berkunjung ke rumah Ibu mertua dan makan bersama. Seperti yang aku dan Mas Arman lakukan saat ini. Menjelang makan siang, kami tiba di rumah besar ini. Aku dan Naira turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu masuk. Aku jadi teringat kejadian dulu, saat aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Indah si penjual gado-gado. Namun kenyatannya sekarang, aku menginjakkan kakiku di rumah ini sebagai menantu tertua Bu Narmi. Aku tidak menyangka jika sekarang, beliau adalah Ibu mertuaku. Rasanya semua itu masih terasa seperti mimpi saja.Tentu saja, kenyataan itu membuatku semakin bahagia. Bu Narmi selain baik juga sangat sayang pada Naira, ia juga tidak pernah membedakan antara Naira dan Kevin. Hingga gadis kecilk