"Heh ... aku tidak menyangka, akhirnya Mas Arman menikah denganmu! Aku heran, apa yang ia lihat darimu?" ujar Nina dengan nada yang terdengar sinis. Ia tiba-tiba datang menghampiriku, yang sedang berdiri di sudut meja, mengambil minuman.Sorot matanya memindai diriku dari atas hingga kebawah, lalu kembali lagi menatap wajahku dengan senyum mengejek. Seolah aku adalah wanita yang sangat buruk dan tak pantas di matanya. Aku tidak tahu kenapa sejak dulu, wanita ini selalu membenciku. Rasa-rasanya, aku tidak pernah melakukan kesalahan ataupun berbuat sesuatu yang menyakiti hatinya."Memangnya kenapa? Aku tak mengerti apa yang sedang kamu maksud?" jawabku santai. Karena aku memang malas meladeni, aku tak mau moodku rusak, hingga menghancurkan sukacita yang kurasakan di hari bahagiaku ini. Baru saja aku mau melangkah pergi, Nina dengan cepat mencekal tanganku erat, sehingga membuat lenganku sakit. Aku menepis tangannya kasar, tapi Nina malah melangkahkan kakinya, mendekatkan dirinya samp
Pov. Nina"Kamu ini bagaimana sih, Mas! Bukannya belain istri, tapi malah nurut omongan kakakmu itu. Patuh banget kamu jadi adik?!" ocehku kesal.Kami masih di dalam mobil, masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun, hatiku sudah tak sabar untuk mengomel pada suamiku ini tentang apa yang terjadi tadi."Kamu yang apa-apaan, nyiram Indah pakai minuman segala. Kamu mau mancing keributan, Nin? Jangan kekanak-kanakan, deh. Kamu itu sudah dewasa, sudah jadi seorang Ibu." ujar Mas Rio. Tatapan matanya tetap fokus menatap ke jalan. Aku mencebikkan bibir. Kekanak-kanakan dia bilang?"Mancing keributan bagaimana, Mas? Memang Indahnya aja, tuh, yang sensi sama aku. Dia juga udah ngata-ngatain aku yang tidak-tidak tadi. Kamu aja yang gak denger! Seharusnya kamu itu belain aku," sungutku. Aku berbohong sedikit agar Mas Rio ikut membenci Indah.Mas Rio terlihat melirikku sekilas lalu tersenyum kecut. "Aku yang lebih mengetahui siapa kamu, luar dalam, Nina. Aku juga tahu bagaimana bencinya Istriku in
Seperti biasa, pagi ini aku bangun, mandi dan berdandan rapi. Lalu dengan santai berjalan ke meja makan. Selama menikah aku tinggal di rumah mertua, aku tidak pernah bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Untuk apa? Toh ... sudah banyak pelayan di rumah ini. Enaknya punya mertua kaya, ya, gini. Apa-apa tinggal minta dan perintah."Pagi, Ma," sapaku manis pada Ibu mertuaku yang baik. Setelah seminggu menginap di rumah menantu barunya itu, akhirnya Mama pulang juga. Aku menggeser kursi yang ada di antara Mas Rio dan putraku, Kevin. Kevin tampak asik menikmati sarapannya, tanpa memperdulikan aku sebagai Ibunya yang datang."Pagi," jawab Mama singkat. Mertuaku memang seperti itu, ia selalu irit bicara saat bersamaku. Jika tidak penting-penting sekali, maka dia hanya akan diam. Sangat berbeda saat bersama Indah. Membuat hati ini cemburu melihatnya, dan sialnya lagi. Indah justru sudah menjadi menantunya.Aku mengambil nasi goreng, meletakkannya ke piring, menyuapkan nasi ke mulutku sambil m
Tak terasa sudah sebulan waktu berlalu. Itu artinya, sudah sebulan pula aku menyandang status Nyonya Arman Anggara. Sejak menikah dengan Mas Arman, aku memilki rutinitas tambahan setiap akhir pekan; yaitu berkunjung ke rumah Ibu mertua dan makan bersama. Seperti yang aku dan Mas Arman lakukan saat ini. Menjelang makan siang, kami tiba di rumah besar ini. Aku dan Naira turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu masuk. Aku jadi teringat kejadian dulu, saat aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Indah si penjual gado-gado. Namun kenyatannya sekarang, aku menginjakkan kakiku di rumah ini sebagai menantu tertua Bu Narmi. Aku tidak menyangka jika sekarang, beliau adalah Ibu mertuaku. Rasanya semua itu masih terasa seperti mimpi saja.Tentu saja, kenyataan itu membuatku semakin bahagia. Bu Narmi selain baik juga sangat sayang pada Naira, ia juga tidak pernah membedakan antara Naira dan Kevin. Hingga gadis kecilk
"Kamu berani menamparku, Indah! Lancang sekali kamu!" hardik Nina dengan mata yang mulai memerah menahan amarah. Ia Memegang pipinya yang mungkin sekarang terasa panas. Bahkan terdapat cap lima jariku di pipi putihnya."Ada apa ini, ribut-ribut? Suara kalian terdengar hingga ke dalam." suara Mas Arman terdengar mengagetkan kami. Sontak aku dan Nina menoleh. Dari sudut mata aku melihat Nina mulai memasang wajah sedihnya. Pintar sekali ia memainkan ekspresi wajah, bagaikan seorang aktris saja.Mas Arman datang bersama Mas Rio dan juga Mama. Mereka bertiga melihat ke arah kami dengan tatapan bingung."Mbak, kamu kok tega menampar aku mbak! Aku kan bicara baik-baik, Supaya Naira jangan Nakal sama Kevin. Kasihan anak aku kalau dipukul Naira terus. Lihat Mas, Naira tadi mukul Kevin hingga putraku menangis, aku hanya menegur istrimu, tapi istrimu tidak terima dan menampar aku," ucapnya dengan semua kebohongan yang ia ciptakan.Suara N
Setelah kejadian itu, aku memilih hanya duduk di dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil memandang rumput yang bergoyang dari balik jendela.Entahlah, apa yang merasuki aku saat ini. Mulut ini terasa terkunci. Walau hanya sekedar untuk membela diri. Karena bagiku, berdebat dengan manusia bermuka dua tidak akan selesai. Berdebat dengan orang gila, tidak akan selesai. Jika aku ingin menghadapi orang bermuka dua, maka aku harus lebih bermuka dua lagi daripada dia. Jika aku ingin mengahadapi orang gila, maka aku harus lebih gila lagi daripada dia.Sedangkan aku ... aku tidak mau melakukan itu. Semua itu hanya akan membuatku sakit kepala dan menimbulkan masalah baru."Indah, ada apa denganmu? Kenapa kamu diam saja, saat Mas bertanya, tadi?" ujar Mas Arman di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Rupanya ia menyusulku. Aku menoleh sejenak, lalu menatap ke arah jendela kembali.Telingaku mendengar he
Semua yang terjadi antara aku dan Nina, seolah berlalu begitu saja, amarahku juga sudah hilang entah kemana. Setelah aku pikir-pikir, bodoh sekali aku harus melukai hatiku sendiri hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat.Mama, Mas Arlan dan Mas Rio, tidak pernah mengungkit-ungkit tentang kejadian itu. Bahkan saat sarapan tadi wajah mereka biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Entahlah. Namun, bukan berarti, hubunganku dan Nina juga telah membaik. Justru wanita itu sekarang semakin membenciku.Aku memilih duduk di sofa ruang tamu, menemani Naira yang sedang santai menonton kartun kesukaannya. Mas Arman dan Mas Rio asik main catur di taman belakang. Seperti ini lah rutinitas yang kami lakukan di hari minggu. Sekali-sekali jalan jika waktu dan keadaan memungkinkan."Indah, ini Mama buatkan minuman herbal untuk kamu," ujar Mama sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku. Ada segelas minuman di tangannya. Ukuran gelas t
"Kamu ya, Nina! Makin tua, bukannya berubah. Malah semakin menjadi-jadi saja kelakuan!" omel Mama. "Nggak! Bukan begitu Ma. Bukan seperti yang Kevin bilang ...," "Maksud kamu Kevin bohong, gitu?" potong Mama cepat, Membuat Nina glagapan."Kevin gak bohong, kok, Oma. Sumpah!" sahut Kevin polos dengan menaikkan dua jarinya di hadapan Mama, membentuk angka v."Kevin! Kamu ya, hih!" Nina menatap Kevin geram, membuat bocah itu beringsut kedalam dekapan neneknya. Mama kembali menjelitkan matanya ke arah Nina. Membuat Nina menelan ludah. Nina memang sedikit takut dengan Mama. Rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal, melihat ekspresi wajah Nina yang panik, terlihat sangat lucu. "Mama benar-benar gak suka melihat tingkah kamu yang bar-bar begini, Nina. Bisa gak, mulutmu itu di kontrol sedikit di depan anak-anak! Lihat Kevin, jadi bertanya hal yang tidak pantas untuk anak seusianya!" omel Mama lagi. C