Share

8. Akibat bersamamu

~Pelangi hadir mempermanis setelah hujan. Senja terlukis mengukir nama ketika langit mengizinkan menampakkan rupawannya~

                                             ***

"Mengenalmu saja tidak, kenapa aku harus memanggilmu Arjuna." Pekik Amanda.

"Baiklah, aku akan memprediksimu suatu hari nanti kau akan memanggilku Arjuna." 

Kebiasaan Amanda yang tak memahami perasaan orang lain, beralih pada Roy yang sengaja meninggalkannya di tepi pantai. Amanda menatap sendu ombak pantai. Ia masih terbayang tatapan mata itu dan membandingkannya dengan wajahnya. Mencoba memahami perasaannya. 

Amanda yang bisa merasakan liburan baru-baru ini bersama teman-temannya berbeda halnya dengan Arafa. Ia harus melewati beberapa ujian untuk kelulusannya serta upaya agar bisa masuk ke perkuliahan impian. Memasuki bulan maret, Arafa berjuang menyelesaikan ujian nasionalnya yang berbasis komputer. Para peserta melaksanakannya dengan khidmat. Masih beruntung Arafa masuk jurusan ips, sebab ia paling benci pelajaran menghitung. Apalagi ia gemar sekali membaca dan menonton drama korea. 

Para peserta akhirnya bisa bernapas lega setelah satu jam pada sesi pertama telah usai dilaksanakan.

"Arafa, kau jadi mengambil jurusan apa?" Teman  yang berjalan bersamanya, namanya Merry. Mereka sering bersama saat pulang menunggu jemputan jika Papa ada waktu untuk menjemput. Jika tidak, ya dia terpaksa memesan taksi.

"Aku ingin jurusan perfilman." 

"Wow, kau ingin jadi sutradara?"

"Iya, aku ingin membuat sebuah film tentang kehidupan permaisuri yang mencari putra mahkota." 

"Dan, putra mahkotanya adalah Roy." Merry mulai menggoda. 

"Jangan sebut nama itu." Tukas Arafa. Mereka duduk di kursi halte bus. Karena hari ini, Papa sedang ada persidangan. Apesnya juga harga taksi online mulai melonjak sedang Arafa masih belum mendapat pekerjaan. 

"Kenapa?" Merry menatapnya kasihan.

"Dia sudah tidak peduli padaku."

"Dia masih peduli." Kata Merry dengan yakin. Arafa langsung menatapnya kaget.

"Peduli bagaimana?"

"Dia pernah menelpon, menitip salam untukmu, agar kau tetap mencintainya jika dia tidak ada dan berubah di hadapanmu." 

"Berubah?" 

"Aku tidak tahu maksudnya."

"Kau masih memiliki nomornya?"

"Sudah tidak aktif."

Arafa sontak menangis histeris. Orang-orang yang sedang menunggu di halte bus, keheranan melihatnya. Merry kebingungan sampai bus datang, ia memapah pelan-pelan naik bus. Diikuti yang lain saling berbisik membicarakan Arafa. Merry mendudukkannya di sebelah jendela bus. Ia masih menangis. Mengambil tisu dari tasnya untuk menghilangkan ingusnya. Ia juga terburu-buru merogoh ponselnya. Ponsel sudah didapat, langsung menelpon Amanda.

"Roy masih mencintaiku kak, sungguh." Tembak Arafa menusuk hati Amanda. 

"Kenapa bisa?"

"Kak, tolong selidiki keberadaan Roy. Bawa dia ke hadapanku."

"Iya akan kakak usahakan."

Amanda tertunduk kebingungan. Pria yang selama ini mengejarnya masih mencintai adiknya. Banyak sekali lelaki buaya di dunia ini. Ponsel Amanda berdering lagi. Ia mengira Arafa yang menelpon, ternyata Pengacara Bahrun. 

"Apakah kau punya waktu?"

"Punya."

"Bisa kita ketemuan?"

"Saya lagi liburan. Sebelumnya saya minta maaf tidak memberi kabar karena ini mendadak. Apa yang ingin kau katakan?"

"Saya mendapat kabar kalau Roy menghilang. Bagaimana saya bisa membela apalagi hakimnya Papamu sendiri." 

"Iya nanti saya coba carikan infonya."

Ponsel berdering lagi ketiga kalinya. Kali ini, giliran Papanya. Dalam hati Amanda sudah bisa menebak kalau Papanya akan membahas Roy.

"Iya Pa? Masalah Roy?" 

"Pasti kau sudah dihubungi Pengacara Bahrun. Kau bisa mengirim nomor ponsel Roy?"

"Sudah tidak aktif Pa." 

Papa kecewa dan mengucapkan salamnya dengan nada menyerah. Amanda sungguh geram dengan sandiwara Roy. Pria yang menyebalkan sedari dulu. Belum sempat kembali ke tenda, ponsel lagi dan lagi berdering. Mamanya yang menelpon. Ini sudah tidak bisa menebak lagi karena sudah pasti membahas Roy. 

"Iya Ma?" Suara Amanda nampak lelah. 

"Arafa tadi menelpon kalau Roy masih mencintainya. Apa kau sudah tahu keberadaannya?"

"Iya Ma. Nanti akan ku carikan." Amanda makin kesal dan langsung menutup teleponnya. Ia sudah tidak tahan lagi dengan kasus penipuan ini. Ia melipat lengan bajunya sampai ke atas siku. Memanaskan kepalanya kemudian berlari menghampiri Roy yang menikmati sisa ikan bakar tadi. 

"Roy....!!!" Teriak Amanda ketika berhenti berjarak lima meter darinya. Roy menoleh. Mengamati tatapannya yang sedang emosi.

"Gawat." Gumam Roy cemas. 

"Kau....!!!" Amanda berteriak sepanjang pelariannya. Mengangkat kakinya ke udara. Dan....Brakkkk!!! Amanda menendang pipinya. Roy terjatuh pingsan. Para kolega berlarian menggotong Roy ke tendanya. Tatapan peringatan dari Agen Andara untuk Amanda. 

"Kau bangga melakukan hal konyol seperti itu?" Tukas Agen Andara menohok hati Amanda. Ia sengaja mengajak Amanda ke tepi pantai sekalian menenangkan hatinya. 

"Maaf." Ucap Amanda menundukkan kepala.

"Kau harus ingat, kita adalah kelompok Detektif Jack's Angels. Malaikat tanpa sayap yang siap membantu dengan totalitas. Bukan kekerasan." 

"Maaf." 

"Aku menerima permintaan maafmu asalkan kau harus menjalani hukumanmu."

"Iya Pak."

"Kau harus merawat Arjuna sampai sembuh." 

"Apa??? Tapi pak, dia sumber permasalahan." 

"Atau kau keluar dari Detektif?"

"Baik, Pak." 

Agen Andara meninggalkan Amanda sendirian. Ia menginjak-injak pasir pantai dengan kekesalan yang meluap-luap. Ia terpaksa melihat keadaan Roy di tenda. Saat mendatanginya, Para kolega pria bergegas keluar. Membiarkan mereka berdua saling bicara.

"Bagaimana kabarmu?" Roy bertanya tersenyum memaksa. Masih ada bekas luka tendangannya di tepi mulut. 

"Harusnya aku yang bertanya."

"Baiklah, kau yang bertanya."

"Apa kau sudah membenciku?"

"Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan."

"Jawab pertanyaanku." Melihat tatapan dingin itu, Roy tersenyum.

"Tidak."

"Kenapa?" 

"Karena aku masih ingin bersamamu."

"Aku tidak bisa."

"Ya aku sudah tau. Karena kau lebih penakut dibanding aku."

Kalimat Roy menohok. Amanda termenung dengan perkataannya. Hafal betul nada suaranya. Apakah pertemuan mimpi itu awal dari perpisahannya sepuluh tahun yang lalu? Roy bukanlah pecundang.

                                        ***

Roy menepati janji para kolega menonton filmnya malam ini. Maka, mereka segera mempersiapkan layar lebar serta proyeknya. Roy bermodal flashdisk. Sementara salah satu dari mereka meminjakannya layar lebar dan laptop. Elang sebagai pemrogram, berada di garda terdepan mensukseskan jalannya program menonton film. Film berjudul Ketika Pelangi Memeluk Senja siap ditonton. 

Seorang pemuda biasa berjalan menyendiri melintasi jalan. Menghitung berapa kilo per jam bisa sampai ke istana sang putri raja. Memperlambat perjalanan takut sang raja akan tahu dan memarahinya karena sudah berani mendekati anaknya. 

Dia adalah senja yang selalu datang saat hampir malam. Dan wanita idamannya adalah Pelangi yang  selalu hadir mewarnai ketika senja dihujankan air mata. Apakah Pelangi bisa memeluk senja meski air mata menhujaninya? 

"Aku tidak disana. Tapi lihatlah tatapannya." Seru Roy memberi kata kunci dalam filmnya pada Amanda. 

Amanda mengamati tatapan pria senja itu. Sesekali ia memandang wajah Roy yang di sampingnya. Ia mengenali tatapan itu. Amat janggal jika wajah mereka berbeda. Jika di depannya memang Arjuna, lantas siapa pria yang ia temui di rumah besar itu? Atau dia mengaku sebagai Roy? 

"Sekarang kau adalah Klienku." Ujar Amanda berbisik. 

"Kenapa?" Roy menatapnya penuh arti.

"Karena aku membutuhkanmu." 

                                             ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status