Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang
"Aku dilamar. Menjadi...surrogate sexual partner." "Apa?!!" Matshushima membuang sampahnya asal lalu duduk di sebelah dan menatapku lekat. "Apa kamu sangat kekurangan uang sekali sampai melakukan hal ini? Katakan Jayka?" Aku mengangguk. "Astaga Jay! Ada apa denganmu? Itu....itu menjijikkan sekali. Memberi kepuasan orang-orang bertubuh tidak sempurna. Apa gaji menjadi TKI dan DJ jika digabungkan tidak cukup banyak?" "Aku butuh lebih banyak." Matshushima menggeleng. "Kalau kamu tahu realita di lapangan, kamu tidak akan menerimanya. Bersama perempuan aneh.... lalu bercinta. Dimana otak warasmu Jay?" Dia menunjuk pelipisku. "Kami tidak bercinta, hanya memuaskan dia saja. Dan kedatanganku kemari untuk mendengar pendapatmu Shima, bukan mendapat penghakiman." Matshushima menyandarkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas kasar. "Apa yang ingin kamu dengar selain penghakiman?" "Aku membutuhkan uang banyak untuk membeli tanah di Indonesia. Aku ingin membanggakan keluargaku disana.
Kehadiran Harumi di club berada di luar perkiraan. Dia hanya berkata akan keluar bersenang-senang dengan para sahabatnya tapi tidak menyangka mereka akan menghabiskan waktu itu disini, di Yokoha Club. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari dalam club. Apalagi Harumi sangat mengenal postur tubuhku meski kututupi menggunakan hoodie. Lalu aku kembali ke ruangan Matsushima dengan terburu-buru. "Kamu harus menolongku!" "Ada apa?" Tanyanya polos sambil merapikan sofanya. "Harumi di dalam club. Aku tidak bisa melewatinya begitu saja Shima!" Matsushima tertawa sambil memegangi perutnya. "Kamu mau aku melakukan apa? Kamu takut ketahuan ya?" "Diamlah!! Aku harus lewat mana?!" Tanyaku geram. "Minaki sudah menunggu." Dia masih tertawa. "Tenang kawan. Tenang. Selirmu sudah tidak tahan ya?" Aku gusar memikirkan cara keluar. "Tenang katamu!?" "Jangan lupa komisi untukku yang sudah berbaik hati membantumu Jay." Matsushima berjalan keluar ruangan lalu tiba tiba.... Hlap! Suasana clu
Sudah ada lima menit lamanya Minaki memelukku erat. Tangisnya juga sudah mereda. Angin malam yang berhembus melewati balkon kamar 1212, membuat rambut rapi Minaki sedikit terburai. Dan aroma wanginya terbang memasuki indera penciumanku. Rambut Minaki kurapikan seadanya dengan lembut. Seperti sentuhan kasih sayang seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya. Perlahan Minaki merenggangkan pelukan namun tubuhnya tetap menempel di dadaku. Wajahnya mendongak menatapku. "Apa?" Dia tersenyum malu lalu menggeleng. Apakah aku boleh menyebutnya aneh? "Kamu kenapa senyam senyum? Apa ada yang lucu dengan wajahku?" Obrolan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku harus pintar mengolah suasana dan kondisi saat kami bersama. Atau lebih tepatnya saat Minaki butuh diperhatikan. "Kemarin kamu bilang butuh waktu untuk beradaptasi dengan hubungan ini. Aku senang kamu beradaptasi dengan cepat Jayka." "Aku sangat mengidolakanmu dan sering memutar videomu saat mengerjakan tugas kuliah.
Laki-laki adalah makhluk terpintar saat merayu perempuan demi harta. Kami akan berusaha melalui jalan apa saja asal harta yang sudah berada di depan mata bisa berada dalam genggaman. Bahkan kami tidak perlu bahkan peduli dengan apa itu cinta. Minaki merona malu dan tersenyum bahagia saat aku menawarkan diri mencium pipinya. Jelas terpancar kebahagiaan itu dari tatapan matanya. "Boleh." Ucapnya lirih. Aku mendekatkan wajah ke pipinya yang putih halus dan wangi, lalu mengecupnya sekilas. Tidak masalah bagiku. "Terimakasih cantik." Bisikku. Aku memang perayu gila harta!!! Pintar sekali berakting di depan perempuan malang seperti Minaki demi meraih uangnya. Minaki mengangguk lalu mengusap lembut pipinya bekas ciumanku. "Aku sangat bahagia Jayka. Terimakasih banyak kamu mau belajar banyak demi aku." "Akan kulakukan apapun itu demi kamu." "Ini ciuman pipi pertama dalam hidupku Jayka." Aku terkekeh. "Aku bahagia karena menjadi yang pertama mencium pipi ranum ini." Ketika jarum
Begitu sampai di asrama setelah makan malam yang benar-benar malam dengan Minaki, kusembunyikan dengan cepat ransel berisi uang 120.000 Yen itu ke dalam lemari. Lalu kutumpuki dengan baju-baju agar lebih aman kemudian kukunci rapat. Aku kembali keluar kamar dengan cepat memakai sepatu. Saking tergesa-gesanya kakiku sampai sulit masuk. "Sialan!!" Andai ini bukan Jepang, aku pasti sudah berlari menggunakan sandal jepit keluar asrama. Tapi di musim gugur seperti ini, cuaca di Jepang mencapai 10 derajat. Sudah cukup dingin sekali bagi manusia tropis sepertiku. "Kemana Jak?" Tanya Rinto baru pulang entah dari mana. "Keluar bentar." Ucapku sambil memakai sepatu dengan benar. "Jam segini?" Aku mengangguk. "Aku berangkat." Jaket tebal yang kupakai cukup menghangatkan tubuh. Ditambah aktivitas berlarian menuju halte bis terakhir yang menuju Nichinan, tempat asrama Harumi berada. Kemarin aku sudah berjanji akan menemaninya di asrama namun aku lebih memilih menemani Minaki di resto
Sepulang dari pabrik, aku langsung mandi di asrama dan berganti pakaian. Malam ini tidak ada jadwal manggung karena belum jadwalku. Jadi aku berpakaian biasa saja menuju Yokoha Club. "Kemana lagi Jak?" Tanya Rinto begitu melihatku mengambil sepatu. "Setiap hari keluar terus. Nggak capek?" Nama asliku Jaka Prayoga, teman-teman TKI memanggilku Jaka. Sedang saat menjadi DJ aku memiliki nama panggung DJ Jayka. "Ke club Rin. Ada urusan bentar." "Aku heran deh Jak. Setiap hari kamu sibuuuk melulu. Biasanya kamu nggak serepot ini." Aku hanya tersenyum. "Nanti aku traktir kalau gaji DJ-ku udah keluar." "Naaah gitu dong." Jika sudah berhubungan dengan makanan atau traktir mentraktir, sesi interogasi Rinto pasti akan berakhir dengan sendirinya. Aku tidak mau teman-teman asrama sesama TKI tahu profesi baruku sebagai surrogate partner Minaki. Bagaimana pun juga, hal itu masih belum terlalu diterima dengan baik oleh lingkungan Jepang meski yayasan Blue Hands telah berdiri sejak tujuh t
Aku mengajak Matshusima pergi ke Fukuoka, salah satu kota besar yang ada di Jepang. Bersebelahan dengan prefektur Miyazaki, tempatku bekerja sebagai TKI. Kebetulan sekarang hari minggu, pabrik sedang libur. Ini kesempatan bagiku untuk segera mengirim uang 120.000 Yen itu pada bapak di Indonesia. Di Fukuoka, ada sebuah bank yang menawarkan jasa penukaran mata uang dan melayani pengiriman uang ke luar negeri. Berhubung nominal yang harus kutransfer sangat banyak, jadi aku mengunjungi bank ini. Namanya Travelout Japan. Jarak Kiyotake menuju Fukuoka yang lumayan jauh, jadi kami menaiki bis tujuan Stasiun Besar Shin-Yatsushiro yang menghubungkan prefektur Miyazaki dan Fukuoka. Lalu menaiki Kyusu Shinkansen Sakura 550 Sakura Shin-Osaka. Total lama perjalanan darat menggunakan transportasi umum mencapai 4,5 jam. Sebenarnya Matshusima enggan kuajak ke Fukuoka, mengingat semalam dia baru saja berolahraga malam dengan gadis belianya hingga menjelang pagi. Matshusima sinting! Aku tetap