enjoy reading...
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
Kami semua duduk di meja makan yang tidak besar ini selepas aku pulang sholat magrib dari mushola dekat rumah. Aku sempatkan berdoa dengan khusyuk agar keinginanku ini direstui bapak ibu. Semoga melalui restu mereka nantinya bisa membawa keberhasilan untukku. Aku harus memberanikan diri mengutarakan apa yang menjadi niat baikku ini. Bahkan aku siap membujuk mereka demi mendapat restu. Sekali lagi, aku melakukan ini demi keluarga. "Pak, bu. Aku mau bicara." Semua yang masih melahap menu makan malam pun berhenti lalu menatapku. "Apa Jak?" Tanya bapak. "Pak, bu, restui keinginanku. Aku mau berangkat jadi TKI." Raut wajah bapak dan ibu langsung berubah terkejut. Pun dengan kedua adik angkatku. Reaksi seperti ini sudah kuduga sebelumnya. "Nak, apa maksudnya?" Tanya ibu. "Ibu tau Pak Man adiknya Pak Yit kan?" Ibu mengangguk. "Aku ingin sukses seperti Pak Man bu. Aku mau jadi TKI demi merubah nasib keluarga kita." Aku menatap bapak dalam. "Juga untuk mengobati kaki bapak." Setel
Kehidupan itu selalu berputar. Manusia tidak akan berjalan di tempat sekalipun dia hanya tiduran, asal selama nyawa masih dikandung badan. Begitu juga dengan nasib hidupku setelah memutuskan menjadi TKI ke Jepang. Dulu aku tidak banyak memiliki apapun, kini berubah perlahan. Gaya hidup teman-teman asrama yang kerap membeli sepatu dan pakaian bagus, turut mempersuasi isi dompetku. Hingga memiliki koleksi empat sepatu dari merk ternama. Kesejahteraan keluargaku di kampung naik perlahan. Bapak sudah bisa berjalan lagi sejak dua tahun lalu. Kini, mengolah lahan kecil yang kubeli dengan uang tabungan. Ibu membuka toko peracangan depan rumah. Dan kedua adik angkatku membantu usaha dagangnya. Ini sudah tahun ketiga aku bekerja di Jepang. Bertemu keluarga hanya lewat sambungan Skype. "Mau kemana Rin?" "Biasa, sing song." Ucapnya sambil menaikturunkan alis. Aku sudah tahu kebiasaan anak-anak TKI selepas menerima gaji. Kalau tidak makan-makan, minum sake hingga teler, pergi karaoke dite
"Semuanya ayo melompat!!!!" "Yow yow!!!!" Gemerlap ampu sorot yang mengarah ke dance floor Yokoha Club menambah riuh kegilaan pengunjung. Deretan perempuan cantik berpakaian minim dan seksi melonjak-lonjak riang di sana. Dengan gerombolan lelaki macho dan keren yang ikut menggoda. Kepulan asap rokok, aroma minuman beralkohol, dan kegiatan sensual yang terjadi di dalam club seakan menjadi hal yang lumrah kupandangi setiap hari. Begitu musik hip hop yang kubawakan semakin keras, mereka semakin menggila. Bahkan ada yang berciuman di tengah lantai dansa lalu disambut riuh tepuk tangan dan umpatan. "Mereka gila!" Pekik Matsushima yang tengah berdiri di sebelahku. Aku menggeleng. "Sebentar lagi mereka akan menuju hotel depan club." "Lalu membuat anak!" Aku terkekeh melihat kedua sejoli itu. Kemudian mereka pergi entah kemana. One night stand, adalah hal yang biasa terjadi di club-club malam ketika menemukan seseorang yang tepat untuk dikencani. Menginap semalaman untuk mele
"Jak, bangun! Buruan mandi!! Hampir telat oey!!" Teriak Rinto. Semalam aku baru pulang lewat tengah malam sehabis berkencan dengan Harumi. Teriakan Rinto membuatku meloncat dari futon, kasur lantai yang biasa kupakai di Jepang. Semalam Harumi mengatakan perasaan cintanya padaku. Ini gila, aku ditembak seorang perempuan. Di Jepang, seorang perempuan menyatakan cinta pada lelaki idamannya bukanlah hal tabu. Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima cinta Harumi. Meski masih bingung dengan perasaanku padanya. Tanpa mandi, hanya menggosok gigi lalu berganti seragam kerja pabrik, menyisir rambut asal, memakai sepatu, mengambil tas kerja, lalu berlari mengejar teman-teman menuju halte. "Keasikan jadi DJ lupa sama kerjaan pabrik." "Bukan, aku semalam habis kencan sama cewekku." Jawabku dengan nafas terengah-engah. Kepalaku di tonyor teman-teman karena mereka iri dengan kecantikan dan keseksian Harumi, kekasihku. Sedang mereka sampai hari ini belum mendapat kekasih padahal jauh lebi