"Semuanya ayo melompat!!!!"
"Yow yow!!!!"
Gemerlap ampu sorot yang mengarah ke dance floor Yokoha Club menambah riuh kegilaan pengunjung.
Deretan perempuan cantik berpakaian minim dan seksi melonjak-lonjak riang di sana. Dengan gerombolan lelaki macho dan keren yang ikut menggoda.
Kepulan asap rokok, aroma minuman beralkohol, dan kegiatan sensual yang terjadi di dalam club seakan menjadi hal yang lumrah kupandangi setiap hari.
Begitu musik hip hop yang kubawakan semakin keras, mereka semakin menggila. Bahkan ada yang berciuman di tengah lantai dansa lalu disambut riuh tepuk tangan dan umpatan.
"Mereka gila!" Pekik Matsushima yang tengah berdiri di sebelahku.
Aku menggeleng. "Sebentar lagi mereka akan menuju hotel depan club."
"Lalu membuat anak!"
Aku terkekeh melihat kedua sejoli itu. Kemudian mereka pergi entah kemana.
One night stand, adalah hal yang biasa terjadi di club-club malam ketika menemukan seseorang yang tepat untuk dikencani. Menginap semalaman untuk melepaskan gairah.
Konyol!!
Aku kembali meramaikan suasana, melupakan sejoli gila tadi. Mengguncang lantai dansa dengan musik keras nan energik adalah tujuanku hingga pengunjung terpacu.
"Jayka! Lebih kencang!"
"Jayka!"
"Jayka!"
Pekik para pengunjung menyebut namaku begitu menikmati racikan lagu baruku malam ini.
Yeaah, aku memiliki nama panggung DJ Jayka.
Tidak terasa sudah empat bulan aku bekerja siang malam. Siangnya aku bekerja di pabrik karena keterikatan kontrak dengan dengan jasa penyalur tenaga kerja. Dan malamnya aku mengasah kemampuan pribadi yang menjadi minatku. Menjadi DJ.
Bapak dan ibu di Indonesia, tidak tahu apapun tentang profesi baruku ini. Yang penting aku rajin mengirimi mereka uang bulanan.
Menjadi DJ menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Juga, aku bebas menikmati minuman penghangat dan penyemangat yang tersedia di Yokoha Club.
Aku ikut melonjak riang sambil memutar mixer controller. Ini benar benar luar biasa, tubuhku sangat menikmati. Andai aku bisa memutus kontrak pekerjaanku sebagai buruh pabrik saat ini juga.
"Jayka!"
Seorang gadis manis Jepang meneriakkan namaku lalu melambaikan tangannya. Pun aku membalasnya dengan senyuman.
Detik kemudian tiba-tiba ia sudah berdiri di sampingku dengan raut bahagia.
"Ada apa?"
"Boleh minta tanda tangan?"
Astaga, gadis ini adalah fans pertamaku.
"Jayka, boleh peluk?" Tanyanya malu malu setelah mendapat tanda tanganku.
Aku terkejut karena ini aku belum pernah berpelukan dengan perempuan manapun.
Tanpa persetujuan dariku, juga dengan headphone yang masih terpasang di kedua sisi telinga, dia memelukku erat sambil keranjingan.
Ada desir bahagia, panas, dan menggelora. Juga rasa tidak rela jika ia melepas pelukan erat itu.
"Terimakasih Jayka! I love you."
Apa????
Seumur hidup, sepanjang 21 tahun hidupku, ini kali pertama seorang perempuan mengatakan dia mencintaiku.
Otakku sudah gila karena meresponnya begitu berlebihan.
Gadis itu pergi dengan langkah riang setelah memporak-porandakan hatiku dalam sekejap. Aku memandanginya dari kejauhan yang kini tengah bercanda tawa dengan para sahabatnya di meja paling pojok.
"Cocktail satu." Ucapku pada bartender club, Takeshi.
Runtutan lagu yang mengalun sudah kuseting otomatis. Para penikmat dugem pun masih senantiasa berjoget disana. Ada yang ditemani gadis cantik, juga bir di tangan.
Inilah duniaku yang baru. Dunia penuh gemerlap lampu sorot dengan musik hip hop yang memburu.
🌻🌻🌻🌻🌻
"Jak, sudah sholat?"
Aku mengangguk ragu dengan seulas senyum tipis. "Udah pak."
Kami tengah melakukan panggilan Skype.
"Rambut baru nak?"
Sejak bekerja menjadi DJ hingga tengah malam, penampilanku berubah drastis. Walau hanya manggung dua kali seminggu, tapi aku harus tampil keren dan menawan.
"Iya pak, coba-coba aja."
"Hati-hati dengan pergaulan disana Jak. Kerja yang rajin. Jangan lupa sholat."
Begitulah petuah bapak. Namun yang kujalani hanya bekerja dengan rajin. Lainnya kuabaikan demi popularitas menjadi seorang DJ.
"Oh ya Jak, kemarin Bik Sun kemari. Nanyain uangnya. Gimana? Jadi kamu beli apa tidak?"
Aku berniat membeli tanah Bik Sun, adik sepupu bapak. Tanahnya dijual cepat karena butuh uang untuk pengobatan cucunya.
"Ehm... Dua bulan lagi gimana pak?"
"Bik Sun butuh uangnya paling lambat 3 minggu lagi Jak. Cucunya harus segera dioperasi."
Aku sangat menyukai tanah Bik Sun, karena bersebelahan dengan rumah bapak yang kecil. Aku ingin memperluas tanah pekarangan rumah bapak lalu merenovasinya menjadi lebih megah.
Tapi uangku belum cukup. Masih terkumpul setengah dari harga penawaran.
"Kalau kamu nggak ada uang, nggak apa-apa biar dibeli Pak Bimo."
"Jangan pak! Tunggu dulu, aku usahakan tambahannya."
Setelah panggilan usai, perasaan galau begitu melanda. Tujuanku membahagiakan keluarga begitu besar.
Lalu aku bersiap pergi ke club. Siapa tahu disana aku mendapat jawaban.
Malam ini semangatku terdongkrak karena club riuh pengunjung. Ketika aku mulai mengalunkan lagu-lagu energik mix dengan musik pop Jepang yang sedang tenar, pengunjung makin menggila.
Aku ikut melonjak riang di tempat memainkan DJ Player, ditemani perempuan tempo hari yang memeluk dan mengatakan cinta padaku, Harumi.
"Jayka, aku akan menemanimu disini."
Senyumnya makin mengembang kala aku tidak menolak tangannya menggenggam tangan kiriku.
Lalu ia memelukku dari samping dengan tawa bahagia. Sedang aku menikmati setiap sentuhan yang ia berikan.
"I love you Jayka. Maukah kamu menjadi kekasihku?"
"Jak, bangun! Buruan mandi!! Hampir telat oey!!" Teriak Rinto. Semalam aku baru pulang lewat tengah malam sehabis berkencan dengan Harumi. Teriakan Rinto membuatku meloncat dari futon, kasur lantai yang biasa kupakai di Jepang. Semalam Harumi mengatakan perasaan cintanya padaku. Ini gila, aku ditembak seorang perempuan. Di Jepang, seorang perempuan menyatakan cinta pada lelaki idamannya bukanlah hal tabu. Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima cinta Harumi. Meski masih bingung dengan perasaanku padanya. Tanpa mandi, hanya menggosok gigi lalu berganti seragam kerja pabrik, menyisir rambut asal, memakai sepatu, mengambil tas kerja, lalu berlari mengejar teman-teman menuju halte. "Keasikan jadi DJ lupa sama kerjaan pabrik." "Bukan, aku semalam habis kencan sama cewekku." Jawabku dengan nafas terengah-engah. Kepalaku di tonyor teman-teman karena mereka iri dengan kecantikan dan keseksian Harumi, kekasihku. Sedang mereka sampai hari ini belum mendapat kekasih padahal jauh lebi
Surrogate sexual partner, atau istilahnya pasangan pengganti adalah jasa pelayanan 'teman kencan' yang sedang tren di Jepang. Disana, ada lembaga yang menyediakan seorang traineer atau pelatih profesional yang bertugas menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasien yang merasa 'lack in relationship'. Sudah bukan rahasia umum jika orang yang mengalami trauma susah mencari pasangan hidup lalu menarik diri. Juga, lembaga itu menyediakan ruang bagi mereka yang terlahir dengan keterbatasan fisik tapi memiliki organ reproduksi yang normal namun tidak tahu bagaimana menyalurkan gairah itu. Dan sudah menjadi tugas para traineer untuk membantu mereka mendapat kepuasan batin yang tidak mungkin bisa dipenuhi seorang diri. Herannya, mengapa Tuan dan Nyonya Tatsuo tidak menghubungi lembaga itu? Mereka malah memilihku yang tidak berpengalaman dalam hal seperti itu, apalagi membangun kedekatan intim dengan putri mereka. Aku tidak memiliki ilmu seperti itu sama sekali. Aku hanya pernah membaca art
"Boleh. Sarapan dimana?" "Di kamarku." Deg... Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'? Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'. Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. "Jayka?" Panggilnya lembut. Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk. "Kenapa?" Aku menggeleng. "Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya. "Minaki?" "Ya?" "Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. "Kamu sangat mengagumkan Jayka." Aku mengernyit heran. "Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan d
"Dengan siapa?" Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku? Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani. "Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya." Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu. "Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran. Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang. "Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka." Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta. "Satu pun? Ka
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya." "A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini. Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata. "Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?" Minaki mengangguk. "Janji." "Janji akan benar-benar membantuku?" Ia mengangguk lagi. Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya. "Kamu siap mendengar ceritaku?" "Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya." Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar. Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya. Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang. Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang
"Aku dilamar. Menjadi...surrogate sexual partner." "Apa?!!" Matshushima membuang sampahnya asal lalu duduk di sebelah dan menatapku lekat. "Apa kamu sangat kekurangan uang sekali sampai melakukan hal ini? Katakan Jayka?" Aku mengangguk. "Astaga Jay! Ada apa denganmu? Itu....itu menjijikkan sekali. Memberi kepuasan orang-orang bertubuh tidak sempurna. Apa gaji menjadi TKI dan DJ jika digabungkan tidak cukup banyak?" "Aku butuh lebih banyak." Matshushima menggeleng. "Kalau kamu tahu realita di lapangan, kamu tidak akan menerimanya. Bersama perempuan aneh.... lalu bercinta. Dimana otak warasmu Jay?" Dia menunjuk pelipisku. "Kami tidak bercinta, hanya memuaskan dia saja. Dan kedatanganku kemari untuk mendengar pendapatmu Shima, bukan mendapat penghakiman." Matshushima menyandarkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas kasar. "Apa yang ingin kamu dengar selain penghakiman?" "Aku membutuhkan uang banyak untuk membeli tanah di Indonesia. Aku ingin membanggakan keluargaku disana.