"Aku setuju. Tapi ada syaratnya."
"A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini.
Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata.
"Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?"
Minaki mengangguk. "Janji."
"Janji akan benar-benar membantuku?"
Ia mengangguk lagi.
Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya.
"Kamu siap mendengar ceritaku?"
"Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya."
Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar.
Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya.
Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang.
Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
Aku menuntun tangan Minaki agar menyentuh dadaku. Dan aku menatap manik matanya lekat.
"Minaki, aku terlahir sebagai anak yang tidak diinginkan lalu dibuang. Kemudian aku diadopsi sepasang suami istri yang menjadi orang tua angkatku. Lalu aku memutuskan bekerja di Jepang demi membantu ekonomi keluarga."
"Awal kehidupanku tidak senyaman kamu yang berasal dari keluarga terpandang. Aku hidup dalam kemiskinan. Kamu sudah mulai paham maksudku?"
Minaki mengangguk lalu menggerakkan jarinya yang menyentuh dadaku. Jari bercat kuku warna pink itu seakan ingin mengusap dadaku tapi enggan.
"Disini, aku bekerja siang malam, demi kehidupan yang lebih baik. Demi keluargaku di Indonesia."
"Mungkin kamu menyukaiku karena melihat sisi keren dan gemerlapku saja. Tapi aku juga punya sisi menderita."
"Tidak Jayka. Aku menyukai kamu apa adanya. Semua tentang kamu." Ucapnya.
"Penderitaan ini biasa kupikul sendiri. Tapi terasa lebih ringan saat kamu mau mendengar dan membantuku. Jujur aku membutuhkan teman yang bisa membantu, bukan mengejek kekuranganku."
"Apa yang kamu harapkan dariku Jayka?"
Aku menggenggam tangannya. "Keluargaku membutuhkan biaya besar untuk pengobatan ayahku."
"Kenapa dengan ayahmu?"
Aku menunduk dengan mengusap jemari halusnya.
"Kakinya patah dan semua kebutuhan rumah tangga aku yang menanggung. Aku memiliki dua adik angkat yang masih sekolah."
"Lalu? Bukankah kamu sudah bekerja? Menjadi seorang DJ?"
Aku mengangguk. "Tapi itu kurang Minaki. Biaya pengobatan yang diperlukan cukup banyak. Maka dari itu aku menerima tawaran kedua orang tuamu."
"Benarkah? Mengapa kamu tidak bilang dari awal Jayka?" Tatapannya berubah sendu.
"Inilah hidup Minaki. Aku harus tetap berjuang demi keluargaku di sana dengan segala cara."
Aku meraih tangannya dan menciumnya lembut.
Astaga! Aku mirip lelaki penggoda.
"Apa kamu kesulitan keuangan Jayka? Maaf aku bertanya demikian."
Aku mengangguk. "Kamu harus tahu karena kita partner. Sahabat dekat."
"Lalu sekarang ayahmu harus menjalani apa menurut dokter?"
Aku menunduk sedih. "Operasi. Dan uangku kurang banyak Minaki."
Minaki membelai pipiku kaku. Dia terlihat amatir melakukan ini. "Apa maksudnya kamu ingin meminjam uangku?"
Aku mengangguk. "Bolehkah aku minta bayaran di awal? Nanti akan kubayar dengan jasaku, sesuai keinginanmu kapan ingin bertemu denganku."
Minaki mengangguk. "Baiklah Jayka. Berapa yang kamu pinjam?"
"120 ribu Yen."
Minaki sedikit terkejut.
"Aku tidak akan pergi jika hutangku belum lunas. Bahkan kamu boleh menikmati semua yang ada pada diriku."
Tunggu...
Apa aku menyerahkan diri dengan ikhlas pada Minaki?
"Apapun Jayka?"
Aku mengangguk sedikit ragu.
"Aku boleh menyentuh bahkan menciummu?"
Aku kembali mengangguk ragu.
Tanpa sadar aku telah menjual diri pada Minaki demi harta. Pikirku, jika laki-laki yang melakukannya itu hal yang lumrah. Tapi akan berbeda cerita jika perempuan yang menawarkan dirinya.
"Kapan kamu butuh uangnya Jayka?"
"Apa aku bisa menerimanya tiga hari lagi?"
Minaki terlihat berpikir. Lalu mengangguk dengan wajah sumringah.
"Aku akan menyediakannya besok lusa. Semoga ayahmu segera membaik Jayka."
"Terima kasih." Ucapku bahagia.
Padahal aku membutuhkan uang itu untuk membeli tanah Bik Sun sebelum jatuh ke tangan Pak Bimo.
Aaah.... bapak, maafkan aku sedikit menggunakan dirimu untuk berdrama di depan Minaki. Jika tidak begini kapan lagi keluarga kita akan dipandang oleh tetangga?
Kapan kita memiliki derajat di lingkungan sosial?
Aku ingin mereka tahu jika keluargaku termasuk dalam jajaran 'orang punya'. Bukan keluarga yang selalu dipandang sebelah mata.
Air mata ibu ketika membela bapak dituduh tidak jujur bekerja saat aku masih SMP, masih membekas hingga sekarang. Kini, dengan uang hasil merayu gadis lugu cacat seperti Minaki seperti membuka lebar jalanku untuk membalas dendam ejekan tetangga.
Dan untuk Minaki, yang terpenting aku tidak melukai hati atau mengolok-olok fisiknya. Aku hanya sedikit bersandiwara agar ia mau membantuku. Toh uang yang kupinjam ini akan kukembalikan dengan jasa yang kuberikan.
Sah sah saja. Karena aku bekerja untuknya dan ia membayar usahaku.
"Kapan aku bisa bekerja untukmu Minaki?" Ucapku lembut dengan memegang kedua tangannya.
Ia tampak cantik dan bersemu malu. "Em....bagaimana jika mulai besok?"
"Bagaimana jika setiap minggu aku datang memuaskanmu?"
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang
"Aku dilamar. Menjadi...surrogate sexual partner." "Apa?!!" Matshushima membuang sampahnya asal lalu duduk di sebelah dan menatapku lekat. "Apa kamu sangat kekurangan uang sekali sampai melakukan hal ini? Katakan Jayka?" Aku mengangguk. "Astaga Jay! Ada apa denganmu? Itu....itu menjijikkan sekali. Memberi kepuasan orang-orang bertubuh tidak sempurna. Apa gaji menjadi TKI dan DJ jika digabungkan tidak cukup banyak?" "Aku butuh lebih banyak." Matshushima menggeleng. "Kalau kamu tahu realita di lapangan, kamu tidak akan menerimanya. Bersama perempuan aneh.... lalu bercinta. Dimana otak warasmu Jay?" Dia menunjuk pelipisku. "Kami tidak bercinta, hanya memuaskan dia saja. Dan kedatanganku kemari untuk mendengar pendapatmu Shima, bukan mendapat penghakiman." Matshushima menyandarkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas kasar. "Apa yang ingin kamu dengar selain penghakiman?" "Aku membutuhkan uang banyak untuk membeli tanah di Indonesia. Aku ingin membanggakan keluargaku disana.
Kehadiran Harumi di club berada di luar perkiraan. Dia hanya berkata akan keluar bersenang-senang dengan para sahabatnya tapi tidak menyangka mereka akan menghabiskan waktu itu disini, di Yokoha Club. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari dalam club. Apalagi Harumi sangat mengenal postur tubuhku meski kututupi menggunakan hoodie. Lalu aku kembali ke ruangan Matsushima dengan terburu-buru. "Kamu harus menolongku!" "Ada apa?" Tanyanya polos sambil merapikan sofanya. "Harumi di dalam club. Aku tidak bisa melewatinya begitu saja Shima!" Matsushima tertawa sambil memegangi perutnya. "Kamu mau aku melakukan apa? Kamu takut ketahuan ya?" "Diamlah!! Aku harus lewat mana?!" Tanyaku geram. "Minaki sudah menunggu." Dia masih tertawa. "Tenang kawan. Tenang. Selirmu sudah tidak tahan ya?" Aku gusar memikirkan cara keluar. "Tenang katamu!?" "Jangan lupa komisi untukku yang sudah berbaik hati membantumu Jay." Matsushima berjalan keluar ruangan lalu tiba tiba.... Hlap! Suasana clu
Sudah ada lima menit lamanya Minaki memelukku erat. Tangisnya juga sudah mereda. Angin malam yang berhembus melewati balkon kamar 1212, membuat rambut rapi Minaki sedikit terburai. Dan aroma wanginya terbang memasuki indera penciumanku. Rambut Minaki kurapikan seadanya dengan lembut. Seperti sentuhan kasih sayang seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya. Perlahan Minaki merenggangkan pelukan namun tubuhnya tetap menempel di dadaku. Wajahnya mendongak menatapku. "Apa?" Dia tersenyum malu lalu menggeleng. Apakah aku boleh menyebutnya aneh? "Kamu kenapa senyam senyum? Apa ada yang lucu dengan wajahku?" Obrolan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku harus pintar mengolah suasana dan kondisi saat kami bersama. Atau lebih tepatnya saat Minaki butuh diperhatikan. "Kemarin kamu bilang butuh waktu untuk beradaptasi dengan hubungan ini. Aku senang kamu beradaptasi dengan cepat Jayka." "Aku sangat mengidolakanmu dan sering memutar videomu saat mengerjakan tugas kuliah.
Laki-laki adalah makhluk terpintar saat merayu perempuan demi harta. Kami akan berusaha melalui jalan apa saja asal harta yang sudah berada di depan mata bisa berada dalam genggaman. Bahkan kami tidak perlu bahkan peduli dengan apa itu cinta. Minaki merona malu dan tersenyum bahagia saat aku menawarkan diri mencium pipinya. Jelas terpancar kebahagiaan itu dari tatapan matanya. "Boleh." Ucapnya lirih. Aku mendekatkan wajah ke pipinya yang putih halus dan wangi, lalu mengecupnya sekilas. Tidak masalah bagiku. "Terimakasih cantik." Bisikku. Aku memang perayu gila harta!!! Pintar sekali berakting di depan perempuan malang seperti Minaki demi meraih uangnya. Minaki mengangguk lalu mengusap lembut pipinya bekas ciumanku. "Aku sangat bahagia Jayka. Terimakasih banyak kamu mau belajar banyak demi aku." "Akan kulakukan apapun itu demi kamu." "Ini ciuman pipi pertama dalam hidupku Jayka." Aku terkekeh. "Aku bahagia karena menjadi yang pertama mencium pipi ranum ini." Ketika jarum
Begitu sampai di asrama setelah makan malam yang benar-benar malam dengan Minaki, kusembunyikan dengan cepat ransel berisi uang 120.000 Yen itu ke dalam lemari. Lalu kutumpuki dengan baju-baju agar lebih aman kemudian kukunci rapat. Aku kembali keluar kamar dengan cepat memakai sepatu. Saking tergesa-gesanya kakiku sampai sulit masuk. "Sialan!!" Andai ini bukan Jepang, aku pasti sudah berlari menggunakan sandal jepit keluar asrama. Tapi di musim gugur seperti ini, cuaca di Jepang mencapai 10 derajat. Sudah cukup dingin sekali bagi manusia tropis sepertiku. "Kemana Jak?" Tanya Rinto baru pulang entah dari mana. "Keluar bentar." Ucapku sambil memakai sepatu dengan benar. "Jam segini?" Aku mengangguk. "Aku berangkat." Jaket tebal yang kupakai cukup menghangatkan tubuh. Ditambah aktivitas berlarian menuju halte bis terakhir yang menuju Nichinan, tempat asrama Harumi berada. Kemarin aku sudah berjanji akan menemaninya di asrama namun aku lebih memilih menemani Minaki di resto
Sepulang dari pabrik, aku langsung mandi di asrama dan berganti pakaian. Malam ini tidak ada jadwal manggung karena belum jadwalku. Jadi aku berpakaian biasa saja menuju Yokoha Club. "Kemana lagi Jak?" Tanya Rinto begitu melihatku mengambil sepatu. "Setiap hari keluar terus. Nggak capek?" Nama asliku Jaka Prayoga, teman-teman TKI memanggilku Jaka. Sedang saat menjadi DJ aku memiliki nama panggung DJ Jayka. "Ke club Rin. Ada urusan bentar." "Aku heran deh Jak. Setiap hari kamu sibuuuk melulu. Biasanya kamu nggak serepot ini." Aku hanya tersenyum. "Nanti aku traktir kalau gaji DJ-ku udah keluar." "Naaah gitu dong." Jika sudah berhubungan dengan makanan atau traktir mentraktir, sesi interogasi Rinto pasti akan berakhir dengan sendirinya. Aku tidak mau teman-teman asrama sesama TKI tahu profesi baruku sebagai surrogate partner Minaki. Bagaimana pun juga, hal itu masih belum terlalu diterima dengan baik oleh lingkungan Jepang meski yayasan Blue Hands telah berdiri sejak tujuh t