Ayo mulai berdoa..! Rangga coba kamu yang memimpin doa !" Perintah Arya kepada Rangga dan anak-anak lain yang bersiap untuk menyantap paket makanan dari Khalista. Seperti biasanya sebelum makan mereka memang diwajibkan berdoa terlebih dahulu.
Rangga segera membaca doa dan yang lain mengikutinya. Setelah selesai berdoa mereka menyantap makanan dengan lahap."Terima kasih Khalista, kamu sudah mau berbagi dengan kami disini." Kata Mohzan mulai membuka paket makanan yang diberikan Khalista. Sebenarnya hatinya tidak nyaman menerima pemberian Khalista, tapi ia tidak enak untuk menolaknya.
Sebelum sempat menyentuh makanan itu telepon genggam Mohzan berdering. Foto Soraya muncul dilayar HP nya menandakan bahwa Soraya yang sedang melakukan panggilan telepon."Halo Assalamualaikum Raya..!" Mohzan menjawab voice call Soraya."Uuuh, perempuan itu ternyata sering menelpon Bang Mohzan. Kurang ajar... Atau.... apakah mereka berdua sudah b
Malam semakin larut. Desma semakin dilanda keresahan. Keakraban Mohzan dengan Junara akhir-akhir ini membuat Desma dilanda kebingungan.“Desma, akhir-akhir ini Ibu lihat kamu sering melamun dan kebingungan. Bahkan malam sudah selarut ini kamu belum juga tidur. Ceritakan kepada Ibu apa yang membuatmu jadi resah seperti ini ?” Bu Aisyah bertanya lembut kepada Desma yang nampak melamun dan memandang kesuatu arah. Angannya seperti tidak dibadan. Sekali-kali Desma nampak menghela nafas panjang dan dalam.“Bu, Desma harus bagaimana Bu..? Desma benar-benar bingung.” Ucap Desma sambil menatap mata Ibu Aisyah yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri.Ibu Aisyah semakin bingung mendengar keluhan Desma. Ia mendekati Desma lalu membimbing tangan wanita itu dan membawa duduk diatas sofa.“Sini..!! Ayo ceritakan kepada Ibu. Jangan kamu simpan sendiri kegundahan hatimu. Mana tahuan Ibu bisa membantu masalahmu.” Ucap Ibu Aisyah seperti membujuk anak kecil yang sed
Tiga hari lagi adalah hari yang ditentukan sebagai hari pertunangan Ramona dengan Alpan. Walaupun akan disandingkan dengan laki-laki pewaris harta kekayaan yang melimpah yang tidak akan habis dimakan tujuh keturunan, namun hal itu tidak membuat Ramona berbahagia.Hampir semua orang tahu bagaimana keburukan sifat dan tabiat Alpan. Dirinya jauh dari laki-laki yang pantas dijadikan imam. Selain suka mempermainkan perempuan, ia juga sering terlibat kasus kriminal lainnya seperti menganiaya orang dan juga pecandu narkoba.Ramona merasa masa depannya sudah tidak bisa diharapkan lagi. Untuk melarikan diri dari nasib buruk ini juga tidak sanggup ia lakukan. Dirinya kini sudah dikurung bagaikan seekor ayam yang menunggu hari penyembelihan.Mengingat nasibnya yang malang, Ramona hanya bisa menangis. Sekali-kali ia membuka layar ponselnya dan menonton video-video Mohzan yang sudah banyak berseliweran di media sosial. Sekali lagi gadis itu hanya bisa menghela nafas panjang. Peras
Hari ini adalah hari yang dinantikan Alpan. Walaupun kesehatannya belum pulih namun ia sangat senang karena sebentar lagi ia akan bertunangan dengan Ramona gadis yang telah membuatnya dendam.Beribu rencana telah disiapkan Alpan setelah nanti Ramona menjadi tunangannya. Ia ingin menyiksa gadis itu dengan caranya sendiri.“Awas kamu Ramona, kamu pikir kamu sedang berurusan dengan siapa ? Hahhaa... Kamu lihat saja nanti setelah kamu menjadi tunanganku. Aku akan merusakmu dan mempermalukan kamu!” Alpan menghadap kaca besar nampak tertawa penuh dengan dendam kesumat.“Kamu lihat tanganku ini hah... Patah.. itu semua karena ulahmu.. hahhaa.. tapi tidak mengapa. Toh sebentar lagi tanganku akan pulih kembali. Tapi kamu... kamu akan membayar lunas semua ini Ramonaaa...! Hmm...yaa...kamu akan membayarnya semua.. hahhaa.. Setelah aku puas menyakitimu, aku akan meninggalkanmu.. perempuan bangsat..!” Rahang Alpan menggelembung dan giginya rapat
Alpan begitu senang melangkah dengan gagah menuju mobil mewah yang akan mengantarkannya ke gedung tempat acara pertunangannya dengan Ramona.Senyumnya mengambang sumringah. Ia menjawab dengan ramah semua pertanyaan wartawan yang mewawancarainya. Sebagai keluarga pemilik stasiun televisi, tentu semua momen dalam keluarga mereka akan diliput oleh media.“Hari ini adalah hari kebahagiaan kami, kami dengan senang hati membagi momen bahagia ini dengan kalian semua !” Ujar Alpan sambil melambaikan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya masih digantung dengan kain kasa yang menyerupai gendongan didepan dadanya.Kerlap-kerlip lampu kamera membanjiri wajah Alpan. Rombongan mereka segera meninggalkan wartawan yang berkumpul sambil melambaikan tangan.Santi dan Ramona menahan nafas sambil menatap ponsel mereka masing-masing. Disana mereka memantau setiap berita tentang acara pertunangan Alpan dengan Ramona. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di
"Jelaskan kepada Abang apa sebenarnya yang telah terjadi ? Siapa kedua perempuan yang kamu tolong tadi siang Arya..?” Mohzan memberondong Arya dengan pertanyaan setelah mereka sampai di gedung tua.Arya sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.“Mereka adalah Ramona dan ibunya Bang.., mereka butuh pertolongan.”Mata Mohzan terbelalak mendengar pengakuan Mohzan yang tanpa tedeng aling-aling. Begitu tenang dan santai.“Tapi mengapa kita harus ikut campur dengan urusan orang lain Arya..??” Mohzan memotong penjelasan Arya. Dengan tajam ia tatap wajah adiknya itu.“Bukankah Abang yang mengajarkan kami bahwa menolong orang tidak harus memandang mereka siapa ? Saudara kita ataupun orang lain, sebagai manusia kita wajib menolong orang-orang yang sedang tertindas. Apapun itu resikonya..!” Ujar Arya membalikkan nasehat Mohzan yang sering ia ucapkan kepada dirinya dan anak-anak yang lain.Sejenak Mohzan nampak
Mata Satya dan Alpan beserta beberapa orang anak buahnya nanar memandang layar monitor laptop. Di laptop itu sedang diputar hasil rekaman pada cctv yang ada di gedung tempat penyelenggaraan acara pertunangan Mohzan dan Ramona yang gagal beberapa hari yang lalu.“Nah, itu sudah jelas... Ternyata si keparat itu biang keroknya..!!!” Alpan berteriak penuh emosi begitu menyaksikan dilayar monitor laptop, Ramona dan Santi melarikan diri dengan menumpang mobil box yang dikemudikan oleh Mohzan.Satya menyipitkan matanya. Ia terlihat benar-benar marah.“Tunggu apalagi...???! Hayoooo kalian berangkaaat...!! Jemput dia sekarang juga dan bawa menghadap kepadaku..!!” Satya membentak lantang.Lima orang anak buah Satya terbirit-birit berlari dan segera melompat kedalam mobil lalu tancap gas menuju ke tempat Mohzan berada.Tidak pakai lama, hanya butuh tiga puluh menit mereka sudah sampai di gedung tua markas Mohzan dan adik-adiknya berada.
Gedung kosong...jauh dari keramaian..Beberapa puluh anak buah Satya terlihat bagaikan serdadu yang berjaga-jaga. Tiada lama kemudian seorang pemuda digiring masuk menghadap Tuan Satya yang didampingi Alpan yang masih menggendong sebelah tangannya didada.Mata Satya mendelik seakan ingin mencekik urat pernafasan Mohzan yang kini terlihat duduk tenang disebuah kursi yang memang dipersiapkan untuknya.Interogasi segera dimulai.“Aku harus mengakui keberanianmu untuk datang ketempat ini Mohzan..!! Hahahaha... “ Satya tertawa sambil bertepuk tangan dan mengelilingi Mohzan. Tapi tawa Satya jelas tidak menggambarkan keramahan yang biasa dilakukan orang kebanyakan. Dan suara tawa itu lebih menyerupai seringai sinis yang menakutkan.Mohzan terlihat tenang, ia membalas seringai Satya dengan senyum ala kadarnya.“Dimana kamu sembunyikan tunangan anakku..???!!! Cepaaaaat katakan dimanaaaa...???!!” Suara Satya menggelegar dengan menata
Dua pasang mata Satya dan Alpan terbelalak. Biji matanya hampir saja permisi melompak keluar saking kagetnya melihat apa yang terjadi.“Oooohhh...!!!” Gumam Alpan tertahan sambil menggeser posisi dia berdiri menjadi lebih dekat kepada Satya. Ia memilih berlindung dibelakang tubuh ayahnya yang sudah nampak gemetar. Keringat dingin berhamburan disekujur tubuh Satya. Kemejanya basah kuyup hingga lengket kebadannya. Nampaknya ia sedang kehilangan akal untuk menghadapi Mohzan.“ Hayoooo... Serang diaaaa... !! “ Perintah Alpan dibalik punggung ayahnya.Dua lelaki dari empat orang yang menyerang tadi terpaku berdiri dengan memandang tak percaya.Kedua temannya tergeletak tak ubahnya seperti barang rongsokan yang dibuang begitu saja. Hati keduanya kecut dan tubuhnya mulai gemetar. Wajah dan bibirnya pucat pasi walau tidak terlalu jelas terlihat dikeremangan cahaya diruangan itu.Sedangkan Mohzan kembali duduk dikursinya. Ia seperti tidak pedu