"Jelaskan kepada Abang apa sebenarnya yang telah terjadi ? Siapa kedua perempuan yang kamu tolong tadi siang Arya..?” Mohzan memberondong Arya dengan pertanyaan setelah mereka sampai di gedung tua.
Arya sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. “Mereka adalah Ramona dan ibunya Bang.., mereka butuh pertolongan.” Mata Mohzan terbelalak mendengar pengakuan Mohzan yang tanpa tedeng aling-aling. Begitu tenang dan santai.“Tapi mengapa kita harus ikut campur dengan urusan orang lain Arya..??” Mohzan memotong penjelasan Arya. Dengan tajam ia tatap wajah adiknya itu.“Bukankah Abang yang mengajarkan kami bahwa menolong orang tidak harus memandang mereka siapa ? Saudara kita ataupun orang lain, sebagai manusia kita wajib menolong orang-orang yang sedang tertindas. Apapun itu resikonya..!” Ujar Arya membalikkan nasehat Mohzan yang sering ia ucapkan kepada dirinya dan anak-anak yang lain.Sejenak Mohzan nampakMata Satya dan Alpan beserta beberapa orang anak buahnya nanar memandang layar monitor laptop. Di laptop itu sedang diputar hasil rekaman pada cctv yang ada di gedung tempat penyelenggaraan acara pertunangan Mohzan dan Ramona yang gagal beberapa hari yang lalu.“Nah, itu sudah jelas... Ternyata si keparat itu biang keroknya..!!!” Alpan berteriak penuh emosi begitu menyaksikan dilayar monitor laptop, Ramona dan Santi melarikan diri dengan menumpang mobil box yang dikemudikan oleh Mohzan.Satya menyipitkan matanya. Ia terlihat benar-benar marah.“Tunggu apalagi...???! Hayoooo kalian berangkaaat...!! Jemput dia sekarang juga dan bawa menghadap kepadaku..!!” Satya membentak lantang.Lima orang anak buah Satya terbirit-birit berlari dan segera melompat kedalam mobil lalu tancap gas menuju ke tempat Mohzan berada.Tidak pakai lama, hanya butuh tiga puluh menit mereka sudah sampai di gedung tua markas Mohzan dan adik-adiknya berada.
Gedung kosong...jauh dari keramaian..Beberapa puluh anak buah Satya terlihat bagaikan serdadu yang berjaga-jaga. Tiada lama kemudian seorang pemuda digiring masuk menghadap Tuan Satya yang didampingi Alpan yang masih menggendong sebelah tangannya didada.Mata Satya mendelik seakan ingin mencekik urat pernafasan Mohzan yang kini terlihat duduk tenang disebuah kursi yang memang dipersiapkan untuknya.Interogasi segera dimulai.“Aku harus mengakui keberanianmu untuk datang ketempat ini Mohzan..!! Hahahaha... “ Satya tertawa sambil bertepuk tangan dan mengelilingi Mohzan. Tapi tawa Satya jelas tidak menggambarkan keramahan yang biasa dilakukan orang kebanyakan. Dan suara tawa itu lebih menyerupai seringai sinis yang menakutkan.Mohzan terlihat tenang, ia membalas seringai Satya dengan senyum ala kadarnya.“Dimana kamu sembunyikan tunangan anakku..???!!! Cepaaaaat katakan dimanaaaa...???!!” Suara Satya menggelegar dengan menata
Dua pasang mata Satya dan Alpan terbelalak. Biji matanya hampir saja permisi melompak keluar saking kagetnya melihat apa yang terjadi.“Oooohhh...!!!” Gumam Alpan tertahan sambil menggeser posisi dia berdiri menjadi lebih dekat kepada Satya. Ia memilih berlindung dibelakang tubuh ayahnya yang sudah nampak gemetar. Keringat dingin berhamburan disekujur tubuh Satya. Kemejanya basah kuyup hingga lengket kebadannya. Nampaknya ia sedang kehilangan akal untuk menghadapi Mohzan.“ Hayoooo... Serang diaaaa... !! “ Perintah Alpan dibalik punggung ayahnya.Dua lelaki dari empat orang yang menyerang tadi terpaku berdiri dengan memandang tak percaya.Kedua temannya tergeletak tak ubahnya seperti barang rongsokan yang dibuang begitu saja. Hati keduanya kecut dan tubuhnya mulai gemetar. Wajah dan bibirnya pucat pasi walau tidak terlalu jelas terlihat dikeremangan cahaya diruangan itu.Sedangkan Mohzan kembali duduk dikursinya. Ia seperti tidak pedu
Khalista menggeliat diatas tempat tidur empuk disebuah hotel cukup mewah. Perutnya terasa lapar melilit namun Danar ayahnya belum juga datang membawakan makanan seperti biasa untuknya.Sudah dua minggu Khalista menginap disana bersama dengan Danar yang menempati sebuah kamar disebelah kamar putrinya itu.Sebenarnya Danar sudah berusaha membujuk Khalista untuk tinggal disebuah rumah sederhana yang bisa mereka sewa. Hal itu ia lakukan mengingat keuangannya yang tidak seberapa. Danar berharap bisa bertahan lebih lama dengan uang simpanannya itu sampai ia mendapat pekerjaan baru.Namun Khalista yang terbiasa tinggal dirumah mewah menolak ide Danar itu mentah-mentah. Khalista enggan diajak hidup didalam lingkungan sederhana. Dan Danarpun tidak bisa membantah keinginan putrinya itu.Sudah dua minggu ini Danar mondar-mandir mencari pekerjaan namun belum satupun yang berhasil. Sedangkan biaya hidup mereka sangat tinggi sehingga uang tabungan yang tidak seberapa itu
“Listaaa...!!! “ Danar menjerit berlari kencang kearah putrinya yang sudah tergeletak ditengah jalan. Kening Khalista mengucur darah segar, kaki dan tangannya juga banyak terdapat luka lecet.Klason mobil dan motor riuh bersahutan. Beberapa orang pengumudi turun dan memberikan pertolongan. Tubuh Khalista yang tiada berdaya diangkat ketrotoar. Banyak sekali orang-orang yang datang berkerumun. Danar tak hentinya berteriak menangis menyaksikan putrinya yang terluka parah dan pingsan.Keriuhan itu juga mengagetkan Desma yang sedang sibuk melayani pembeli diwarung makannya.“Ibuuuu...!!” Desma menjerit begitu menyadari Ibu Aisyah tidak ada diwarung itu. Dengan sangat khawatir Desma berlari ketempat orang-orang yang telah ramai berkerumun. Desma panik karena menyangka Ibu Aisyah telah menjadi korban tabrakan.“Ibuuuuu...!!!” Sambil berteriak histeris Desma menyibakkan tubuh-tubuh yang sedang berkerumun. Desma segera menarik naf
Pagi itu cukup cerah.Puluhan anak lelaki berbagai umur nampak begitu sibuk dilokasi pembangunan asrama. Mereka bekerja bahu membahu dengan para tukang untuk segera menyelesaikan pembangunan asrama dan beberapa ruang kelas serta satu buah mushola.Mohzan terlihat sedang mengecat dinding dengan menggunakan meja tinggi sebagai tempatnya berdiri. Sebagian tukang ada yang memasang keramik ada pula yang sibuk memasang instalasi listrik. Persentase pembangunan itu sudah mencapai tingkat 80%. Anak-anak merasa sangat gembira memiliki hunian baru yang lebih nyaman dan bersih. “Bang, ada Soraya tuuh..!!” Dika memberi tahu Mohzan sambil menengadah melihat keatas. Mohzan segera menghentikan pekerjaanya dan menoleh kearah tunjuk Dika lalu bersiap melompat turun.“Hup..!!” Sekarang kakinya sudah menginjak lantai dan ditangannya masih terpegang roll cat yang tadi ia gunakan. “Teruskan Dik..!” Perintahnya kepada Dika sembari memberikan gagang roll cat ke
“Ada yang salah dengan rasa makanan ini Pak..?” Mohzan memutuskan untuk bertanya setelah beberapa detik lamanya melihat Tuan Junara terpana.“Sungguh luar biasa... Kamu tahu Mohzan, rasa rendang ini sama persis dengan masakan istri Bapak.” Ujar Tuan Junara.Mohzan tersenyum lega.Ia meneruskan suapannya dan Junara serta yang lainnya juga demikian. Mereka makan dengan lahap sambil berbincang hangat.“Mohzan..!!”“Iya Pak..!” Mohzan menjawab sopan panggilan Junara.“Bolehkah Bapak datang ke warung Ibumu, Bapak ingin memesan beberapa potong rendang untuk dimakan nanti dirumah.” Kata Junara sembari menatap Mohzan yang tersenyum dan mengangguk senang.Mohzan senang karena Junara menyukai masakan ibunya dan juga merasa hangat dengan sikap Junara yang penuh kekeluargaan. Sikap dan kelakuannya bertolak belakang dengan kasta yang ia dan keluarganya miliki. Walau berada diatas puncak g
Desma berlari menuju pintu yang menghubungkan warung dengan ruang dalam bangunan sederhana itu. Pengakuan Junara suaminya membuat hati Desma merasa sangat bersalah karena ia meninggalkan suaminya itu dua puluhan tahun yang lalu.Satu langkah lagi kakinya akan keluar dari pintu, tiba-tiba Desma menghentikan langkahnya. Keraguan kembali menghinggapi perasaan wanita. Ia pun menyurutkan langkahnya dan kembali duduk disebuah kursi dan melanjutkan menguping pembicaraan Tuan Junara dengan Mohzan.“Dulu Bapak hidup dengan seorang istri yang sangat Bapak cintai. Selain cantik ia adalah wanita sederhana dan jauh dari sifat sombong.,” Tuan Junara melanjutkan ceritanya. Mohzan mendengar dengan penuh perhatian.“Hanya tiga bulan berumah tangga tiba-tiba istri Bapak itu menghilang, dan sampai sekarang Bapak tidak bisa menemukan bahkan jejaknya sekalipun.” Sorot murung diwajah Tuan Junara kini sudah bertambah mendung.Sedangkan Mohzan terhenyak kag