Gallen berhasil menyusul langkah kaki Laura dan mencekal lengannya. Dia butuh penjelasan kenapa Laura memutuskan hubungan kasih mereka hanya karena sebuah film pendek yang mengekspos sebagian kecil kebenaran tentang dirinya.
“Singkirkan tangan kotormu itu dariku!” Laura meledak. Ekspresi jijik tergambar jelas pada wajahnya.
“Tidak, sebelum kau menjelaskan kenapa hubungan kita harus berakhir.”
“Hahaha ….” Ledakan tawa kembali terdengar, diiringi langkah kaki yang kian mendekat.
“Lihat lelaki bodoh itu! Dia masih belum sadar juga!” Bram menampilkan seringai mengejek di wajahnya.
Gallen mengabaikan kata-kata Bram. Tatapannya lekat pada Laura. Mereka sudah menjalin hubungan lebih dari tujuh tahun. Walaupun sebagian besar dari jalinan cinta itu mereka jalani secara jarak jauh, tetap saja mereka tidak bisa mengkhirinya begitu saja.
“Aku tidak sudi menjadi kekasih seorang penipu!”
Suara Laura bergetar karena marah. Dia benar-benar kecewa menyadari Gallen selama ini membohonginya. Lelaki itu berada di kota yang sama dengan dirinya, tetapi tidak pernah datang untuk menemuinya.
Bertahun-tahun dia meyakini Gallen berada di luar negeri melanjutkan pendidikan. Namun, film dokumenter yang baru saja ditontonnya menjadi bukti valid bahwa lelaki itu bekerja di bengkel setiap tahun. Dia benci dibohongi!
“Apa hubungan yang kita jalani selama tujuh tahun itu tidak ada artinya sama sekali bagimu?”
Gallen membaca raut wajah Laura dengan ketelitian akurasi tingkat tinggi. Kesadaran Laura dihantam gelombang syok. Mulutnya ternganga. Penampakan tersebut memancarkan kilat harapan di mata Gallen.
“Bagus! Kau baru saja menyadarkanku. Betapa bodohnya aku menyia-nyiakan waktu mudaku menjalin hubungan dengan seorang idiot sepertimu selama itu!”
Sinar di mata Gallen padam seketika. Rangkaian kata pedas Laura seperti ujung tombak yang menembus tepat ke jantungnya.
“A–apa maksudmu berkata begitu?”
Gallen terlihat linglung seperti orang bodoh. Dia tidak menyangka Laura tega menyakiti hatinya dengan lidah setajam itu. Bertahun-tahun dia menahan diri untuk tidak menemui Laura demi memberi wanita itu sebuah kejutan.
Setiap kali pulang liburan, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan bekerja di bengkel. Semua itu dia lakukan karena dia pikir bahwa belum waktunya dia muncul di hadapan Laura. Dia harus benar-benar mempersiapkan diri dengan matang sebelum menemui wanita pujaannya.
Tak disangka ketika kesempatan itu datang, Laura bukan hanya tidak menghargainya, tetapi wanita itu juga mengakhiri jalinan cinta kasih mereka. Hati Gallen seperti ditusuk ribuan duri dalam waktu bersamaan.
“Hei, Bung! Otakmu benar-benar tidak berfungsi,” ejek Jody. Sudut bibirnya membentuk seringai sinis. “Kau tidak pantas bersanding dengan Laura. Lihat dirimu!”
Jody menyapu penampilan Gallen dengan tatapan menghina yang sangat kentara. “Perbedaan kau dan Laura seperti langit dan bumi. Kau tak ubahnya bagai pungguk merindukan bulan. Berhentilah bermimpi!”
Tatapan Jody berubah hangat dan lembut ketika dia berpaling kepada Laura. “Apa sekarang kau sudah sadar bahwa hanya aku yang pantas untukmu?”
Senyuman pongah menghias bibir Jody. Tiga tahun dia mengejar Laura tanpa lelah. Namun, wanita itu selalu saja bersikap tak acuh kepadanya. Sekarang dia yakin, kesabarannya tidak akan sia-sia.
Pandangan Laura mulai terbuka. Jody adalah pewaris tunggal keluarga Hopkins—pengusaha real estate. Saat terikat dengan Gallen, dia tidak pernah melirik Jody. Dia setia pada Gallen karena yakin Gallen sedang sibuk menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat doktoral di luar negeri. Sementara Jody hanya lulusan pascasarjana.
Mendapati kenyataan Gallen bekerja di sebuah bengkel kecil, Laura sungguh kehilangan muka di hadapan keluarga besarnya. Terlebih pada tamu-tamu penting yang hadir di pesta pernikahan sepupunya itu.
“Tentu, Jody. Kau jauh lebih pantas untuk berdiri di sampingku.”
Jody terkekeh penuh kemenangan. Dia mendorong bahu Gallen dengan jari. “Kau dengar, Bung? Saatnya bagimu untuk angkat kaki dari sini!”
Gallen menatap Laura tanpa ekspresi. “Kau yakin ingin mengakhiri hubungan kita sampai di sini, Laura? Jika suatu saat nanti kau menyesal, sudah terlambat bagimu untuk kembali.”
Sudut bibir Laura mencebik sinis. “Enyahlah! Aku menyesal pernah memberikan hati dan kesetiaanku pada lelaki sampah sepertimu!”
Riuh tepuk tangan mengapresiasi keputusan Laura. Kumpulan sepupunya menampilkan senyuman puas pada wajah mereka.
Gallen tercacak dalam bisu, melepas kepergian Laura sambil menggandeng mesra lengan Jody menjauh darinya.
Berpikir tak ada gunanya lagi berada di tempat itu, Gallen balik badan. Meninggalkan ruangan yang dipenuhi tawa dan seringai mengejek dengan langkah gontai. Hatinya remuk redam.
Laura adalah cinta pertamanya. Dia berharap itu juga akan menjadi cinta terakhirnya. Sayangnya, takdir tidak berpihak kepadanya. Laura justru memilih berpisah darinya pada saat dia merasa siap untuk mengokohkan hubungan mereka.
Berdiri di dekat motor bututnya, Gallen mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celana dan membukanya. Kemilau sebuah cincin berlian menyilaukan mata begitu tertimpa cahaya matahari.
Apa yang harus dilakukannya dengan cincin berlian itu? Haruskah dia membuangnya? Atau mengembalikan cincin itu ke toko? Gallen melempar pandang pada pintu masuk lobi hotel seraya menghela napas panjang.
***
Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga. Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc. Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya. Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah ber
“Papa?” Ara terperangah saat mengenali lelaki yang baru saja menyabotase perkenalannya dengan Gallen. Dia terlonjak tegak, begitu pula dengan Gallen. Siapa yang mengira Guntur Priambudi akan menemukannya di sini. Gallen mengernyit sepintas lalu lantaran tak mengharapkan kemunculan keluarga Ara yang tiba-tiba. Sebelum Gallen sepenuhnya mampu menguasai rasa terkejutnya, Ara sudah diseret menjauh, meninggalkan meja. Dua lelaki berbadan kekar membekuk Gallen. Kekagetan membuatnya lengah. Dia hanya bisa mengikuti ke mana dua orang itu membawanya. “Lepaskan dia, Pa!” cicit Ara, memandang Gallen dengan perasaan bersalah. “Masuk!” Guntur mendorong Ara ke dalam mobil. Di mobil lainnya, Gallen pun menerima perlakuan yang sama. Hidungnya nyaris mencium permukaan jok ketika dia tersungkur. Sebelum Gallen sempat memperbaiki posisi tubuhnya, sesuatu menusuk lehernya. Rasanya seperti digigit semut merah. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Gallen kehilangan kesadaran
Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya. Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen. “Dia masih hidup, Bos!” Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.” “Tapi, Bos—” “Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!” “Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain. “Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?” Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berus
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G