Share

Hari Pertama Hukumannya

Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.

Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?

Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya.

"Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya. 

"Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua kelas yang menuntutnya untuk memiliki sikap mengayomi siswa di kelasnya. 

Eritha menggelengkan kepala dan menyeka keringat dingin yang mulai bercucuran. "Bukan apa-apa, hanya siapa tahu kalau penampilan yang terlalu sempurna bisa menjadi bencana."

Entah dia tidak mendengarkan gumaman Eritha atau tidak mengerti ucapannya, Juanita menaikkan alis dan menatapnya dengan bingung. "Hah?"

Dengan cepat Eritha menggeleng dan menghilangkan rasa penasaran Juanita. "Tidak. Bukan apa-apa, aku hanya bergumam saja."

Tidak curiga dan tidak terlalu penasaran, itulah kelebihan Juanita yang dapat Eritha tangkap di pertemuan pertama mereka. 

Sehingga tanpa bertanya lagi, Juanita langsung mengangguk dan melupakan tentang keluh teledornya beberapa waktu lalu. "Ah, begitu."

Lalu dengan mengganti tema percakapan, Juanita mengajaknya untuk berkeliling lingkungan sekolah. "Istirahat nanti, bagaimana jika kita menghabiskannya dengan berkeliling sekolah? Karena kau masih baru, pasti kau belum mengenal baik lingkungan sekolah kita."

Meskipun berkeliling bisa saja menjadi bencana jika ia bertemu pria tampan lainnya, tapi mungkin itu lebih baik daripada menahan diri untuk tetap berada di satu ruangan dengan sumber trauma. 

Jujur saja, saat ini ia merasa cemas karena tidak dapat membayangkan bagaimana jika ia menunjukkan traumanya di khalayak ramai. Meskipun —saat tadi ia mencuri pandang ke arahnya— kursi pria itu ternyata jauh dari bangkunya. Namun bukankah sesuatu yang tidak terduga bisa saja terjadi? Jadi untuk meminimalisir, ia memilih untuk menghindari bahaya ancaman yang terdekat dari dirinya. 

Selain itu, seperti yang dikatakan Juanita, sekolah ini cukup besar. Hingga ketika berangkat sekolah tadi, ia merasakan kesulitan untuk menemukan ruangan kantor guru.

"Ya, baiklah," jawab Eritha, yang anehnya meskipun berkeliling sekolah ini akan merepotkannya, tapi wanita itu tetap tampak senang untuk direpotkan.

Jadi dengan senyum yang lebar, dia menyambut baik jawaban darinya. "Baiklah. Ayo kita berkeliling bersama nanti."

Seperti janjinya, Juanita mengajaknya berkeliling seluruh lingkungan sekolah. 

Sangkanya, ia hanya akan diberitahu letak ruang guru, rung kepala sekolah, UKS, dan Aula. Namun pada kenyataannya, Juanita mengajaknya berkeliling seluruh tempat hingga kakinya terasa sakit.

Beberapa kali ia ingin menghentikan tur tiada ujungnya ini, Eritha memanggil namanya dan mengatakan sejujurnya mengenai kakinya yang mulai terasa letih. Namun bagaimana ia bisa mengatakannya jika wanita itu tampak menjelaskan dengan sangat bersemangat? Hati nuraninya yang merasakan semangat tanggung jawab Juanita, melarang mulutnya untuk mengeluh walaupun memang begitulah kenyataan yang ia rasakan.

"Eritha, kau mendengarkanku?" tanya Juanita ketika melihatnya kehilangan fokus lantaran melamun. 

"Ya, tentu saja," jawabnya ringan yang membakar kembali semangat wanita itu. 

"Jangan pernah ragu kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan," ujarnya yang membuat orang mana pun pasti ingin bergantung padanya.

Lalu setelah memikirkannya matang-matang, Eritha mulai mempertimbangkan untuk menanyakan mengenai bahaya yang mengancamnya. 

Untuk dapat menghindarinya, ia harus mengenali musuhnya.

"Juanita, bisakah aku bertanya?"

Dengan sangat bersemangat, Juanita mengangguk dan menantikan apa pertanyaan yang ingin ia sampaikan. "Tentu, apa yang ingin kau tanyakan? Tentang guru? Pelajaran? Denah?"

Eritha terkekeh canggung dan mengerak-gerakkan tangannya. "Bukan. Bukan itu."

"Lalu?"

Lantaran merasa malu karena setelah menjelaskan banyak hal, Eritha justru bertanya mengenai siswa tampan di kelasnya, ia pun menjadi terdiam dan mencoba memberanikan dirinya. 

"Ini tentang murid kelas kita." Eritha mencoba untuk memberikan pembukaan yang bagus, tapi yang ia lakukan hanya bertanya kaku yang membuatnya semakin merasa canggung.

"Baiklah. Murid yang mana?"

Haruskah ia berkata 'yang tampan'? Jika ia berkata begitu pasti ia dikira naksir pada pria itu dan ingin mendekatinya. Padahal Eritha kan hanya ingin menghindarinya. Namun di sekolah campuran seperti ini, apakah etis untuk bertanya tentang lawan jenis? 

"Murid yang ..."

Ah! Dia terlambat.

"Murid yang tadi datang terlambat. Siapa dia?"

"Ah, dia." Juanita mengangguk dan membocorkan sedikit identitasnya pada Eritha. "Pria itu namanya Arlando. Dia cukup populer karena wajahnya. Namun seperti yang kau dengardari bu guru pagi ini, dia dipanggil ke ruang kesiswaan, bahkan sangat sering bolak-balik ruangan tersebut. Jadi bisa dibilang dia sangat bermasalah. Bermasalah dengan perilaku dan juga nilai pelajarannya."

Lalu sambil berbisik, dia mengungkapkan aib pria tersebut, "Nilainya yang terburuk di dalam kelas kita."

Eritha mengangguk dalam perasaan tenang. 

Ah, mungkin efek traumanya akan segera hilang setelah melihat pria itu tidak sesuai dengan ekspektasinya. 

"Kenapa? Eritha tertarik padanya saat melihat dia di kelas tadi?" 

Siapa sangka, meskipun ia tidak mendeskripsikannya 'yang tampan', Juanita tetap curiga juga. 

Dengan tegas, Eritha menolak pemikiran Juanita yang akan membuatnya semakin dicurigai, "Tidak."

Namun di pertemuan pertamanya, Eritha menemukan satu lagi kelebihan yang disukainya dari sosok Juanita. Dia sangat simpel.

Ia kira, seperti wanita-wanita yang dikenalnya, Juanita akan menggoda dan berbantah dengannya. Namun Juanita tidak begitu.

Dia hanya mengangguk dan menjawabnya dengan santai. "Oh, benarkah begitu? Aku kira kau menyukainya. Banyak orang yang bertanya padaku tentangnya dan mereka semua tertarik padanya, jadi kukira kau pun juga begitu. Maafkan aku, karena salah paham. 

Dengan tersenyum lebar, Eritha menunjukkan bahwa ia tidak merasakan adanya masalah dari prasangkanya. "Tidak masalah."

"Bagaimana jika kita membeli beberapa roti di kantin untuk mengisi perut kita?" Juanita menawarkan roti padanya yang segera Eritha terima dengan senang hati.

"Baiklah." 

Ketika Eritha hendak mengambil uang untuk rotinya, Juanita justru menolak uangnya. "Tidak perlu. Kali ini biarkan aku yang membayarnya sebagai tanda persahabatan."

Karena rasa keberatan, Eritha ingin menolak kebaikan Juanita yang terlalu besar untuk pertemuan pertama mereka itu. Namun karena dia berkata tentang 'tanda persahabatan', Eritha merasa kalau ia tidak seharusnya menolak traktiran Juanita. Jadi dengan menutup kembali dompetnya, ia mengangguk setuju. 

"Baiklah, tapi lain kali biarkan aku yang mentraktirmu makan. Oke?"

"Oke. Kalau begitu tunggu di sini. Biar aku saja yang masuk, karena kantinnya penuh sesak."

"Ya. Terimakasih."

Lalu begitu Juanita masuk ke dalam kantin, dia pun menghilang di dalam kerumunan siswa yang mengantri itu. 

Selagi menunggu Juanita, Eritha melihat sekeliling untuk menghabiskan waktu luangnya. 

Semua tampak baik-baik saja saat itu, hingga seseorang memanggil namanya. Jika dia tahu namanya, tentu dia pasti adalah orang yang ia kenal. 

Jadi tanpa mencurigai apapun ia membalikkan tubuhnya dan melihat siapa yang sedang memanggilnya itu. 

Namun betapa ia sangat terkejut ketika melihat pria yang tadi memanggilnya adalah pria yang sangat ingin dihindarinya. 

Dengan senyum yang lebar, dia membuat jantung Eritha berdegup tak karuan hingga perlahan ia merasa mual. 

"Aku mencarimu. Ternyata kau ada di sini?"

Tidak. Aku tidak bisa muntah di hari pertamaku. Aku ...

Eritha menutup mulutnya dan merasakan sebuah gejolak di dalam perutnya. 

Tidak!

...****************...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status