Share

Jawaban Takdir Atas Olokannya

Kenapa ia membawanya?

Aliando menatap ponsel yang kemarin dijatuhkan seorang wanita yang tidak sengaja ia temui di depan sekolah. Entah apa yang membuat wanita itu berlari pergi begitu saja, hingga dia tidak mengambil ponselnya yang terjatuh.

Wanita yang aneh. Tidak biasanya orang membuang ponselnya dan pergi begitu saja. 

Namun dibandingkan wanita itu, Aliando merasa dirinya yang lebih aneh. 

Kenapa dia harus membawa ponselnya di saat ia sendiri tidak kenal siapa pemiliknya. Kemarin gadis itu bahkan tidak memakai seragam sekolahnya, yang berarti kemungkinan untuk bertemu di sekolah sangat kecil. Terlebih, sekalipun dia murid sekolahnya, Arlando belum tentu dapat bertemu dengannya mengingat murid di sekolah tersebut sangat banyak. 

Jadi selagi memasukkan telepon genggam tersebut ke dalam saku, ia bergumam atas kemustahilan pertemuan mereka kembali.

"Tidak mungkin. Aku pasti tidak akan bertemu wanita itu lagi. Jika bertemu, maka itu hanya dapat terjadi bila ada campur tangan takdir." ejek Arlando pada rantai takdir yang baginya hanya ia anggap sebagai sugesti masyarakat saja. 

Lalu ia masuk ke dalam gedung sekolahnya dan mengenyahkan segala perihal mengenai wanita itu. 

Baru ia hendak masuk ke dalam kelas, mendadak ia diberitahu kalau ia dipanggil ke bagian kesiswaan. 

Benar-benar pagi yang buruk.

Lalu dengan langkah yang enggan, ia berjalan menuju lantai paling atas untuk menemui guru yang merindukannya itu. 

Tok, tok, tok.

"Selamat pagi," sapanya dengan nada datar, sambil membuka pintu ruang kesiswaan. 

"Masuk," ujar guru kesiswaan tersebut dengan nada yang tidak ramah, meskipun dengan melihat frekuensi pertemuan mereka, seharusnya mereka sudah menjadi sahabat karib.

Seperti perintahnya, Arlando masuk ke dalam ruang tersebut dan duduk di kursi yang berhadapan dengan guru kesiswaan. 

"Kau tahu kenapa aku menyuruhmu untuk datang kemari?" tanya guru kesiswaan padanya yang membuatnya tersenyum kaku.

"Aku hanya diberitahu kalau aku dipanggil untuk datang kemari. Aku belum diberitahu alasannya."

Baiklah, Arlando akui bahwa ucapannya pasti terdengar sangat menyebalkan terutama bagi gurunya. Namun yang ia katakan tidak salah. Arlando memang belum tahu alasanya dipanggil kemari. Kini ketika ia datang untuk menanyakan tujuannya diminta datang ke ruangan tersebut, tiba-tiba ia diberi teka-teki yang tak mampu ia jawab. 

"Kau tidak tahu? Apakah ada terlintas sebuah kesalahan yang kau buat, yang membuatku terpaksa memanggilmu kemari —meskipun aku sudah terlalu bosan untuk bertemu denganmu—?" tanya guru kesiswaannya yang mencoba untuk bersabar dengannya sambil menghela napasnya berkali-kali. 

"Emmm ..." Arlando mencoba mengingat kesalahan apa yang ia buat selama beberapa hari ini. Hingga terlintas di kepalanya sebuah kesalahan yang ia lakukan. "Mungkinkah karena aku pergi di tengah kelas?"

Guru yang masih terhitung muda itu menghela napas dan memberinya pertanyaan lain. "Apakah kemarin kau membolos di tengah pelajaran?"

Arlando mengedipkan matanya dan menggeleng polos, "Bukan itu? Kalau begitu, tunggu sebentar. Akan kucoba untuk mengingat-ingat lagi."

Untuk seukuran guru kesiswaan yang dominan dijabat oleh guru yang galak, guru kesiswaan sekolahnya tergolong cukup sabar. 

Dia bahkan memberinya waktu untuk mengingat-ingat, meskipun itu memakan waktu dan emosi. 

"Ah!" Arlando akhirnya teringat oleh sebuah kejadian. "Apakah ini karena kemarin aku pergi ke kantin di saat pelajaran masih berlansung?"

Pria itu pun tertawa getir, yang membuat Arlando tidak dapat melakukan apapun selain tersenyum lebar tanpa penyesalan. 

"Jadi kau bahkan makan di tengah pelajaran. Baiklah, aku akan membuat pengecualian untukmu dan memberitahukan langsung titik kesalahanmu. Kau pasti sangat kesulitan mengingat kesalahanmu, ketika kau sendiri melakukan banyak kesalahan di sana sini. Jadi biar kubantu kau untuk merenungkan kesalahanmu."

Dari lacinya, guru kesiswaan itu mengeluarkan selembar kertas jawaban yang kosong. 

Kosong yang dimaksud di sini bukanlah kosong lantaran masih baru atau sesuatu yang sejenisnya, melainkan karena dibiarkan kosong alias tidak diisi oleh Arlando. 

"Ah, jadi karena ini," jawab Arlando singkat yang tidak mendapat tanggapan ekspresi apapun dari gurunya. 

"'Ah, jadi karena ini'?!" Guru kesiswaannya menirukan perkataannya dengan nada marah. "Apakah sekolah adalah tempat bermain bagimu?!"

Ya. Sejujurnya setidak penting itulah sekolah bagi Arlando.

Namun karena tidak ingin membuat kontroversi dari ucapannya, Arlando hanya terdiam selagi membiarkan dirinya diamuk sedemikian rupa dan menganggap perkataan itu sebagai angin berlalu saja. 

"Jika kau tidak tahu, seharusnya kau setidaknya mencoba untuk menjawab. Apa kau ingin tidak lulus?!"

Tepat di saat itu, bel masuk berbunyi.

Kriiingg ... Kriiiingg ...

Jika dilihat dari raut kemarahannya, guru tersebut tampak belum merasa puas memarahinya. 

Namun mau bagaimana lagi? Bukan Arlando yang menyalakan belnya.

Jadi dengan sangat bahagia, Arlando pamit undur diri untuk menjadi murid rajin yang di harapkan guru tersebut.

"Saya permisi untuk masuk kelas."

Tidak memiliki alasan untuk menghentikannya, guru muda tersebut menghela napas dan memijat keningnya yang munkin sedang pusing. "Baiklah. Pergilah, pergilah."

Dengan langkah yang sangat bahagia, Arlando meninggalkan ruang tersebut dan berjalan menuju kelasnya yang masih jauh di lantai bawah. 

Hingga, karena perjalanan panjangnya yang harus menuruni tangga demi tangga, ia datang ke kelas dengan terlambat. 

Semua teman-temannya sudah masuk, dan begitu pula dengan guru wali kelasnya. Namun pemandangan pagi yang sangat biasa itu mendadak jadi menarik perhatiannya, ketika ia melihat kehadiran seorang wanita. 

Selagi berjalan sangat perlahan menuju pintu kelas, Arlando mengamati wajah siswi murid yang baru pertama kali ia lihat itu dari balik kaca.

Sambil menatap wajahnya lekat-lekat, ia berpikir di dalam hati. 

Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Kenapa wajahnya sangat tidak asing? 

Ah, benar! Ponsel!

Lalu Arlando kembali menatap gadis tersebut dan mengamati wajahnya yang kemarin tidak sempat ia lihat dengan baik.

Ternyata setelah mengamatinya seperti ini, wajah wanita itu cantik juga. 

Tidak hanya dirinya, semua pria yang ada di dalam ruang kelas sepertinya memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. 

Namun yang membuatnya terkejut adalah pakaian seraga sekolahnya yang dikenakan oleh wanita itu. Tunggu, mungkinkah?

"Perkenalkan, namaku Eritha Yessie. Aku pindah ke sekolah ini karena ayahku dipindah kerjakan di kota ini. Jadi senang bertemu dengan kalian," ucap wanita itu dengan senyum lebar.

Bersamaan dengan selesainya perkenalan siswi pindahan itu, seluruh murid di kelas itu bertepuk tangan. Terutama para pria, mereka menyambutnya dengan sangat heboh, yang membuat Arlando tersenyum geli dengan tingkah mereka. 

Kini ketika semua suara riuh itu mereda, giliran Arlando yang bertepuk tangan di depan pintu untuk memberikan sambutannya. 

Hingga tindakannya yang bermain tunggal, membuat semua perhatian tertuju padanya termasuk guru dan murid bernama Eritha tersebut. Namun sayang sekali, ketika melihatnya tiba-tiba senyum gadis itu lenyap dan rupanya sambutannya tidak diterima dengan hangat.

"Maafkan saya karena datang terlambat," ujarnya pada guru wali kelasnya yang sedang berdiri di depan kelas. 

"Tidak apa-apa," jawab Bu Via yang menjabat sebagai wali kelasnya. "Bu guru sudah mendengar kalau kau dipanggil ke ruang kesiswaan."

Tanpa bertanya ataupun berbicara banyak hal, Bu Via langsung mengijinkan Arlando masuk dan mempersilakannya duduk. "Masuk dan duduklah."

Selagi berjalan menuju bangkunya, Arlando memandang ke arah Eritha dan melewatinya. Sesaat mata mereka bertemu, tapi wanita itu tidak melihatnya dengan sorot mata kagum. Dia hanya menatapnya dan menghela napas.

"Eritha, kau juga. Duduklah di bangku yang masih kosong dan jika ada pertanyaan kau bisa bertanya pada ketua kelas." 

Dengan melambai antusias, Juanita menunjukkan keberadaannya yang sangat kebetulan mereka duduk bersama. 

"Baiklah. Pelajaran akan segera dimulai, tunggu guru pelajaran pertama datang dan pastikan tidak ada suara berisik. Kalian mengerti?"

Dengan suara menggelegar mereka menjawab dengan sangat kompak. "Ya."

"Kalau begitu, selamat pagi dan selamat belajar."

Meskipun berkata tidak akan membuat keributan, kelas menjadi riuh begitu guru wali kelas pergi. Mereka menatap Eritha dengan rasa minat yang tinggi.

Tak terkecuali dengan Arlando. Dari bangkunya yang berada di pojok kelas, ia melayangkan pandangannya pada wanita dengan ketertarikan.

Dari semua tempat, kenapa dia bersekolah di tempatnya? Kenapa juga berada di kelasnya? Lalu dari sekian banyak pejalan kaki, mengapa wanita itu menabrak dirinya?

Mungkinkah ini sungguh takdir? Apakah takdir itu benar-benar ada?

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status