Liara tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya tadi. Hanya karena mendengar ancaman tak sungguh dari Tatiana, ia malah membongkar rahasia yang selama ini mati-matian dijaga.
Oleh mulutnya sendiri, Liara mengumumkan bahwa Hagan adalah suaminya. Jangankan Tatiana, dirinya sendiri saja masih terkejut sampai detik ini.
"Kau sudah menikah? Kau sudah menikah tanpa memberitahuku?"
Si adik marah. Liara bisa paham itu. Ia akan terima jika Tatiana akan mendiamkannya sampai beberapa hari nanti. Yang membuatnya sedikit cemburu adalah adiknya itu bersikap berbeda pada Hagan.
"Aku Tatiana, Kak. Maaf baru bisa menemuimu sekarang." Gadis remaja itu melirik sinis pada kakaknya.
Setelahnya, Liara ditinggal berempat saja di sana. Usai hujan reda, Tatiana mengajak Hagan bicara berdua di tempat lain. Adiknya itu sama sekali tak tampak marah pada Hagan.
Tatiana hanya memeluknya sekilas saat akan pamit tadi. Membuat Liara sediki
Liara melarang Hagan memanggil dokter atau membawanya ke rumah sakit. Mendadak alergi dengan dua hal itu, hingga Max yang sengaja diminta datang juga ia jauhi.Perempuan dengan wajah kuyu itu bersikeras tak ingn mendapat perawatan atau pemeriksaan apa pun. Hanya ingin istirahat.Hal itu membuat kepala Hagan nyaris pecah. Ia tak tega melihat Liara tampak pucat, lemas dan seperti kelelahan layaknya sekarang. Namun, ingin memaksa, ia juga tak bisa. Liara entah kenapa mudah sekali menangis sekarang."Aku hanya akan memeriksa beberapa hal." Max yang ikut-ikutan duduk di ruang TV berusaha merayu lagi. Ia juga cemas karena Liara terlihat tak bertenaga.Masih dalam posisi berbaring di sofa, yang ditanyai menggeleng. "Menjauh dariku!" teriaknya.Max belum hilang arah. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku. Menaruhnya di meja. "Kau tahu cara menggunakan alat itu?"Melirik ke sana, Liara mengangguk. "Kau kira aku h
Hagan terbangun karena merasakan ada yang menggerakkan tangannya. Membuka mata, pria itu mendapati Liara sedang berusaha turun dari ranjang mereka."Ke mana, Liara?" Pria itu duduk, berusaha membuka mata sepenuhnya.Berjengit karena terkejut, Liara menoleh. "Aku lapar. Ayam gorengku tadi masih ada, 'kan?"Seminggu sejak pemeriksaan kemarin, artinya Liara sudah hamil enam minggu. Tidak banyak yang berubah pada perempuan itu, selain lebih sering mual di pagi dan malam hari dan jam makannya berubah.Tadi, sewaktu jam makan, Liara menolak. Hanya memasukkan nasi dan sayur sebanyak tiga suap. Sekarang, di pukul dua dini hari, perempuan itu malah terbangun karena lapar.Beruntung Hagan sudah mewanti-wanti Nia untuk tetap menyimpan ayam goreng tadi. Hagan hanya tinggal memanaskan sebentar, lalu menyajikannya pada sang istri.Pelan-pelan, meski masih sering ragu, Liara mulai terbiasa dengan kehamilan ini. Perempuan
Liara ingin menangis, tetapi ia tak bisa. Duduk memeluk lutut di sebuah bangunan yang entah di mana dan milik siapa, ia terus menatapi sosok pria yang terikat di kursi pesakitan di depannya.Liara tak tahu apa nama benda itu. Yang jelas, bentuknya seperti senter. Benda itu yang diarahkan salah satu pria berkaus hitam ke leher Hagan, hingga berhasil membuat suaminya itu jatuh tak sadarkan diri hingga sekarang.Tadinya hanya ada dua orang yang memintanya masuk ke mobil. Mata Liara ditutup, baru diizinkan melihat lagi saat tiba di tempat ini. LIma pria bertubuh tegap lainnnya menyambut mereka.Hagan didudukkan di kursi, lalu tangan juga kakinya diikat. Denagn cepat Liara menyadari apa yang terjadi. Seperti yang terakhir kali, mereka diculik.Perempuan itu takut. Ia ingin menangis karena Hagan tak kunjung sadar dan membayangkan akan diapakan mereka nantinya. Namun, Lira tak mau membiarkan air mata jatuh. Itu hanya akan membuat orang-or
Mustahil jika Liara baik-baik saja setelah semua yang dialami. Perempuan itu babak belur. Memar menghuni nyaris seluruh badan. Bagian paling parah, perempuan itu keguguran.Dokter menjelaskan itu pada Hagan beberapa jam lalu, saat akan mengambil tindakan kuretase.Janin Liara tak bisa selamat. Dipastikan karena si calon ibu mengalami banyak pukulan di daerah peut bawah dan panggul. Juga beberapa kali terjatuh dalam posisi salah.Hilang akal, nyawa Hagan seolah raib saat mendengar semua itu. Pria itu hanya mampu terduduk lemas di ruang tunggu selama istrinya menjalani tindakan.Habis. Hancur. Lebur tak bersisa. Hagan kehilangan dunianya dalam waktu sekejap.Anak yang begitu ia dambakan harus pergi, tanpa sempat dilahirkan atau bahkan berkembang lebih besar lagi. Patah. Mendadak dunia yang sebelumnya terlihat indah itu menjadi sungguh suram dan hampa.Di tengah duka yang juga dibalut kemarahan itu, Hagan men
Hagan yang sedang asyik melampiaskan amarah pada salah satu orang suruhan, diinterupsi Biru. Orangnya Orlando itu menariknya menjauh dari seorang pria yang wajahnya sudah bersimbah darah."Lakukan pekerjaanmu dengan baik, bajingan! Aku membayarmu bukan untuk melaporkan kegagalan!"Pria itu murka. Tak ada satu pun jejak yang bisa dipakai untuk menelusuri siapa dalang di balik apa yang menimpanya dan Liara kemarin.Hagan tak ingat nomor mobil yang mendatanginya dini hari itu. Ia tak ingat satu pun wajah mereka. Tempat yang dipakai untuk menyekap adalah bangunan lama yang sudah tidak digunakan dan tidak diketahui siapa pemiliknya.Hagan menyewa detektif. Yang paling andal katanya. Namun, dia tak mendengar satu pun kemajuan dari laporan orang itu. Padahal, ini sudah tiga hari berlalu.Sial. Sial. Sialan."Dengan begini, masalah tidak akan selesai, Tuan." Biru mengingatkan, meski setelahnya harus mendapat lempa
Menatapi batu nisan di hadapannya, Liara tak mampu berkata-kata. Perempuan itu merasa kepalanya seketika kosong.Demi membuktikan kebenaran ucapan Max, sedikit memaksa, perempuan itu minta diantar ke tempat ini. Lokasi peristirahatan terakhir Redrick.Max ternyata tidak berbohong. Itu memang makan Redrick. Nama adik tiri Hagan itu tertulis di keramik hitam itu. Tanahnya masih basah dan masih terdapat bunga tabur yang kelihatan baru."Kenapa bisa?" Liara bertanya lirih. Perempuan yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu mengusap nisan di sana. Wajahnya muram.Berjongkok di samping Liara, Max ikut-ikutan memasang ekspresi berduka. "Entah dari siapa, dia tahu di mana kau dan Hagan disekap. Dia sedang dalam perjalanan ke sana juga saat memberitahu aku dan Biru."Asumsi Max, mungkin, karena sagat kalut, Redrick mengemudikan mobilnya secepat yang dibisa dan karena kondisi emosinya itulah ia mengalami hilang kendali hing
"Kau sungguh akan melakukan ini?" Orlando penuh kemarahan sekarang. Laki-laki dewasa yang tertunduk di hadapan benar-benar membuatnya ingin meledak.Hanya karena takut Liara kembali menjadi sasaran orang-orang yang mengincar harta Arsenio, anaknya itu menceraikan Liara. Sudah sah, sebab saat ini Hagan sudah memegang surat pengesahan dari pengadilan."Aku tidak habis pikir kau bisa sedungu ini, Hagan! Apa yang kau dapatkan bila berpisah dari Liara?" Orlando tak peduli beberapa pasien atau perawat yang lewat melempar tatapan aneh pada mereka. Pria itu hanya ingin fokus pada Hagan, menyadarkan anaknya itu."Aku tahu seberapa besar kau membutuhkannya. Dan apa? Kau melepasnya? Sungguh bodoh! Jika kau tak ingin ia celaka oleh orang-orang yang mengincarmu, maka jaga dia. Tetap di sisinya."Orang yang ia ajak biara diam saja bagai patung, Orlando mengambil langah besar menuju ruangan Liara. Mungkin, ia bisa membujuk menantunya itu.
Waktu tak pernah berhenti. Ia tak akan memberi jeda dan menunggumu pulih dari duka, sedalam apa pun luka yang kau miliki.Liara berusaha meyakini itu. Pagi ini, ia memulai pekerjaannya di salah satu toko kelontong. Liara diterima bekerja di sana sejak kemarin.Sudah pindah dari rumah Hagan, putus hubungan kerja sama dengan pria itu, artinya Liara harus mencari penghasilan untuk menutupi biaya hidup selanjutnya. Walau tabungan masih ada, ia juga tak boleh berleha-leha hingga uang itu habis.Di luar prediksi juga, keinginan Liara untuk mengakhiri hidup perlahan tak terlalu terasa lagi. Perempuan itu sudah lebih pasrah. Seperti kata Red, semua orang sudah punya jadwal masing-masing untuk mati.Liara berubah? Sebenarnya tidak banyak yang berubah, Kecuali, celah kecil di hati. Perempuan itu mendadak merasa seolah kehilangan sesuatu sejak meninggalkan rumah Hagan seminggu yang lalu.Hal lucunya, beberapa hari lalu, Liara yan