Share

Bab 5

Lingerie Untuk Siapa?

Part 5

Wulan

Terdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku yang sudah selesai bersiap untuk pergi bersama Teh Yuyun segera keluar kamar. Terdengar seseorang memanggil namaku. Bergegas kubuka pintu diiringi tatapan penuh tanya dari Teh Yuyun. Tampak Mas Heru berdiri di depan pintu. 

"Dek, bisa saya minta tolong?" 

Aku mengerutkan dahi. "Minta tolong apa, Mas? Ayo, masuk dulu."

Mas Heru masuk, dan duduk di kursi ruang tamu. "Gini, Dek. Barang-barang untuk kios saya sudah datang, tapi saya masih ada keperluan lain. Bisa minta tolong bantu awasi orang yang bantuin beres-beres di sana? Dan, saya juga nggak begitu pintar menata barang, bisa tolong sekalian kamu yang atur, Dek?"

Mendengar permintaan Mas Heru, aku menatap Teh Yuyun, meminta pendapat. Teh Yuyun juga terlihat bingung. 

"Atau kamu mau ada acara?" tanya Mas Heru. 

"Eh, nggak kok, Mas. Tapi, aku boleh ajaj Teh Yuyun, ya."

"Nggak apa-apa. Ajak, saja. Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Mas Heru. Aku mengangguk. Kemudian Mas Heru meninggalkan rumah ini. 

"Loh, terus periksa ke bidannya gimana, Lan?" 

"Ntar sore aja, Teh. Minta anter Mas Haris. Lagian, sekarang udah mendingan, kok."

"Bener?"

Aku mengangguk. "Kalo Teh Yuyun nggak sibuk, dan nggak keberatan, temenin aku ke kios yang mau disewa Mas Heru, ya."

"Ya udah, ayo."

Setelah mengunci pintu, aku dan Teh Yuyun menuju kios yang akan disewa Mas Heru. Jaraknya tidak terlalu jauh, jadi kami berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, aku menceritakan tentang rencana Mas Heru soal kios itu. Menurut Teh Yuyun, tindakan Mas Heru untuk tidak tinggal bersama keluargaku, sudah tepat. Meskipun Mas Heru kakak dari suamiku, tetap saja dia bukan mahramku. 

Aku menyimak baik-baik semua penjelasan Teh Yuyun. Hingga tanpa terasa kami tiba di kios Mas Heru. Tampak sebuah truk terparkir di depan kios. Dua orang lelaki terlihat menurunkan beberapa barang. Sebuah etalase, meja kayu dan kursi. Tampak kasur busa plus tempat tidur, lemari kayu dan beberapa barang lain. 

Mas Heru juga tampak sibuk membantu menata barang. Kios ini lumayan besar. Ada sebuah kamar di dalamnya. Sementara kamar mandi di terletak di bagian belakang kamar tidur berhadapan dengan sebuah dapur mini. 

"Dek Wulan, saya pergi sebentar cari makanan buat yang bantu-bantu. Tolong awasi mereka, ya Dek." 

Aku mengangguk. Setelah Mas Heru berlalu, aku dan Teh Yuyun menata beberapa barang yang kecil-kecil. Satu jam kemudian, semuanya selesai. Mas Heru juga sudah kembali dan tengah berbicara serius dengan dua orang yang tadi membantu. 

"Mas, aku ama Teh Yuyun pulang dulu, ya."

"Iya, Dek. Makasih banyak atas bantuannya. Teh, makasih juga, ya." 

"Sama-sama, Mas," jawabku dan Teh Yuyun bersamaan. Kemudian aku dan Teh Yuyun pulang. 

***

Semua kembali seperti biasa. Mas Haris berangkat dan pulang kerja seperti biasa. Mas Heru sesekali datang ke rumah saat Mas Haris ada di rumah. Usahanya lumayan ramai. 

Tentang perselingkuhan Mas Haris, suamiku itu mengaku sudah mengakhirinya. Meskipun belum sepenuhnya percaya, tapi aku merasa senang, Mas Haris menepati janjinya. 

Siang ini, aku berniat membantu Teh Yuyun memasang payet. Suami Teh Yuyun memiliki konveksi yang memproduksi kerudung. Sesekali aku membantu memasang payet.m atau aksesoris lainnya. Mas Haris tak keberatan dengan hal ini. 

Suara pesan masuk ke ponselku saat hendak mengunci pintu. 

'Wulan, bisa kita ketemu?' Sebuah pesan dari nomor tak dikenal, masuk. 

'Maaf, ini siapa?' balasku, centang dua, biru. Detik berikutnya, nomor tersebut melakukan panggilan masuk. 

***

Sekarang, di sinilah aku. Duduk manis di sebuah kafe dengan seorang perempuan yang menurutku tak tahu malu. Namanya Sarah. Dia mengaku sebagai selingkuhan Mas Haris. Tepatnya mantan selingkuhan. Karena hubungan mereka sudah berakhir. Dia memaksaku untuk bertemu, katanya ada hal penting yang akan disampaikan. Entah dari mana dia mendapatkan nomor teleponku. 

"Haris memutuskan hubungan denganku. Dia juga memblokir nomorku. Aku tak bisa menghubunginya. Saat aku datang ke kantornya, ia juga meminta satpam untuk mengusirku."

Aku tersenyum tipis mendengar penuturan perempuan yang rambutnya dicat warna pirang itu. Wajahnya dipoles make up tebal. Penampilannya berbeda jauh denganku yang tidak bisa berdandan. Ia mengenakan dres ketat warna merah menyala, tanpa lengan dan panjangnya hanya sampai atas lutut. Sehingga kulit putihnya bebas terekspos sebagian. 

"Aku dapet nomer kamu dari media sosialmu," terangnya sambil mengaduk kopi yang aku tak tahu namanya. 

Aku memang sesekali membantu Teh Yuyun mempromosikan produknya menggunakan media sosial. Nomor teleponku terpampang di sana. Jadi, mudah saja mendapat nomor teleponku. Cih! Sebegitu ingin tahunya dia tentangku, sampai mencariku ke media sosial.

"Terus, buat apa Mbak Sarah mengajakku bertemu?" Aku sengaja memanggilnya Mbak. Meskipun wajahnya dipoles make up, tetap saja ia terlihat lebih dewasa dariku. 

Sarah mendengus kasar. "Kamu tau, kan. Kalo aku aku ama Haris punya hubungan spesial?"

"Tapi itu sudah berakhir!" Potongku cepat. Aku mulai berpikir  bahwa perempuan ini ingin menyakitiku dengan menceritakan hubungannya dengan Mas Haris. Dasar racun! 

"Apa kamu tau, berapa lama kami berhubungan dan sudah sejauh mana?" 

"Itu bukan urusan saya! Yang penting sekarang, suami saya sudah sadar, dan kembali pada saya, istrinya!" 

Sarah tersenyum sinis. "Apa kamu, juga akan tetap menerima Haris kembali, kalo tau, ada benih Haris sedang tumbuh di rahimku?" 

Rasanya bagai disambar petir mendengar pengakuan Sarah. Aku memejamkan mata, mencoba menghimpun kekuatan agar tidak ambruk di sini. Jantung seperti jatuh ke perut, perih, sesak dan entah apalagi. Bahkan jemariku bergetar menahan amarah. Aku membuka mata, menarik napas dan membuangnya perlahan. 

"Bisa aja itu bukan anak Mas Haris, siapa yang tahu." Aku mencoba tak terpengaruh dengan pengakuan Sarah. 

"Jaga ucapanmu!" Sepertinya Sarah tak bisa menahan emosinya. 

Aku tersenyum sinis, "Kamu bisa dengan mudah memberikan tubuh pada suamiku, jadi ngga menutup kemungkinan kamu juga melakukannya dengan pria lain!" 

Sarah berdiri, ia mengangkat cangkir, sepertinya akan menyiramkan sisa kopinya padaku. Akan tetapi, dia kalah cepat, aku sudah terlebih dahulu berdiri dan mencekal tangannya. 

"Jaga sikapmu! Atau kamu akan malu sendiri! Maaf, aku ngga percaya dengan ucapanmu! Jika memang benar itu anak Haris, silakan temui dia, dan sampaikan hal ini! Permisi!" 

Aku melenggang pergi setelah menghempaskan tangan Sarah dengan kasar. Beberapa pasang mata menatap penuh tanya ke arahku. Aku tak peduli, dan terus melangkah ke luar. 

Jujur, aku merasakan sakit hati yang luar biasa. Walaupun berkata tidak percaya pada ucapan Sarah, tapi dalam hati, aku tetap bertanya, bagaimana jika itu benar? Bagaimana jika anak yang dikandung Sarah itu, benih dari suamiku? 

Tiba-tiba, aku merasa sakit kepala dan mual. Lutut terasa lemas. Aku berhenti melangkah, lalu bersandar pada tembok pembatas di pinggir jalan. Tertatih aku melanjutkan langkah menuju halte yang tinggal beberapa meter di depanku. 

"Mbak, Mbak ngga apa-apa?" tanya seorang  seorang perempuan muda yang berjalan d belakangku. Mungkin ia iba melihat keadaanku. 

"Nggak apa-apa. Cuma tiba-tiba pusing."

"Oh, mari saya bantu, Mbak. Mau saya pesankan taksi?" 

"Terima kasih banyak. Tapi, saya nggak apa-apa."

Perempuan itu menuntunku hingga halte. Dia terlihat khawatir, dan memaksa mengantarkanku pulang dengan taksi. Aku terpaksa menerima tawarannya. Sepertinya dia orang baik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status