Lingerie Untuk Siapa?
Part 4
Wulan
Karena merasa risih dengan kehadiran Mas Heru, aku memilih diam di kamar. Apalagi kakak iparku itu tanpa segan tengah menonton televisi sambil merokok. Tentu saja aku tak suka, lagipula Mas Haris sejak bujangan tidak merokok. Jadi, rumah ini bebas asap rokok. Beberapa teman Mas Haris juga tahu itu. Saat mereka bertamu ke sini, mereka akan merokok di teras.
Samar terdengar suara Mas Haris mengucapkan salam. Kemudian kudengar suamiku itu mengobrol dengan kakaknya. Teringat cucian, aku bergegas keluar. Ternyata mesin cuci sudah selesai berputar. Sebelum menjemur pakaian Mas Heru, aku berniat mengangkat jemuran terlebih dulu.
"Lan, kata Mas Heru kamu tadi muntah-muntah karena diminta tolong memasukan baju kotornya ke mesin cuci?"
Aku menoleh ke arah Mas Haris. "Kalo kamu keberatan, ngomong aja, Lan. Mas Heru tersinggung, loh."
"Jadi, aku yang salah?"
Mas Haris diam sambil tetap menatapku.
"Mas, salahkah aku, jika merasa jijik, saat tak sengaja menyentuh pakaian dalam pria lain?"
"Ya, tapi ngga usah sampe muntah gitu, juga, Lan. Lebay!"
"Lebay? Mungkin, menurutmu aku berlebihan. Karena buatmu memegang pakaian dalam perempuan lain itu hal biasa. Oh, bukan hanya pakaian dalamnya saja, isinya pun sudah …."
"Wulan!"
"Kenapa? Marah? Malu?" Jujur aku mulai tak bisa mengendalikan emosi. Terserah jika Mas Heru mendengar pertengkaran kami.
"Bukan, begitu. Maksudku …."
"Apa?"
Mas Haris diam, tak melanjutkan kalimatnya. Aku berjalan hendak masuk rumah. "Oh, iya. Tolong bantu jemur pakaian kakakmu. Aku istrimu, bukan babu!"
***
Daripada kesal tak jelas, aku berniat menyetrika pakaian yang tadi kuangkat. Kulihat Mas Heru sudah tidak ada di depan televisi. Jadi, aku leluasa untuk mengerjakan pekerjaan yang biasanya aku lakukan sambil menonton televisi. Aku menyimpan tumpukan pakaian di depan televisi. Biasanya juga begitu. Kemudian ke kamar untuk mengambil kain yang biasa dipakai untuk alas menyetrika.
Alangkah terkejutnya aku saat kembali ke ruang televisi. Tampak Mas Heru sedang memegang pakaian dalamku yang belum sempat dirapikan. Entah kenapa aku merasa sangat takut melihatnya seperti itu.
"Ma-Mas Heru, sedang apa?" Bahkan suaraku sampai bergetar.
Mas Heru tampak terkejut, refleks ia menoleh, lalu tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai, menakutkan. Pakaian dalamku ia lempar asal. "Oh, ini. Emm, aku mau nge-charge hape. Tapi, nyari colokan ngga ketemu. Kirain ada di bawah tivi."
Aku yang takut dan kesal menunjukkan letak colokan yang ia maksud. "Itu colokan," ketusku menunjuk dinding di dekat pintu kamar tamu. Anehnya, Mas Heru tampak biasa saja. Dia tidak merasa bersalah sama sekali, padahal sudah bertindak tidak sopan. Sembarangan menyentuh barang pribadi orang lain menurutku itu tidak sopan.
"Ada apa?" tanya Mas Haris yang baru saja masuk.
"Eng, ini, hapeku habis baterai. Mau nge-charge. Kata Dek Wulan, di depan aja. Soalnya dia mau nyetrika di sini." Tanpa meminta maaf, lelaki berkumis lebat itu berlalu meninggalkan aku dan Mas Haris.
"Oh, kirain ada apa." Mas Haris berlalu ke kamar kami. Sementara aku yang sudah kehilangan mood untuk menyetrika, membawa tumpukan baju ke dalam kamar.
"Ngga jadi nyetrikanya?"
Aku tak menjawab pertanyaan Mas Haris dan lebih memilih duduk di karpet, melipati pakaian yang kusimpan asal di depan Mas Haris.
"Lan, soal lingerie itu, aku minta maaf."
Seperti ada yang menusuk dada, perih. "Sudah berapa lama, Mas?"
"Aku, khilaf."
"Seberapa jauh?"
Mas Haris turun dari tempat tidur. Ia mendekat dan berusaha memelukku. Aku berontak, tapi pelukan itu semakin kencang. Jujur aku merasa nyaman dalam pelukan Mas Haris, tapi, membayangkan dia juga memeluk perempuan lain, membuatku muak.
"Lepas Mas!"
"Ngga!"
Akhirnya aku menangis di dalam pelukan Mas Haris. Ya, selemah inilah aku. Marah, tapi tak berdaya. Benci, tapi takut untuk pergi.
"Menangislah, jika itu membuatmu lebih baik. Aku yang salah, tak bisa menahan diri."
"Kenapa, Mas? Kenapa?"
Mas Haris tetap diam memelukku. Sesekali ia mengecup puncak kepalaku.
"Aku akan mengakhirinya, Lan."
"Kapan?"
"Secepatnya. Aku janji. Kalo aku ingkar, terserah kamu mau apakan aku. Dan, satu lagi, kamu boleh marah sama aku, tapi, tolong, bersikap baiklah pada Mas Heru. Dia satu-satunya keluarga yang kupunya."
Aku mengusap air mata, "termasuk kalo dia bersikap tidak sopan padaku?"
"Mas Heru tidak pernah berbuat tidak sopan pada orang lain. Soal mencuci pakaian Mas Heru, kamu bisa suruh orang lain mengerjakannya."
"Tapi …."
"Akan aku usahakan secepatnya untuk mencari kontrakan untuk Mas Heru."
Aku diam saja mendengarkan janji Mas Haris. Aku memang mudah sekali luluh oleh sikap manisnya.
"Jujur, aku takut kehilangan kamu, Mas," bisikku sambil mengeratkan pelukan.
"Iya, aku ngerti. Maaf untuk kekhilafanku, ya. Aku janji ini yang pertama dan terakhir kalinya."
Aku mengangguk. Dalam hati berdoa semoga Mas Haris menepati semua janjinya.
***
Pagi harinya, kami bertiga duduk mengelilingi meja makan untuk sarapan. Mas Haris sudah bersiap untuk bekerja seperti biasa. Perasaanku juga sudah lebih baik.
"Ris, kemarin pas aku ke warung beli rokok, lihat kios di samping warung itu kosong, ya?"
"Warung yang di ujung gang? Dekat tukang ojek?" Mas Haris balik bertanya. Sementara aku, menyimak sambil menikmati sarapan.
"Iya. Dibantu yang punya warung, aku udah hubungi pemiliknya. Katanya mau disewakan. Aku lihat di sekitar sini, belum ada warnet dan counter pulsa ya?"
"Maksudnya, Mas?"
"Gini, daripada aku nganggur, uang pesangon juga takut cepat habis, bagaimana kalo aku menyewa kios itu untuk warnet dan counter?"
"Terserah Mas aja. Kalo menurut Mas itu bagus prospeknya, Haris setuju."
"Iya, rencananya aku mau tinggal di sana juga. Ada kamar sama kamar mandinya juga kok. Aku ngga enak lama-lama di sini." Sambil berkata begitu, Mas Heru melihat ke arahku yang kebetulan duduk di depannya.
"Iya, Mas. Terserah, gimana baiknya saja."
Aku jadi merasa tidak enak, karena sempat bersikap tidak baik pada Mas Heru.
"Mm, Mas Heru, aku minta maaf jika selama Mas Heru tinggal di sini, aku bersikap kurang sopan."
Mas Heru tersenyum. "Iya, Mas ngerti Dek. Haris pernah cerita, kalo kamu memang tidak mudah dekat dengan orang lain, terutama lawan jenis. Maaf jika kehadiran Mas, membuatmu tak nyaman."
"I-iya Mas, sama-sama. Terimakasih kalo Mas Heru, mengerti keadaan saya. Sekali lagi, maaf."
Mas Heru kembali tersenyum. Aku mengakhiri sarapan pagi dengan perasaan lega.
***
Mas Haris pergi bekerja, Mas Heru ikut serta. Mau menyelesaikan urusan sewa kios katanya. Sementara aku, seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Akan tetapi, tak seperti biasanya. Hari ini, aku merasa cepat lelah. Mungkin karena dua hari ini terlalu banyak pikiran.
Tak mau terlalu memaksakan diri, aku duduk istirahat di teras. Teh Yuyun yang baru selesai menyapu halaman, datang menghampiri.
"Wulan, kamu kenapa?"
"Ngga apa-apa, Teh."
"Tapi, wajah kamu pucat. Sakit?"
" Cuma Pusing, Teh."
"Mau dikerokin?"
"Teh Yuyun ngga repot, gitu?" Perempuan berkulit putih itu menggeleng. "Maaf, ya, Teh. Aku sering ngerepotin Teh Yuyun."
"Ngomong apa kamu ini? Orang cuma ngerokin kok repot. Ayo!"
Kami beriringan masuk rumah. Setelah mengunci pintu depan, aku menyusul Teh Yuyun ke ruang keluarga.
"Sebentar aku ambil minyak angin dulu, Teh," pamitku. Tak lama kemudian aku kembali dan memulai ritual kerokan.
"Lan, ngga begitu merah. Badan kamu juga ngga panas."
"Terus, pusing ama mual ini dari mana?"
"Mmm, kamu hamil kali."
Aku tertegun mendengar jawaban Teh Yuyun. Benarkah aku hamil?
"Mau aku anter periksa? Mumpung masih pagi."
"Tapi, Teh …."
"Udah! Sana bersiap! Aku tunggu di sini!"
Aku melangkah dengan gontai ke kamar. Dengan malas aku berganti baju, dan bersiap seperti perintah Teh Yuyun. Bukannya tak mau memeriksakan diri. Sudah berulang kali aku terlambat datang bulan dan merasakan pusing serta mual. Akan tetapi, saat diperiksa, hasilnya negatif. Itulah yang membuatku enggan memeriksakan diri. Takut kecewa.
Lingerie Untuk Siapa?Part 5WulanTerdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku yang sudah selesai bersiap untuk pergi bersama Teh Yuyun segera keluar kamar. Terdengar seseorang memanggil namaku. Bergegas kubuka pintu diiringi tatapan penuh tanya dari Teh Yuyun. Tampak Mas Heru berdiri di depan pintu. "Dek, bisa saya minta tolong?" Aku mengerutkan dahi. "Minta tolong apa, Mas? Ayo, masuk dulu."Mas Heru masuk, dan duduk di kursi ruang tamu. "Gini, Dek. Barang-barang untuk kios saya sudah datang, tapi saya masih ada keperluan lain. Bisa minta tolong bantu awasi orang yang bantuin beres-beres di sana? Dan, saya juga nggak begitu pintar menata barang, bisa tolong sekalian kamu yang atur, Dek?"Mendengar permintaan Mas Heru, aku menatap Teh Yuyun, meminta pendapat. Teh Yuyun juga terlihat bingung. "Atau kamu mau ada acara?" tanya Mas Heru. "Eh, nggak kok, Mas. Tapi, aku boleh ajaj Teh Yuyun, ya.""Nggak apa-apa. Ajak, saja. Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Mas Heru. Aku menganggu
Lingerie Untuk SiapaPart 6WulanWaktu terasa berjalan sangat lambat. Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu Mas Haris pulang. Aku ingin menanyakan kebenaran soal janin yang dikandung Sarah. Meskipun ragu, tapi aku juga takut, seandainya apa yang dikatakan perempuan itu benar. Entah apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku nanti. Suara mobil Mas Haris memasuki halaman rumah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tubuh ini juga seolah kehilangan daya, bahkan sekedar untuk berdiri menyambut kedatangan suamiku. Mas Haris memasuki rumah, wajahnya terlihat lelah. Melihatnya seperti itu, aku tak tega jika harus menceritakan soal pertemuanku dengan Sarah. Almarhum ibuku pernah mengajari, sebesar apapun masalah yang terjadi, jangan pernah membahasnya saat suami baru pulang dari bekerja atau sedang capek. Hasilnya tidak akan baik. Teringat almarhumah ibu, air mataku merebak. Dada rasanya semakin sesak. Aku menarik napas, berharap sesak ini sedikit berkurang. "Kamu, sakit, Lan?" ta
Lingerie Untuk SiapaPart 7Wulan Dengan perasaan tak karuan, aku menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tanganku. Apa yang kunanti selama ini, akhirnya datang. Ada yang bersemayam di rahimku. Menurut dokter yang memeriksa tadi, umur janinku baru sepuluh minggu. Harusnya ini menjadi kabar bahagia.Ya, aku bahagia. Entah dengan Mas Haris. Aku takut seandainya apa yang dikatakan Sarah kemarin itu benar. Kemudian Mas Haris memilih untuk menerima Sarah masuk dalam kehidupan kami. Baru membayangkan saja, hatiku sudah berdenyut nyeri. Ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur bergetar. Ada pesan masuk dari Mas Haris. Dia bilang akan pulang cepat. Sengaja aku belum memberitahukan tentang kehamilan ini. Aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar gembira ini. Nanti saja, kalau Mas Haris sudah selesai urusannya dengan Sarah.Kulihat jam dinding yang menempel di tembok kamar. Ternyata aku tidur cukup lama. Sepulang dari dokter tadi, Teh Yuyun memaksaku
Lingerie Untuk Siapa? Part 8Wulan Beberapa titik air mulai turun dari langit yang tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Sudah hampir setengah jam berlalu, dan aku masih berjalan kaki sambil menyeret koper. Jujur, aku masih sangat berharap Mas Haris mengejar dan mengajakku pulang.Hujan akhirnya turun, dan aku memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios yang tutup. Sepertinya kios ini sudah lama tak dipakai. Terlihat dari bangunannya yang kotor tak terawat. Untung ada sebuah bangku kosong, hingga aku bisa duduk untuk beristirahat. Aku sebenarnya tidak tahu akan ke mana. Kedua orang tuaku tumbuh besar di panti asuhan. Ayah meninggal saat aku masih SMP, dan ibu menyusul saat aku selesai kuliah. Hingga keduanya meninggal, aku tidak tahu siapa keluarganya. Sahabat? Sejak kecil, aku punya satu teman akrab. Namanya Hani. Dia tetanggaku saat di kampung dulu. Akan tetapi, setelah menikah dengan orang kaya, Hani memboyong keluarganya ke luar kota. Sudah lama kami tidak s
Lingerie Untuk Siapa? Part 9HarisNanar, kutatap kemeja yang robek pada bagian pundak, dua kancing depannya juga lepas seperti ditarik paksa. Mataku terpejam, menyesali apa yang kulakukan. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan Wulan, istriku. Akan tetapi, lelaki mana yang tidak marah dan gelap mata, saat melihat istrinya dijamah oleh lelaki lain. Apalagi lelaki itu kakak kandungku sendiri. Amarah tidak bisa lagi ditahan saat aku melihat Wulan diam dengan mata terpejam, seolah menikmati sentuhan Heru, kakakku. Tanpa pikir panjang, aku menghajar Heru dan mengusir mereka berdua. Tak kuperhatikan bekas tamparan di pipi Wulan. Juga raut ketakutan di wajahnya. Air mata yang membasahi wajah ayunya juga tak membuatku iba. Seharusnya baju yang robek dan bekas tamparan di wajah istriku, cukup membuktikan kalau Wulan dipaksa. Mungkin dia juga sudah melakukan perlawanan. Argh! Aku tak menghiraukan saat Wulan benar-benar pergi. Sengaja aku tak mengejar dan menahannya. Akan ke mana dia
Lingerie Untuk Siapa? Part 10Haris"Astagfirullah, Haris! Kenapa bisa ceroboh gitu? Harusnya kamu dengerin dulu penjelasan Wulan. Ya Allah, Wulan, ke mana dia sekarang? Mana dia nggak punya siapa-siapa. Haduh!" omel Teh Yuyun. Wanita yang akrab dengan Wulan itu, menanyakan Wulan. Teh Yuyun khawatir tentang keadaan Wulan dan mengomel saat aku menceritakan semuanya. "Ris, nih, Wulan itu bahkan minta ditemani aku waktu kakak kurang ajarmu itu meminta bantuan buat ngawasin pekerja di kiosnya. Dia emang nggak pernah menceritakan kejelekan Heru, tapi, aku tahu, Wulan nggak nyaman sama kakakmu, itu."Aku menunduk menatap lantai. Semua ucapan Teh Yuyun benar. "Apa, Wulan nggak menghubungi Teh Yuyun?"Teh Yuyun menggeleng."Atau barangkali cerita sesuatu?"Teh Yuyun menggeleng lagi, "Ya sudah, aku pulang dulu. Mudah-mudahan Wulan baik-baik aja. Nanti kalo Wulan menghubungi aku, pasti aku kasih tau kamu.""Terima kasih, Teh.""Sama-sama. Kamu jaga kesehatan, biar kuat cari Wulan. Insyaalla
Lingerie Untuk Siapa? Part 11WulanSatu bulan sudah aku tinggal di panti asuhan milik Bu Zubaedah. Tak ada yang mencari, atau mungkin Mas Haris senang aku pergi. Dia bisa leluasa berhubungan dengan Sarah, dan bertanggung jawab atas kehamilan perempuan itu. Sementara tentang kehamilanku, entah Mas Haris tahu atau tidak. Aku juga masih enggan menghubungi Mas Haris. Jujur, aku masih sakit hati karena dituduh merayu kakaknya. Aku tak menyangka, serendah itu aku di mata suamiku. Sakit sekali rasanya, tak dipercayai oleh orang yang seharusnya paling mengerti kita. Aku sempat mengirim pesan pada Teh Yuyun melalui messenger dengan meminjam ponsel Bu Zubaedah. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku tak ingin Teh Yuyun khawatir. Sengaja aku tak menanyakan kabar Mas Haris. Untunglah trimester pertama kehamilanku tidak begitu rewel. Hanya sesekali pusing dan mual saat mencium aroma tertentu. Mungkin calon anakku tahu, ia jauh dari ayahnya, sehingga tidak mau merepotkanku. Tak terasa ai
Lingerie Untuk Siapa? Part 12WulanKue ulang tahun yang diinginkan Kean sudah siap. Dibantu Salsa dan Tia, dua asistenku di toko, aku membawa kue itu ke luar. Kean yang setia menunggu bersama sang ayah, menyambut gembira kue impiannya. "Terimakasih Tante," ucap Kean sambil memelukku. "Perut Tante besar, kayak badut."Aku tertawa, sementara Mas Abi tampak terkejut dan terlihat tidak senang dengan ucapan anaknya. "Iya, Sayang. Di dalam perut tante ada adik bayi," terangku sambil mengangguk ke arah Mas Abi agar pria itu tidak memarahi Kean. "Wow! Nanti kalo adik bayinya udah keluar, aku boleh pinjam, nggak?"Aku, Salsa, Tia dan Mas Abi tertawa mendengar pernyataan Kean yang lucu. "Maafin Kean, ya Mbak Wulan.""Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga anak-anak.""Jadi, berapa harganya kue Kean?"Aku menggeleng sambil tersenyum, "nggak usah, Mas. Anggap aja itu kado dari saya." "Terima kasih, Mbak. Aduh, jadi nggak enak. Baru kenal malah dikasih gratis.""Sama-sama. Kalo Mas nggak keberata