Lingerie Untuk Siapa
Part 3
Wulan
Aku mengernyit, mencoba mengenali sosok di samping Mas Haris. Seorang pria dengan wajah mirip Mas Haris, tapi tubuhnya lebih berisi. Kulitnya juga lebih gelap. Sebuah ransel besar tergeletak di dekat kakinya.
"Lan, kenalin, ini Mas Heru, kakakku yang tinggal di Kalimantan. Mas, ini Wulan, istriku."
Pria bernama Heru itu mengajakku bersalaman, dan aku menyambutnya. Mas Haris memang pernah bercerita tentang satu-satu kakak laki-lakinya ini. Akan tetapi, kami belum pernah bertemu langsung. Sewaktu aku dan Mas Haris menikah, Mas Heru tidak bisa datang. Anak pertamanya sakit, jadi Mas Heru tak tega untuk tetap pergi.
"Saya Wulan, Mas. Ayo, silakan masuk," ajakku.
"Terima kasih, Dek Wulan. Maaf, aku baru sempat datang menemui kalian."
"Ngga apa-apa, Mas. Kami ngerti, kok. Ayo, mari, silakan masuk."
Mas Haris dan Mas Heru memasuki ruang tamu. Sementara aku berlalu menuju dapur untuk membuatkan minuman. Setelah selesai, aku mengantarkan dua cangkir teh hangat ke ruang tamu. Tampak Mas Haris dan Mas Heru tengah berbicara serius.
Aku memilih keluar untuk belanja sayur setelah menyilakan Mas Heru minum. Alasan sebenarnya, aku tak ingin lebih lama berpura-pura bersikap manis pada Mas Haris. Tampak Teh Yuyun dan beberapa ibu lainnya juga berbelanja.
"Ada tamu?" tanya Teh Yuyun setengah berbisik. Aku mengangguk.
"Siapa?" tanya Teh Yuyun lagi.
"Kakaknya Mas Haris dari Kalimantan."
"Oh." Teh Yuyun membayar belanjaannya. Akan tetapi, wanita bertubuh gempal itu tak langsung pulang. Sepertinya ia menungguku.
Setelah selesai berbelanja, aku menghampiri Teh Yuyun.
"Lan, tadi aku denger kayak ada suara piring pecah, itu dari rumahmu?"
Aku menarik napas, dapur kami memang bersebelahan. Tembok pembatasnya pun saling menempel. Sehingga kadang, aku bisa mendengar suara dari dapur Teh Yuyun, begitu pun sebaliknya. "Iya, Teh. Tadi pas aku mau nyimpen piring, ada cicak. Aku kaget, piring ama gelasnya jatuh."
"Oh, syukurlah. Kirain kalian berantem."
"Nggak, kok, Teh. Mari, Teh, aku masuk dulu."
Teh Yuyun mengangguk lalu kami berpisah, masuk ke halaman rumah masing-masing. Saat aku masuk, Mas Haris tampak sendirian. Mungkin Mas Heru sudah masuk ke kamar tamu untuk beristirahat.
"Lan, bisa kita bicara sebentar." Mas Haris menyusul langkahku menuju dapur.
"Bicara saja, Mas. Aku dengerin."
Mas Haris menghampiriku yang sedang membereskan sayur mayur.
"Mas Heru, mungkin akan tinggal di sini," lirihnya sambil menatapku sendu.
"Sendiri atau sama istri dan anaknya?"
"Sendiri. Mas Heru udah cerai ama istrinya. Anak-anak mereka ikut ibunya. Terus, perusahaan tempatnya bekerja, juga bangkrut. Karena itulah, dia pulang ke sini. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku."
Menurut cerita Mas Haris, dia memang sudah yatim piatu sejak remaja. Lalu, Mas Heru-lah yang membiayai semua keperluannya selama sekolah.
"Ya, terserah. Ini, kan, rumahmu."
Mas Haris tersenyum tipis. Benar, ini memang rumah milik Mas Haris. Saat kami menikah, dia sudah memiliki rumah ini dan sudah direnovasi. Walaupun masih ada beberapa tahun lagi angsuran.
"Bukan begitu, maksudku, apa kamu ngga keberatan?"
"Jujur aja, aku merasa risih kalo harus satu rumah dengan lelaki lain. Walaupun itu kakakmu. Tapi, aku bisa apa?"
Mas Haris terdiam. Sementara aku menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak untuk makan siang.
"Nanti, kalo dia udah dapat kerjaan di sini, pasti pindah, kok."
Aku diam saja tak menyahut. Malas rasanya berbicara dengan Mas Haris dengan kondisi hati yang belum pulih. Apalagi, permasalahan tentang lingerie untuk siapa itu belum selesai.
"Ya, sudah. Mas istirahat dulu di kamar. Sakit semua badan Mas karena tidur di sofa."
Mas Haris beranjak meninggalkan dapur.
"Suruh siapa tidur di sofa? Kamar tamu, ada kok," gerutuku sambil mencuci beras.
Setelah beras dimasukan ke dalam magic com, aku lanjut mengungkep ayam dan membumbui tempe. Sambil menunggu bumbu pada ayam dan tempe meresap, aku menyiangi sayuran. Sejak kecil, aku sudah biasa melakukan pekerjaan rumah. Almarhum ibuku mengajariku caranya mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Sehingga, aku tidak kewalahan saat memasak beberapa menu sekaligus.
Satu jam kemudian, makanan sudah siap. Aku membangunkan Mas Haris untuk makan siang. Dia juga kuminta agar membangunkan kakaknya. Entahlah, aku selalu merasa canggung, jika harus berinteraksi dengan orang yang baru kutemui.
Tak lama kemudian, kami bertiga sudah duduk mengelilingi meja makan. Sayur lodeh, ayam dan tempe goreng serta sambal menjadi menu makan siang kami. Seperti biasa, aku terlebih dulu mengisi piring Mas Haris.
"Maaf, kalo Mas Heru nggak cocok dengan masakanku. Aku masih belajar soalnya, belum pintar memasak. Masaknya juga cuma menu rumahan," ujarku berbasa-basi.
"Nggak apa-apa, Dek. Kebetulan aku sama Haris terbiasa makan apa aja, ya, kan, Haris?"
Mas Haris mengangguk.
Sementara Mas Heru langsung melahap isi piringnya. "Masakanmu enak."
Aku tersenyum mendengar pujian Mas Heru. Sementara Mas Haris tampaknya tidak terlalu peduli. Kami makan sambil mendengarkan celoteh Mas Heru tentang masa kecil mereka. Ternyata Mas Heru asyik saat diajak bercerita. Tidak seperti Mas Haris yang sedikit pendiam. Diam-diam menghanyutkan. Pendiam saja berani selingkuh apalagi kalau mudah akrab seperti Mas Heru.
"Lan, Mas mau ke rumah Pak RT. Mau melaporkan kehadiran Mas Heru di sini."
"Iya, Mas."
Mas Haris dan Mas Heru bangun dari kursi masing-masing. Sementara aku membereskan peralatan makan kami dan langsung mencucinya.
***
"Dek Wulan."
Suara Mas Heru mengagetkanku yang sedang menyusun piring ke dalam rak. Aku pikir dia ikut ke rumah Pak RT bersama Mas Haris, ternyata tidak. Mas Heru berdiri tepat di belakangku. Jadi, saat aku berbalik, jarak kami sangat dekat, aku segera bergeser ke kiri, menjaga jarak.
"Eh, iya. Ada apa Mas?" Jujur aku tidak nyaman dalam jarak sedekat ini.
"Em, ini, mau minta tolong cucikan baju-baju kotor ini."
Hah? Apa aku tidak salah dengar? Aku diminta mencuci baju kakak iparku? Astaga!
"Ngga apa-apa, kan, Dek? Toh, nyucinya pakai mesin, kan? Jadi, nggak akan terlalu capek," ujarnya sambil berlalu, meninggalkan setumpuk cucian kotor.
Justru karena menggunakan mesin, harusnya dia memasukan sendiri baju-baju kotornya, bukan menyuruhku. Rasa kesal atas kelakuan Mas Haris belum hilang, sekarang ditambah kedatangan Mas Heru. Dan, belum juga genap satu hari, dia sudah berani menyuruhku mencucikan pakaiannya. Huft!
Satu persatu baju kotor Mas Heru aku masukkan ke mesin cuci. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa mual saat tanpa sengaja memegang pakaian dalam milik Mas Heru. Mual semakin tak bisa ditahan. Hingga kemudian aku memuntahkan isi perutku di kamar mandi. Mungkin aku yang lebay, berlebihan atau apalah. Yang jelas aku merasa sangat tidak nyaman.
Akan tetapi, aku tetap melanjutkan aktivitas mencuci. Kemudian mengambil air wudhu, bersiap untuk Shalat Dzuhur. Mas Haris entah kenapa belum juga kembali.
Jujur, walaupun masih marah dan kesal karena masalah antara aku dan Mas Haris belum selesai, tapi aku merasa tak nyaman saat suamiku itu tak ada di rumah. Apalagi ditinggalkan berdua dengan pria lain.
Lingerie Untuk Siapa? Part 4WulanKarena merasa risih dengan kehadiran Mas Heru, aku memilih diam di kamar. Apalagi kakak iparku itu tanpa segan tengah menonton televisi sambil merokok. Tentu saja aku tak suka, lagipula Mas Haris sejak bujangan tidak merokok. Jadi, rumah ini bebas asap rokok. Beberapa teman Mas Haris juga tahu itu. Saat mereka bertamu ke sini, mereka akan merokok di teras. Samar terdengar suara Mas Haris mengucapkan salam. Kemudian kudengar suamiku itu mengobrol dengan kakaknya. Teringat cucian, aku bergegas keluar. Ternyata mesin cuci sudah selesai berputar. Sebelum menjemur pakaian Mas Heru, aku berniat mengangkat jemuran terlebih dulu. "Lan, kata Mas Heru kamu tadi muntah-muntah karena diminta tolong memasukan baju kotornya ke mesin cuci?" Aku menoleh ke arah Mas Haris. "Kalo kamu keberatan, ngomong aja, Lan. Mas Heru tersinggung, loh.""Jadi, aku yang salah?" Mas Haris diam sambil tetap menatapku. "Mas, salahkah aku, jika merasa jijik, saat tak sengaja meny
Lingerie Untuk Siapa?Part 5WulanTerdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku yang sudah selesai bersiap untuk pergi bersama Teh Yuyun segera keluar kamar. Terdengar seseorang memanggil namaku. Bergegas kubuka pintu diiringi tatapan penuh tanya dari Teh Yuyun. Tampak Mas Heru berdiri di depan pintu. "Dek, bisa saya minta tolong?" Aku mengerutkan dahi. "Minta tolong apa, Mas? Ayo, masuk dulu."Mas Heru masuk, dan duduk di kursi ruang tamu. "Gini, Dek. Barang-barang untuk kios saya sudah datang, tapi saya masih ada keperluan lain. Bisa minta tolong bantu awasi orang yang bantuin beres-beres di sana? Dan, saya juga nggak begitu pintar menata barang, bisa tolong sekalian kamu yang atur, Dek?"Mendengar permintaan Mas Heru, aku menatap Teh Yuyun, meminta pendapat. Teh Yuyun juga terlihat bingung. "Atau kamu mau ada acara?" tanya Mas Heru. "Eh, nggak kok, Mas. Tapi, aku boleh ajaj Teh Yuyun, ya.""Nggak apa-apa. Ajak, saja. Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Mas Heru. Aku menganggu
Lingerie Untuk SiapaPart 6WulanWaktu terasa berjalan sangat lambat. Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu Mas Haris pulang. Aku ingin menanyakan kebenaran soal janin yang dikandung Sarah. Meskipun ragu, tapi aku juga takut, seandainya apa yang dikatakan perempuan itu benar. Entah apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku nanti. Suara mobil Mas Haris memasuki halaman rumah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tubuh ini juga seolah kehilangan daya, bahkan sekedar untuk berdiri menyambut kedatangan suamiku. Mas Haris memasuki rumah, wajahnya terlihat lelah. Melihatnya seperti itu, aku tak tega jika harus menceritakan soal pertemuanku dengan Sarah. Almarhum ibuku pernah mengajari, sebesar apapun masalah yang terjadi, jangan pernah membahasnya saat suami baru pulang dari bekerja atau sedang capek. Hasilnya tidak akan baik. Teringat almarhumah ibu, air mataku merebak. Dada rasanya semakin sesak. Aku menarik napas, berharap sesak ini sedikit berkurang. "Kamu, sakit, Lan?" ta
Lingerie Untuk SiapaPart 7Wulan Dengan perasaan tak karuan, aku menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tanganku. Apa yang kunanti selama ini, akhirnya datang. Ada yang bersemayam di rahimku. Menurut dokter yang memeriksa tadi, umur janinku baru sepuluh minggu. Harusnya ini menjadi kabar bahagia.Ya, aku bahagia. Entah dengan Mas Haris. Aku takut seandainya apa yang dikatakan Sarah kemarin itu benar. Kemudian Mas Haris memilih untuk menerima Sarah masuk dalam kehidupan kami. Baru membayangkan saja, hatiku sudah berdenyut nyeri. Ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur bergetar. Ada pesan masuk dari Mas Haris. Dia bilang akan pulang cepat. Sengaja aku belum memberitahukan tentang kehamilan ini. Aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar gembira ini. Nanti saja, kalau Mas Haris sudah selesai urusannya dengan Sarah.Kulihat jam dinding yang menempel di tembok kamar. Ternyata aku tidur cukup lama. Sepulang dari dokter tadi, Teh Yuyun memaksaku
Lingerie Untuk Siapa? Part 8Wulan Beberapa titik air mulai turun dari langit yang tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Sudah hampir setengah jam berlalu, dan aku masih berjalan kaki sambil menyeret koper. Jujur, aku masih sangat berharap Mas Haris mengejar dan mengajakku pulang.Hujan akhirnya turun, dan aku memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios yang tutup. Sepertinya kios ini sudah lama tak dipakai. Terlihat dari bangunannya yang kotor tak terawat. Untung ada sebuah bangku kosong, hingga aku bisa duduk untuk beristirahat. Aku sebenarnya tidak tahu akan ke mana. Kedua orang tuaku tumbuh besar di panti asuhan. Ayah meninggal saat aku masih SMP, dan ibu menyusul saat aku selesai kuliah. Hingga keduanya meninggal, aku tidak tahu siapa keluarganya. Sahabat? Sejak kecil, aku punya satu teman akrab. Namanya Hani. Dia tetanggaku saat di kampung dulu. Akan tetapi, setelah menikah dengan orang kaya, Hani memboyong keluarganya ke luar kota. Sudah lama kami tidak s
Lingerie Untuk Siapa? Part 9HarisNanar, kutatap kemeja yang robek pada bagian pundak, dua kancing depannya juga lepas seperti ditarik paksa. Mataku terpejam, menyesali apa yang kulakukan. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan Wulan, istriku. Akan tetapi, lelaki mana yang tidak marah dan gelap mata, saat melihat istrinya dijamah oleh lelaki lain. Apalagi lelaki itu kakak kandungku sendiri. Amarah tidak bisa lagi ditahan saat aku melihat Wulan diam dengan mata terpejam, seolah menikmati sentuhan Heru, kakakku. Tanpa pikir panjang, aku menghajar Heru dan mengusir mereka berdua. Tak kuperhatikan bekas tamparan di pipi Wulan. Juga raut ketakutan di wajahnya. Air mata yang membasahi wajah ayunya juga tak membuatku iba. Seharusnya baju yang robek dan bekas tamparan di wajah istriku, cukup membuktikan kalau Wulan dipaksa. Mungkin dia juga sudah melakukan perlawanan. Argh! Aku tak menghiraukan saat Wulan benar-benar pergi. Sengaja aku tak mengejar dan menahannya. Akan ke mana dia
Lingerie Untuk Siapa? Part 10Haris"Astagfirullah, Haris! Kenapa bisa ceroboh gitu? Harusnya kamu dengerin dulu penjelasan Wulan. Ya Allah, Wulan, ke mana dia sekarang? Mana dia nggak punya siapa-siapa. Haduh!" omel Teh Yuyun. Wanita yang akrab dengan Wulan itu, menanyakan Wulan. Teh Yuyun khawatir tentang keadaan Wulan dan mengomel saat aku menceritakan semuanya. "Ris, nih, Wulan itu bahkan minta ditemani aku waktu kakak kurang ajarmu itu meminta bantuan buat ngawasin pekerja di kiosnya. Dia emang nggak pernah menceritakan kejelekan Heru, tapi, aku tahu, Wulan nggak nyaman sama kakakmu, itu."Aku menunduk menatap lantai. Semua ucapan Teh Yuyun benar. "Apa, Wulan nggak menghubungi Teh Yuyun?"Teh Yuyun menggeleng."Atau barangkali cerita sesuatu?"Teh Yuyun menggeleng lagi, "Ya sudah, aku pulang dulu. Mudah-mudahan Wulan baik-baik aja. Nanti kalo Wulan menghubungi aku, pasti aku kasih tau kamu.""Terima kasih, Teh.""Sama-sama. Kamu jaga kesehatan, biar kuat cari Wulan. Insyaalla
Lingerie Untuk Siapa? Part 11WulanSatu bulan sudah aku tinggal di panti asuhan milik Bu Zubaedah. Tak ada yang mencari, atau mungkin Mas Haris senang aku pergi. Dia bisa leluasa berhubungan dengan Sarah, dan bertanggung jawab atas kehamilan perempuan itu. Sementara tentang kehamilanku, entah Mas Haris tahu atau tidak. Aku juga masih enggan menghubungi Mas Haris. Jujur, aku masih sakit hati karena dituduh merayu kakaknya. Aku tak menyangka, serendah itu aku di mata suamiku. Sakit sekali rasanya, tak dipercayai oleh orang yang seharusnya paling mengerti kita. Aku sempat mengirim pesan pada Teh Yuyun melalui messenger dengan meminjam ponsel Bu Zubaedah. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku tak ingin Teh Yuyun khawatir. Sengaja aku tak menanyakan kabar Mas Haris. Untunglah trimester pertama kehamilanku tidak begitu rewel. Hanya sesekali pusing dan mual saat mencium aroma tertentu. Mungkin calon anakku tahu, ia jauh dari ayahnya, sehingga tidak mau merepotkanku. Tak terasa ai