"Ro-Rosie..." suara Edward serak juga pelan.
Pemuda Quin langsung bangkit ketika melihat Rosie. Kakinya terlihat ragu ingin mendekat, tapi dia urungkan niatnya menyadari gestur penolakan Rosie. Edward mencoba tersenyum hangat namun gagal total. Matanya merah, rambutnya tak karuan, bibirnya bergetar hingga harus dia gigit untuk menghentikan gemetarnya.
Rosie tidak mampu memberikan jawaban maupun respon. Gadis itu ingin kembali ke kamar dan mengunci diri. Sekarang ini Edward lah orang yang paling dia hindari. Tapi tubuhnya mengkhianatinya, jangankan berbalik, menggerakkan satu otot jari pun Rosie kesulitan.
Irene yang menyadari ketegangan di antara Rosie dan Edward langsung ambil inisiatif. Dia memberi kode pada Ginny dan Emily dengan matanya. Tiga gadis itu mengangguk kecil tanda mereka menerima pesan tersirat.
"Kami harus pergi." Irene melangkah ke pintu depan di susul dua gadis lain.
"Anjingk
"Tapi aku mulai memikirkan semuanya kembali. Waktu kau pergi dari taman begitu saja, pundakmu tertunduk lesu, aku lihat kau sangat terluka karena reaksiku. Lalu aku sadar, aku sudah jadi orang brengsek. Setiap hari aku selalu bilang mencintaimu. Aku ingin melindungimu. Tapi aku lupa kalau cinta itu harusnya menerima apa adanya. Seburuk apapun orang yang kita cinta, kita harus ikhlas menerimanya kalau kita sudah memutuskan mencintainya. Menerima apa adanya... memang itu mudah diucap, tapi sulit dilakukan. Dan jujur saja... aku belum bisa menerima hal itu sepenuhnya. Tapi aku 'kan juga manusia yang tidak sempurna. Hatiku tidak sebesar itu langsung bisa menerima semuanya sekarang juga. Aku juga tidak sempurna, Rosie. Aku butuh waktu untuk menerima semua dengan ikhlas. Aku pun punya banyak kekurangan seperti kau. Makanya... tolong terima kekuranganku ini, Rosie. Aku janji akan belajar menerima kau apa adanya asal kau juga mau belajar menerimaku apa adanya."Sekara
"Rosie.. banguuun..." suara sang ibu dari balik pintu mau tak mau menghentikan cumbuan yang sedang berada di puncak.Rosie melompat bangun dari pangukan Edward tepat sedetik sebelum Nyonya Quin membuka pintu dan masuk ke kamarnya."Lho, Edward?" Nyonya Quin memiringkan kepalanya. Alisnya mengkerut tanda wanita itu keheranan."Aku baru saja mau bangunin Rosie, Bu." Edward menjelaskan dengan agak gugup. Dia dan Rosie berharap sang Ibu tidak menyadari bibir mereka yang memerah dan basah juga selimut yang menutupi setengah tubuh keduanya.Terasa seperti seabad bagi Rosie dan Edward sebelum mendengar Nyonya Quin bicara, "Yasudah. Kalian cepat turun. Sarapan hampir siap." Perempuan paruh baya berbalik lantas menutup pintu.Ketegangan hampir saja membunuh mereka akhirnya reda setelah sang ibu pergi. Rosie berani sumpah dia mau pingsan karena lemas tidak bisa menjawab pertanyaan penuh kecurigaan barusan. Ka
"Aku juga mau berterimakasih padamu. Karena selama ini telah menemani Edward dan merawatnya sebagai kakak yang baik. Aku bersyukur kalian akur dan bisa saling menyayangi sebagai saudara. Awalnya kalian tidak akur membuatku kuatir, tapi sekarang sepertinya aku tidak perlu kuatir lagi. Terima kasih, Rosie. Karena telah menjadi adik yang baik untuk Edward." Alice menyelesaikan kalimatnya dengan senyum lebar. Matanya kembali berbinar. Sungguh gadis baik....yang naif.Rosie mencoba membalas senyum Alice atas nama sopan santun. Pidato indah Alice begitu hangat, sehangat cuaca hari ini. Kalau saja Rosie datang tanpa tujuan besar, mungkin dia pun akan terharu mendengar kata-kata manis Alice. Sayangnya Rosie tidak."Kak, ada dua hal yang salah dalam kalimatmu." Suara Rosie, bukan hanya terdengar dingin tapi juga menciptakan kebekuan yang menusuk di sekitar mereka. Mentari hangat dan bersahabat yang Alice pancarkan tenggelam oleh dingin menusuk dari Rosie.
"Dia akan memutuskanmu." Rosie kembali memotong. Memberikan serangan kejut luar biasa dahsyat yang membuat Alice bungkam seketika. Alice berusaha, sangak keras, dengan segenapbkekuatannya, untuk menyangkal Rosie. Tapi tak ada yang keluar dari bibirnya."Itu sebabnya Kak Edward ingin bicara denganmu beberapa hari ini. Setelah itu dia juga akan bicara dengan para orang tua. Tentang hubungan kalian dan tentang hubungan kami."Apa?! Alice tidak bisa mempercayai kalimat Rosie. Dia pikir Edward tidak akan melangkah sampai sejauh itu. Alice pikir Edward dan Rosie tidak akan pernah menjadi nyata karena dipisahkan oleh hubungan kedua orang tua mereka. Itu yang menjadi setitik harapan bagi Alice untuk terus menjaga Edward di sisinya. Namun jika benar Edward telah merencanakan memberitahu para orang tua, itu artinya hubungannya dengan Edward benar-benar di ujung tanduk."Ti-tidak... tidak mungkin! Kau berbohong!""Itu benar, K
"Janji?"Edward mengangguk seraya menutup pintu kamar di belakang mereka. Perjalanan ke hotel tempat resepsi tidak terlalu panjang. Mereka hanya membuat obrolan ringan dan tiba-tiba sudah sampai di depan gedung acara resepsi. Antrian panjang mobil-mobil mewah berjalan pelan untuk masuk ke venue. Setelah menunggu sekitar lima menit mereka tiba di depan pintu masuk utama.Edward menyerahkan kunci mobil pada seorang pemuda berseragam merah dan hitam di depan pintu otomatis. Kemudian dia menggandeng tangan Rosie dan masuk ke grand ballroom, tempat para tamu lain telah berkumpul.Keduanya mengambil minuman dari nampan yang dibawa pelayan yang lewat. Rosie terpaksa menerima dengan wajah ditekuk jus jeruk yang disodorkan Edward. Pemuda itu bersikeras Rosie tidak boleh minum alkohol karena masih di bawah umur meski dia pun tahu Rosie bukannya tidak pernah merasakan alkohol sebelumnya."Edward! Kau datang juga!" pekika
"Apa kau sebegitu kagetnya bertemu aku lagi?"Tubuh Rosie kembali menegang mendengar suara itu. Sudah dua tahun lebih dia tidak mendengarnya, tapi Rosie masih ingat betul suara berat agak menggoda milik Maxy Louis. Dulu suara Maxy adalah melodi favoritnya, hanya dengan mendengar suara itu bunga-bunga di hatinya langsung bersemi. Namun sekarang suara itu tidak ubahnya dengan musik kematian."Padahal aku sangat senang bertemu denganmu lagi, Rosie."Maxy melangkah penuh percayabdiri. Senyum lebar menghiasi bibirnya. Raut wajah tak bersalah tanpa tau malu terpampang di wajahnya. Seakan mereka adalah kawan lama yang baru bertemu kembali dalam kebahagian. Layaknya dia tidak pernah melakukan hal mengerikan pada Rosie."Kau makin cantik." Maxy berhenti tepat di depan Rosie.Rosie menatap penuh amarah. Kebencian di hatinya meletup-letup hingga mampu membuat orang di sekitarnya ketakutan. Nampaknya tidak deng
Braakk..Suara benda besar terjatuh teredam permukaan rumput kehitaman. Berikutnya suara pukulan keras dan rintihan kesakitan yang menyusul.Edward tanpa ampun menghantamkan tinjunya ke wajah si mempelai pria. Dia duduk di perut pemuda bajingan itu sembari melayangkan pukulan bertubi tanpa ampun. Kemurkaan tergambar jelas di mata Edward hingga pemuda tidak tahu malu dan paling tidak sensitif seperti Maxy juga ketakutan."Jadi kau orangnya?!" tanya Edward retoris dengan nada geram. Dia sudah merasakan kejanggalan sejak Rosie bertingkah aneh di ballroom. Nama Maxy Louis juga agak mengganggunya waktu David bercerita tentang bajingan yang telah mencampakkan Rosie. Ternyata Maxy Louis pernah dia dengar sebagai tunangan dari teman kampusnya sendiri.Edward agak merasa bersalah pada Rosie karena tidak langsung menyadari hal itu. Wajahnya memerah saking mendidih darahnya sekarang. Campuran perasaan murka plus benci membuat
"Terima kasih.""Untuk?" Edward mengangkat alis.Si adik tidak menjawab. Dia merebut ponsel dari Edward lalu melemparnya ke sembarang tempat. Rosie beringsut mendekat pada sang pacar, memeluknya dengan lembut. Rosie juga sengaja menyembunyikan wajahnya di pundak Edward agar pemuda itu tidak bisa melihat keresahan yang terpancar jelas. Sebagai gantinya Rosie mengelus punggung berotot Edward sebagai tanda bahwa dia ingin sang kekasih diam saja."Edward, apa kau tahu?""Apa?" Edward balas mengelus punggung Rosie yang membuat gadis itu sedikit rileks."Aku sangat mencintaimu."Edward terkekeh. "Ah, aku tahu itu.""Apa kau mencintaiku?""Tentu saja, Rosie. Kenapa tanya begitu?" Rosie melepas pelukan mereka. Menghadapkan wajahnya dengan Edward.Senyum tipis mempesona pemuda itu gagal menghapus risau di sudut hatinya. Rosie mencoba membala