Setiap menit berlalu, selama mereka semua membicarakan tentang pernikahan Edward dan Alice, Rosie tengah berusaha agar tetap diam di sana. Di balik sikap tenangnya dengan sesekali ikut memberi tanggapan, gadis cantik itu tengah berusaha menutupi gemuruh hatinya yang setiap kali mereka membahas tentang pernikahan itu. Jika, Rosie memilih egois, ia akan secara gamblang memberitahu semua orang tentang hubungannya dengan Edward. Tapi, Rosie tidak sanggup. .
"Menurutku, akan lebih baik jika konsep pernikahan mereka menggunakan konsep Rustic. Kita bisa memilih beberapa warna kalem saja, Misalnya saja warna pink atau warna pastel lainnya, coklat, dan bunga-bunga dengan warna yang senada. Di tambah lagi dengan unsur kayu-kayu atau ranting pohon, daun-daun kering dan juga lampu yang menggantung. Itu menjadikan suasana—"
"Uhuk.. Uhuk..." Suara batuk Rosie membuat percakapan yang sedang asik itu sontak saja terhenti. Edward langsung bangkit, menyambar minuman
Ada Alice. Ada Edward. Namun hal yang mereka lakukanlah yang membuat hatinya remuk redam. Alice, gadis itu sedang duduk di pangkuan Edward. Mulut mereka terhubung dalam ciuman penuh gairah. Kedua mata mereka menutup, seolah terhanyut dalam cumbuan yang mereka ciptakan. Tangan Alice di rambut hitam Edward, mengusaknya, meremasnya sesuka hati.Edward pun terlihat menikmati sentuhan bibir juga tangan Alice. Tidak ada secuil pun gestur penolakan dari lelaki tersebut. Jelas saja. Alice 'kan tunangannya. Yang mereka lakukan lumrah.Kenyataan bahwa pria yang sama baru beberapa menit lalu membisikkan kalimat mesra di telinganya membuat Rosie mual. Dia belum makan sejak sore karena sibuk pergi ke salon untuk berdandan juga mewarnai rambutnya. Anehnya seperti seluruh isi perutnya ingin menerobos keluar saat itu juga.Si gadis remaja mundur perlahan. Berhati-hati untuk tidak menciptakan suara sekecil apapun. Dia menyelinap dari parkiran,
"Penampilanmu jelek sekali! Damian Marley pasti langsung kabur terbirit-birit saat melihatmu," ejeknya sudah jengkel sejak awal."Bukan urusanmu!" balas Rosie juga kesal sendiri. Belakang ini Edward Quin berubah menjadi manusia yang sangat menyebalkan. Dia suka memancing emosi adik tirinya tanpa alasan yang jelas.Gadis itu kembali pada cermin besar di depannya. Membetulkan posisi poninya yang menurutnya sedikit miring. Dia tersenyum puas melihat hasilnya."Jangan pergi."Rosie langsung menoleh. Wajah muram Edward untuk sejenak membuatnya lemah. Si gadis remaja kembali pada kewarasannya. Dia tidak boleh kembali termakan rayuan gombal pemuda itu. Edward adalah cowok brengsek! Dia tidak akan tertipu lagi."Kau tidak berhak mengaturku," jawab Rosie tanpa menoleh."Tapi aku-""Kau menyukaiku? Jangan konyol, Paman!" geram Rosie agak frustasi. Panggilan yang lama tidak te
"Hey! Jangan lama-lama keluar. Sekarang sedang banyak virus tahu."Rosie memutar bola matanya dengan malas. Dia memandang Damian lalu pasang senyum cerah untuk menghilangkan kerut keheranan di dahi pemuda itu.***Rosie menatap dengan penuh perhatian pada gambar bentuk persegi panjang yang menggantung di dinding. Mata hazel bening itu sampai pusing saking serius dan konsentrasi memindai warna-warni tak beraturan di dalam pigura. Dia belum pernah seserius dan selekat ini dalam menatap benda mati.Harga dirinya yang memang tidak terlalu tinggi menolak untuk menyerah pada gambar acak-acakan yang barusan Damian sebut sebagai lukisan termahal yang pernah terjual."Namanya No. 54783, karya dari Leonardo da Vinci, seniman terkenal dunia. Indah, 'kan?" itu yang diucapkan Damian lima menit lalu dengan senyum terpesona memandangi lukisan.Rosie masih-selama lima menit terakhir gigih mencari di mana letak keindahan
"Mungkin lima menit lagi Rosie sampai, sayang. Kau tidak perlu kuatir. Ibu lihat juga Damian itu anak baik." Eliza adalah yang paling menentang perjodohan ini awalnya namun semua itu berubah sejak negara api menyerang. Tidak! Ketika melihat Damian Marley pagi ini, dengan wajah ahli surga, sikap ramah dan sopan, suara semerdu burung beo tetangga sebelah yang suka menyanyi tiap pagi, Eliza langsung berubah pikiran."lya, 'kan sayang? Dah aku katakan Damian itu terbaik! Cocok sekali jadi mantu kita. Untung saja Edward itu seorang pria, kalau gadis pasti Edward yang aku jodohkan dengan Damian," sambar Tuan Lewis lagi sangat amat bersemangat kalau sudah membahas pemuda bernama belakang Marley itu."Sayang! Jangan buru-buru begitu kenapa sih? Rosie kan masih tahap kenalan, belum tentu mereka saling suka dan benar berpacaran." Sang istri menasehati suaminya yang justru kelihatan paling kebelet dalam perjodohan ini."Iya betul itu! Ayah jan
Dalam momen itu Edward mengambil kesempatan untuk kembali bicara. Dengan suara rendah supaya orang tua mereka tidak mendengar, Edward bertanya, "Jadi kau akan melanjutkan perjodohan ini?""Aku tidak punya alasan untuk menolak. Toh, Kak Damian juga orang yang baik." Rosie angkat bahu dengan santai. Padahal tahu pasti bahwa kalimat santainya itu berpengaruh tidak santai bagi Edward."Kau seperti ini hanya untuk buat aku cemburu, 'kan? Aku tahu kau tidak tertarik dengan pria macam Damian," bisik Edward sembari bergeser mendekat pada Rosie."Kau hanya tertarik dengan aku," suara Edward makin terdengar gelap seiring dengan seringai yang ia tampilkan.Sekilas keterkejutan di wajah pucat Rosie karena omongan Edward menumbuhkan rasa percaya diri bagi sang kakak. Dari situ Edward yakin tebakannya tepat. Rosie hanya menyukainya. Damian Marley yang malang hanya pelarian saja. Edward tahu itu.
"Harusnya kau tahu, Edward. Ini semua salah kau!" bentak si gadis di seberang sambungan. Nada suara Alice tidak kalah sinis dengan Edward barusan.Nah, Edward pernah diceritakan oleh kedua sahabatnya, Axel dan Jackson, bahwa perempuan itu merupakan mahluk paling menyebalkan di muka bumi. Mereka paling ahli membuatnya kaum adam berada di posisi yang pelik. Salah satu contohnya yakni selalu bilang 'pikir aja sendiri!' atau 'harusnya kau tuh mengerti!' ketika ditanya kenapa?- seperti Alice barusan.Edward akhirnya merasakan sendiri betapa frustasi ketika di suruh mencari tahu sendiri apa yang ada di pikiran manusia lain tanpa orang tersebut menjelaskan.Memangnya ia bisa membaca pikiran orang lain? Oh, tentu saja tidak."Aku mana tahu kalau kau tidak bilang, Sayang? Aku—""Dasar kau tidak peka!"Tut Tut Tut.***"Sabar!" dengus Rosie setelah menempelkan ponsel pintar yang s
"Kenapa Kak Damian bohong pada Tristan?" tiba-tiba Rosie bersuara setelah diam, berpikir sejak tadi."Apa? Oh... Aku hanya menyimpan kebenaran. Tristan dan kebanyakan anak lain di panti pasti belum bisa menerima bahwa mereka di tinggalkan orang tuanya. Hati mereka terlalu lembut dan lugu untuk mencerna hal kejam seperti itu. Setidaknya mereka belum siap. Kalau mereka sudah lebih besar, pasti kami akan mengatakan yang sebenarnya." Damian menjawab tanpa menoleh. Matanya berfokus pada jalan."Apa yang akan terjadi ketika mereka tahu yang sebenarnya? Bahwa orang tua mereka...meninggalkan...mereka...." Rosie bertanya lagi. Menyuarakan kekuatiran di benaknya meski dia tidak ada hubungan dengan para bocah itu."Karena mereka sudah cukup besar untuk mengerti, kebanyakan akan menerima keadaan. Lagi pula saat itu mereka sudah terbiasa bersama dengan anak panti dan pengurus, jadi tidak akan terlalu merasa sendiri.""Tapi..teta
Gadis itu merebahkan tubuhnya di balik selimut tebal. Meringkuk seperti janin dalam kandungan. Ocehan Claire setelah itu mulai sayup di telinga Rosie. Kesadaran perlahan pergi, meninggalkan Rosie terlelap di balik selimutnya. Hangat dari selimut lembut mengurungnya dalam tidur yang tidak bertahan lama.Sudah beberapa hari ini Rosie mampu tidur nyenyak tanpa mimpi, tapi tidak malam itu. Mimpi buruk itu kembali datang, mengusik ketenangan si gadis remaja hingga dia terpaksa bangun di tengah malam. Tubuh mungil Rosie mengejang, gemetar ketakutan. Nafas memburu layaknya dia telah berlari jauh karena dikejar hantu. Peluh membasahi wajah hingga sekujur tubuhnya. Matanya membelalak kaget menemukan kegelapan yang membuatnya makin cemas.Rosie baru sadar ada seseorang yang tengah merengkuhnya dalam pelukan saat dia gagal menggerakkan tubuhnya. Orang itu, dia pasti siapa yang menempelkan dadanya pada punggung Rosie, mengunci kedua tangannya di perut R