Zinnia merawat Reyner dengan telaten dan sabar. Gadis itu lega sekali setelah sang direktur mulai sadar dari komanya. Pria itu masih bisa bersikap arogan meski ia sedang terluka. Wajah tampannya terdapat beberapa goresan luka akibat terkena pecahan kaca. Pelipisnya masih terbungkus perban. Tangan kanannya pun terluka cukup parah. Membuat pria itu bahkan tak bisa menggenggam sendok untuk makan.
"Ini, Mas. Aaaa," ujar Zinnia sembari meniup-niup bubur sayur untuk sang atasan. Meminta pria itu untuk membuka mulutnya.
Reyner menuruti ucapan gadis di depannya. Meski ia sendiri geli karena diperlakukan seperti anak kecil. Namun, ia tak bisa menolak. Jika menolak, ia akan kelaparan. Dasar kau Rey, gengsimu terlalu tinggi.
"Bubur buatanku enak kan, Mas?" tanya Zinnia. Reyner hanya menatap gadis itu dengan malas.
"Hm," gumam pria itu sembari menelan bubur di mulutnya.
"Nih. Lagi, Mas. Aaa," ucap Zinnia kembali menyodorkan sesuap bubur.
"Aku bukan anak
Zinnia duduk di luar ruangan. Duduk di bangku dekat taman. Kotak berisi obat tanpa sadar ikut ia bawa. Gadis itu pun menghembuskan napasnya. Menghirup udara, lalu menghembuskannya lagi. Mencoba menenangkan dirinya. Berhasil. Ia tak jadi menangis.Saat ia mulai tenang, seseorang datang dan ikut duduk di sampingnya. Seorang pria yang berjiwa hangat seperti matahari. Bahkan kebaikannya juga yang selalu menolong gadis itu."Zin, kamu kenapa?" tanya pria itu menatap khawatir Zinnia. Ia letakkan sebuah kantung kresek berisi makanan. Zinnia pun menoleh sembari memberikan senyuman."Aku nggak papa kok, Mas Chandra," balas gadis itu. Chandra tahu jika gadis di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Entah apa pastinya yang membuatnya tampak murung."Apa Kak Rey menyakitimu?" tanya Chandra masih dengan tatapan khawatirnya."Eng-enggak kok, Mas. Aku cuma lagi cari angin aja. Di dalam kan bau obat," ujar gadis itu mencoba memberi alasan."Zin. Aku tahu
Malam itu Zinnia kembali menemani sang atasan di kamar rawatnya. Pria itu berbaring di atas tempat tidurnya. Merebahkan dirinya yang masih merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuhnya. Zinnia yang sudah selesai mengurusi sang direktur pun mulai mengistirahatkan dirinya. Tidur di atas sofa panjang di sudut ruangan. Berseberangan dengan tempat tidur Reyner. Gadis itu langsung terlelap. Mungkin karena rasa lelahnya setelah berhari-hari menemani pria itu.Sudah pukul sebelas malam. Reyner masih belum bisa tidur. Maklum saja, dirinya sudah tertidur selama dua hari penuh. Pria itu memainkan ponselnya. Lalu mendengar Zinnia yang bergerak berpindah posisi yang tadinya memunggunginya. Kini gadis itu menghadap ke arahnya. Kedua matanya sudah terpejam rapat dengan selimut yang menutupi tubuh mungilnya. Reyner menatap wajah damai itu. Dalam hatinya ia merasa sedikit kasihan pada gadis itu. Ia sudah berlaku seenaknya selama ini. Namun, hanya gadis itulah yang pernah berani melawannya. B
Kini hanya ada Nurmala dan Zinnia yang terjebak di tubuh sang atasan. Gadis itu merasa canggung ditinggal berdua dengan calon ibu mertua. Nurmala menatap lembut wajah putranya. Ia bahkan menyuapinya dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang."Rey. Mamah tuh sebenernya sayang banget sama kamu. Sama Chandra juga. Tapi kenapa kamu selalu memilih menyendiri?" tanya Nurmala pada anaknya. Zinnia kini tahu, sang atasan itu benar-benar orang yang tertutup. Bahkan dengan keluarganya sendiri."Aku juga sayang sama Mamah," balas Zinnia tak kalah lembut. Membuat wanita di hadapannya menunjukkan rona bahagia. Sunyi beberapa saat."Rey. Apa kamu nggak memikirkan lagi soal pernikahan kamu ini?" tanya Nurmala penuh harap. Zinnia kembali merasakan sakit di hatinya. Namun, ia mencoba bersabar. Ia sekarang sedang berada di dalam tubuh sang atasan. Kesempatan emas untuk meyakinkan calon ibu mertuanya."Enggak, Mah. Rey sudah yakin dengan keputusan ini. Lagipula aku sudah s
Siang itu, seorang pria berusia tiga puluh satu tahun sedang meminta orang yang ia percaya untuk menyelidiki kasus kecelakaan sahabatnya. Pria itu kini sudah mendapatkan cukup bukti yang mengarah kepada siapa pelaku penyerempetan mobil Rey di tol itu. Ia lalu menghubungi nomor sang pemilik perusahaan SJ Grup."Assalamu'alaikum, Dani. Ada apa? Apa kau sudah mendapatkan bukti siapa pelakunya?" tanya Pak Haris."Wa'alaikumussalam, Pak. Iya. Saya sudah mendapatkan sebuah bukti. Saya akan segera menuju rumah Bapak.""Baiklah. Aku tunggu kedatanganmu. Jangan lupa laporkan pada polisi jika memang ada yang sengaja mencelakai salah satu anggota keluarga Sukmajaya!" tegas Pak Haris."Baik, Pak."Tak mau berlama-lama, Dani segera menuju rumah mewah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dengan membawa sebuah bukti yang kuat, ia segera melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah itu. Pak Haris sudah menunggu kedatangannya."Assalamu'alaikum," sapa Dani.
Sang Direktur Utama sudah diizinkan pulang di hari berikutnya. Reyner merasa senang karena akan segera tinggal di rumahnya yang memiliki kasur yang lebih luas. Beruntung sekali Zinnia selalu rajin membersihkan rumah sang atasan. Pak Haris dan istrinya pun datang untuk menjemput anak mereka."Rey. Akhirnya kamu bisa pulang. Untuk sementara tinggallah di rumah utama." Pak Haris mengajak putra sulungnya. Tak tega jika Rey tinggal di rumahnya sendirian. Coba saja jika pria itu tahu sang anak menyembunyikan sekretarisnya di rumah itu."Nggak, Pah. Aku tinggal di rumahku saja," balas Reyner menolak."Tapi, Rey. Kamu masih sakit. Biar Mamah bantu rawat kamu sampai benar-benar sembuh. Baru nanti kamu boleh tinggal di rumahmu lagi. Ya?" bujuk Nurmala pada anaknya."Nggak usah, Mah. Ada Zinnia yang menemaniku di rumah. Iya, kan?" tanya Rey menatap gadis yang berdiri di sampingnya.Zinnia tahu bahwa sang atasan sedang memerintahnya. Toh mereka memang tinggal
Pria paruh baya itu sebenarnya ikut senang karena Reyner akhirnya memilih Zinnia sebagai pendamping hidupnya. Pria itu tak bisa membayangkan jika mereka menikah dengan orang lain dan masih bertukar jiwa. Sungguh. Ia lega saat ikut menyaksikan keduanya saling memasangkan cincin pertunangan.Rey dan Zin diam selama di perjalanan. Gadis itu memang sengaja tak membuka suara. Sedangkan Reyner mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya. Ia akan menanyai Zinnia ketika mereka sudah tiba di rumah. Beberapa puluh menit kemudian, Pak Likin sudah memberhentikan mobil itu di depan rumah Reyner. Pria itu pun membantu membawakan barang bawaan sang direktur ke dalam rumah. Zinnia mencoba menuntun tangan Reyner saat berjalan memasuki rumahnya."Makasih banyak ya, Pak," ucap Zinnia ketika Pak Likin sudah kembali ke dalam mobil."Sama-sama, Mbak. Saya permisi dulu, ya? Assalamu'alaikum," ucap pria itu."Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan, Pak," balas Zinnia.Se
Hari ke empat puluh satu. Reyner dan Zinnia kembali bertukar jiwa. Kini Zinnia tengah duduk di ruang tamu rumah mewah itu, sedang mengganti perban yang menutup kepalanya dengan plester khusus. Lukanya sudah mulai menutup sempurna. Hanya masih berbekas jahitan saja. Sedangkan luka pada wajahnya sudah mengering. Zinnia dengan terampil membungkus luka di pelipis sang atasan. Tangan kanannya pun sudah bisa digunakan lagi. Luka goresan pada telapak dan buku tangan Rey juga sudah mengering. Jiwa Reyner yang berada di dalam tubuh Zinnia hanya menatap gadis itu mengurusi dirinya."Kenapa, Mas?" tanya Zinnia menatap dirinya sendiri."Wajahku bisa jadi begitu ya? Kok kamu nggak?" protes Reyner menatap wajahnya lalu menatap wajah Zinnia melalui cermin yang tadi dipakai gadis itu."Itu karena aku spontan menutupi wajahku dengan tas yang waktu itu aku bawa buat tempat dokumen, Mas," jelas gadis itu menatap dirinya sendiri."Kau hanya memar di bagian tangan saja," sung
Pagi-pagi sekali Zinnia sudah bangun di kamarnya. Gadis itu mencari-cari keberadaan Bella. Ternyata sahabatnya tidur di sofa. Dengan segera gadis itu membangunkan Bella dengan pelan. Hari itu merupakan hari penting baginya."Bella. Bagun, Bel," panggil Zinnia. Bella pun menggeliatkan tubuhnya."Zin?" tanya gadis itu saat menatap wajah sahabatnya."Iya, Bel. Ini aku," jawab Zinnia sembari tersenyum. "Sholat jamaah, yuk!" ajaknya. Bella menganggukkan kepala.Kedua sahabat itu pun melaksanakan sholat subuh berjamaah di dalam rumah kecil itu. Setelah selesai, Zinnia segera membuatkan sarapan untuk keluarganya. Masih pukul lima pagi. Waktu yang cukup untuk membuat sarapan. Gadis itu benar-benar sudah mempersiapkannya. Ia sudah membeli dan menyimpan bahan-bahan makanan dua hari yang lalu. Saat di mana ia tahu keluarganya akan datang. Bella pun dengan senang hati membantu memasak."Zin. Aku ikut seneng deh akhirnya kamu akan nikah," ujar Bella masih denga