Wajah Clarissa mendadak merah padam. Dia sangat kesal setelah tahu kenyataan bahwa kekasih dosen pujannya itu adalah Anindita, kakak Adimasta. Dia jadi curiga, Diaz dan Adimasta mempermainkan Clarissa dengan mengkondisikan Adimasta akhirnya menjadi kekasih Clarissa. "Clay, aku beneran sayang sama kamu. Ga ada hubungannya kita jadian sama Kak Diaz." Adimasta langsung mengelak tuduhan Clarissa. "Sangat tidak masuk akal semua ini. Kenapa, kenapa Kak Diaz sama kakak kamu, Di?" Clarissa masih tidak bisa terima. Ini seperti benang kusut saja. Clarissa mengejar Diaz, Adimasta yang cinta Clarissa. Lalu Diaz punya pacar, ternyata kakak Adimasta. Kalau mau ditarik jauh ke depan, Diaz akan jadi kakak ipar Clarissa. Runyam! "Apanya yang ga masuk akal, Clay? Mereka sudah ada hubungan sejak sebelum kamu tahu Kak Diaz. Aku jatuh cinta sama kamu, sejak awal kita kuliah. Itu yang terjadi." Adimasta menegaskan pada Clarissa situasi yang memang ada di antara mereka. "Kenapa jadi kayak gini, sih?" u
Hari hampir gelap, Adimasta masih duduk di teras bersama Yenny. Dia sedang menunggu Yenny mau memberi dia saran agar Clarissa mau berbaik hati pada Adimasta, sedikit manis, dan tidak terus berlagak jutek. "Dia itu susah ditebak, Adi. Aku sudah lebih setahun sama dia, masih kadang suka bingung dengan tingkahnya. Hari ini ketemu tiga kali, bisa mood-nya juga ganti tiga kali. Tapi sebenarnya dia care. Paling ga mau aku sedih. Aku yakin gitu juga kalau sama orang yang dia sayangi." Yenny mencoba menjabarkan pandangannya tentang Clarissa. "Itu masalahnya, Yenny." Adimasta menyentikkan jarinya. "Hm?" Yenny mengerutkan keningnya mendengar ucapan Adimasta. "Clarissa ga sayang aku. Dia terima aku karena terdesak, kan? Hee ..." Adimasta nyengir. Yenny ikutan nyengir. Benar juga. Clarissa butuh Adimasta karena menolong dia tidak dipaksa menerima salah satu cowok yang mungkin dijodohkan dengannya. "Dia suka ke alam. Jalan-jalan di pantai atau gunung. Kalau ada waktu luang, dia kadang jalan
"Oke, aku ijin Tante dulu." Adimasta setuju juga."Mama udah tidur." Clarissa bangun. "Ayo, buruan."Gadis itu berjalan keluar rumah. Adimasta cuma geleng kepala dengan tingkah angkuh dan seenaknya Clarissa. Dia harus panjangkan lagi sabarnya kali ini. Adimasta menenteng pizza lalu keluar. Clarissa sudah menunggu di dekat motor Adimasta."Cepat," tukas Clarissa."Iya, sabar dikit, Pacar." Adimasta mencoba bercanda."Ihh ..." cibir Clarissa.Adimasta menaruh pizza di bagian depan, lalu memberikan helm yang ada di jok pada Clarissa. Sekarang dia melepas jaketnya dan memberikannya pada Clarissa."Pakai. Dingin uda malam." Adimasta maju dua langkah dan menyampirkan jaketnya pada kedua bahu Clarissa.Clarissa terdiam. Adimasta sebaik ini. Kenapa ini cowok seperti tidak bisa marah apapun yang Clarissa lakukan padanya. Clarissa tidak bicara apa-apa. Dia pakai jaket Adimasta kemudian naik di belakang Adimasta. Dan motor itu segera berl
Clarissa bergegas menuju lobby hotel. Dia menuju meja resepsionis dan bertanya di mana kamar papanya. Setelah mendapat informasi Clarissa naik lift menuju ke lantai di mana papanya menginap. Dia sengaja tidak memberitahu dia sudah sampai. Dia ingin memberi kejutan pada Arlon. Clarissa bahkan membeli brownies, kesukaan papanya. Makin dekat kamar Arlon, makin berdebaran hati Clarissa. Rasanya ingin cepat berjumpa dan memeluk erat papa tercinta. Di depan pintu kamar, Clarissa mengetuk beberapa kali. Tidak lama pintu terbuka. Arlon berdiri di sana. Clarissa pun dengan tegak menatap papanya. Sekian tahun, akhirnya mereka bertemu lagi. Terakhir kali Clarissa bertemu saat dia naik kelas 11. Artinya tiga tahun lalu, bahkan mungkin lebih, Clarissa terakhir bertemu papanya. Wajahnya masih tampan, dengan postur yang gagah. Arlon juga memandang pada Clarissa. Putrinya bukan gadis remaja lagi. Dia sudah dewasa. Cantik, menarik. Rambutnya ya
Adimasta turun dari mobil. Dia memutar dan membuka pintu untuk Clarissa."Ayo, Putriku yang cantik." Adimasta mengulurkan tangan meminta Clarissa turun. "Kamu apa-apaan, sih?" Clarissa menatap Adimasta. Kesal tapi juga merasa lucu dengan tingkah Adimasta. "Ikut aku, ayuk." Adimasta tidak melepas tangan Clarissa. Dia sedikit memaksa Clarissa mengikuti langkahnya.Lokasi persawahan di depan mata. Adimasta tidak membawa Clarissa ke area kafe, tapi ke persawahan yang hijau dan luas. Matahari cerah, hari mulai terasa panas. Tapi awan berarak indah dan angin semilir berhembus. Cantik sekali. Rasa kesal Clarissa sedikit mereda. Di tengah sawah, memandang pegunungan di sekeliling, makin adem di hati. Clarissa melihat sekitarnya. Memang menakjubkan rasanya menyaksikan alam hijau dan segar. "Sekarang, pejamkan mata kamu." Adimasta melepas tangan Clarissa. Mereka berdiri berhadapan. "Apa? Kamu mau ngapain?" ujar Clarissa.
Adimasta memandang lagi wajahnya di cermin. Dengan frame kacamata pilihan Clarissa, benar juga, dia terlihat lebih keren, trendy, dan kekinian. Kalau ini bisa membuat Clarissa makin membuka hati padanya, Adimasta akan ikuti apa maunya Clarissa. "Wah, aku cakep juga emang." Adimasta tersenyum lebar. "Baru nyadar? Ke mana aja selama ini?" tukas Clarissa. Gadis itu mengeluarkan dompet, mengambil kartu dari dalamnya. "Eh, aku yang bayar. Clarissa ...." Adimasta dengan cepat juga mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nggak. Nurut. Dengar?" Clarissa menatap Adimasta, sedikit melotot. "Tapi ... Clay, itu kacamata aku ....""Mau aku jutek lagi?" Makin tajam nada suara Clarissa. "Ya, terserah, deh." Adimasta garuk-garuk kepala. Pelayan optik itu mesam mesem, menahan tawanya yang sebenarnya ingin meledak melihat tingkah dua sejoli di depannya itu. Ceweknya nyentrik, cowoknya dingin cenderung kaku. Perpaduan yang unik.
Clarissa menatap dengan wajah menyala pada Adimasta dan Yenny. Keduanya tampak gugup. Kemunculan Clarissa yang tiba-tiba membuat mereka sangat terkejut. Sikap itu makin meyakinkan Clarissa ada sesuatu di antara Adimasta dan Yenny."Clay, ini tidak seperti yang kamu lihat. Tolong, kamu jangan salah paham." Yenny berkata dengan wajahnya masih sedikit basah karena air mata."Mataku rabun, makanya yang kulihat tidak sama dengan yang sebenarnya!" sentak Clarissa."Clay, dengarkan aku. Aku dan Adi ga ada apa-apa. Adi cuma ...""Ga usah cari alasan. Pencuri di mana-mana nggak akan ngaku. Ga nyangka aku, kalian punya kelakuan busuk, ga tau adab! Selama ini kalian kuanggap orang baik. Kenyataannya apa? Semua cuma pura-pura! Aku benci kalian!" Dengan marah hingga di ubun-ubun Clarissa meninggalkan Adimasta dan Yenny. Clarissa masuk ke mobilnya dan segera pergi dari situ."Ya Tuhan ... Adi ..." Yenny mendekap dadanya. Masalah bertambah. Clar
Dua puluh menit. Waktu yang tidak bisa dibilang panjang. Bergegas Adimasta meninggalkan rumah dan mencari makanan buat Clarissa. Apa yang kira-kira pasti akan dia sukai kalau pagi? Adimasta menghubungi tapi tidak ada jawaban. Bagaimana kalau nanti dia tidak suka? Situasi begini, Adimasta tidak mau urusan dengan gadis itu makin runyam. "Ah, sudahlah. Kalau dia marah mau apa lagi." Adimasta akhirnya membeli pecel di pinggir jalan yang dia tahu pasti sudah buka. Pecel itu langganan keluarga Adimasta sudah beberapa tahun. Harusnya enak juga buat Clarissa. Pesanan siap, Adimasta kembali meluncur dan secepatnya sebelum waktu dua puluh menit terlewati. Adimasta memarkir motor. Tepat! Dua puluh menit kurang dua detik. Clarissa sudah menunggu dengan muka panjang dan tatapan tajam. Adimasta mendekati Clarissa yang ada di teras, duduk dengan tangan terlipat. Bungkusan yang Adimasta bawa dia letakkan di meja. "Apa ini?" tanya Clarissa. "Pecel. Kamu ga bil