Calvin mengalami perkembangan yang baik meskipun agak lambat. Dia perlu mungkin hingga dua minggu untuk dirawat di rumah sakit. Arlon terpaksa meninggalkan istri dan anaknya karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Clarissa akhirnya yang menemani Fransiska di rumah sakit.
Setiap pulang kuliah, Clarissa datang menjenguk Calvin. Sempat juga dia ikut menginap di rumah sakit. Clarissa mulai bisa mengenal Fransiska, wanita yang sekarang menjadi istri Arlon. Wanita yang dulu sangat dihindari Clarissa. Bagi Clarissa siapapun wanita yang ada di sisi Arlon telah merebut kasih sayang pria itu buat Clarissa. Yang Clarissa pikirkan, karena wanita itu, Clarissa dan Rosita tidak lagi penting buat Arlon.
"Kamu tidak lapar?" Fransiska duduk di sisi Clarissa.
Clarissa menoleh dan memandang Fransiska. Dia masih cukup muda, mungkin beda usianya dengan Arlon sampai sepuluh tahun. Fransiska sangat sederhana, tetapi sabar dan penyayang. Sangat berbeda dengan ka
Senyum itu, senyum Clarissa, yang membuat Adimasta jatuh cinta padanya, mengembang di bibirnya. Jantung Adimasta berdebaran. Semanis ini dicintai gadis kesayangan. Dua tahun lebih perjuangannya ternyata tidak sia-sia. Clarissa benar-benar membalas cinta Adimasta sekarang. Dia tidak malu lagi mengutarakan perasaannya. "Ga usah grogi, biasa aja." Clarissa nyengir melihat Adimasta menatap padanya dengan mulut setengah menganga. Gadis itu memutar posisi balik menghadap ke depan. "Hee ... hee ...."Adimasta melempar senyumnya. Selalu begini, bersikap manis, lalu jutek lagi. Tapi Adimasta sudah sangat terbiasa. Dia menikmati semua yang ada pada Clarissa. Sikap angkuhnya, jutek, sok ngatur, semaunya, dan yang lain. Buat Adimasta itu keunikan Clarissa, yang dia tidak temui dari teman-teman cewek lainnya. "Thank you, ya ...." Adimasta mencondongkan badannya, berbisik pada Clarissa. Ucapan terima kasih itu membuat hati Clarissa meletup, tapi dia tidak bereaksi, ha
Ternyata Yenny pintar menyembunyikan yang sebenarnya. Clarissa sekarang mengatur strategi lain untuk mengetahui ada apa dengan Yenny dan Stemmy. Clarissa rajin melihat sosmed kedua orang itu. Sayangnya mereka posting hal yang wajar saja, tidak ada yang bisa menjelaskan apapun. Clarissa berniat sok jadi detektif dan menguntit mereka, agar tahu ke mana saja, dan apa yang bisa jadi clue untuk Clarissa mengerti situasi mereka. Tetapi kesibukan di kampus tidak bisa ditinggalkan. Belum lagi dia masih harus menengok Calvin. Adiknya sudah mulai akrab dengannya. Kalau Clarissa tidak datang, dia akan terus bertanya pada Fransiska kapan Clarissa akan menjenguk dia. Mau tidak mau Clarissa menunda urusan mencari tahu soal Yenny dan Stemmy. Setidaknya sampai akhir minggu, Calvin sangat mungkin bisa pulang. Setelah itu Clarissa akan punya waktu lebih luang. Kesibukan yang bergantian datang memaksa Clarissa dan Adimasta juga berkurang bisa bersama. Belum lagi tanggung jawab Ad
Clarissa makin kesal saja pada Stemmy. Juga pada Yenny. Buat apa dia bertahan dengan cowok macam itu? "Ada apa?" Clarissa menyela pertengkaran mereka. "Oh, Clay! Kamu pulang?" Yenny ternyata benar-benar fokus dengan pria itu, sampai tidak sadar Clarissa datang. "Ya, aku pulang. Kalian kenapa?" tanya Clarissa, serius. Dia mau jawaban dari Yenny atau Stemmy. "Kamu ga usah ikut campur, Clay. Ini urusanku dengan Yenny." Stemmy menatap Clarissa tidak suka. Clarissa membalas tatapan cowok itu. Dia tidak akan diam kali ini.Clarissa bahkan tidak peduli kalau Yenny akan marah padanya. Dia tidak mau ada cowok seenak perutnya bertingkah pada seorang gadis. Apalagi Yenny begitu baik padanya. "Asal kamu bener, aku ga akan ikut-ikut. Tapi kalau kamu aneh-aneh, aku ga akan biarin. Aku jauh lebih lama kenal Yenny dari kamu. Jelas?" Tatapan Clarissa tajam pada Stemmy. "Bodoh!" Stemmy menyahut kesal. Dia menoleh pada Yenny. "Jangan telpon
Kedua sahabat itu kini termenung, tidak ada yang bicara. Apa yang terjadi dengan Stemmy bukan masalah simple untuk diselesaikan. Jika mereka diam, Stemmy hancur. Jika mereka berbuat sesuatu lalu ketahuan kampus, mereka bisa ikut kena. Tapi tidak mungkin mereka akan diam saja. Apalagi Yenny. Yang Clarissa takutkan, Yenny rela membahayakan dirinya demi Stemmy. "Pasti ada jalan, Yenny. Pasti ada jalan." Clarissa meyakinkan Yenny dan juga dirinya sendiri. Sekarang Clarissa sudah terlibat, dia tidak akan biarkan Yenny kalang kabut sendiri. Namun, Clarissa juga tidak mau Yenny yang kewalahan karena lebih fokus dengan Stemmy daripada kuliahnya. Yenny memandang Clarissa. Ternyata Clarissa tidak bersikap seperti yang dia kuatirkan. Clarissa bisa cukup tenang setelah mendengar semua ini. "Kamu sunguh-sungguh sayang Stemmy? Kamu bayangkan di masa depan kamu akan bersama dengannya?" Clarissa kembali menatap Yenny. Pertanyaan itu dala
Yenny menatap Stemmy yang lemah, berusaha sekuat tenaga menahan sakit yang makin menyayat setiap bagian tubuhnya. Dia bergulingan di atas kasur, sambil terus mengerang. Wajahnya pucat, keringat dingin terus saja mengucur karena Stemmy berusaha bertahan dari kesakitan luar biasa. Yenny hanya bisa memegang tangan Stemmy sambil menangis. Tidak pernah dia melihat orang semenderita ini. Bahkan papanya, saat sakit yang lalu tidak seburuk ini kondisinya. Clarissa pun tak tega melihat Stemmy. Dia cepat menelpon Adimasta, memastikan Adimasta akan segera datang. Tapi Adimasta tidak merespon panggilan Clarissa. Bingung, cemas, kalut, itu yang berkecamuk di hati dua gadis itu. Pintu kamar diketuk. Cepat-cepat Clarissa membuka pintu, dan Adimasta masuk. Pemandangan yang memilukan tampak di mata Adimasta. Stemmy terkapar, tak berdaya di atas kasur. "Di, aku ga tahu mau gimana? Aku ga sanggup lihat Stemmy." Clarissa menatap Adimasta dengan perasaan carut marut. "Dok
Clarissa sampai di tempat kosnya. Adimasta dan Yenny sudah tiba lebih dulu. Stemmy sudah mendapat tempat yang tepat untuk memulihkan dirinya. Sekarang yang mereka bicarakan bagaimana tindakan selanjutnya membantu Stemmy. Adimasta meminta Yenny datang menemui orang tua Stemmy dan menjelaskan apa yang terjadi. Perlu cara tepat agar mereka tidak terlalu terkejut. Apa saja ke depan yang mungkin akan dihadapi Stemmy. Clarissa yang akan menemani Yenny bertemu orang tua Stemmy. Kemudian masalah perkuliahan Stemmy. Pasti, semester ini dia gugur. Tetapi ada cara untuk membela Stemmy di hadapan dewan kampus. Adimasta sempat berbicara dengan Diaz dan Diaz bersedia bicara ke pimpinan kampus untuk menolong Stemmy. "Apakah mungkin Stemmy tidak akan DO?" Yenny memandang Adimasta. "Kak Diaz bilang, Stemmy membuat surat pernyataan. Isinya adalah pengakuan kondisinya. Dia menyadari kesalahannya dan sedang berusaha memperbaiki diri. Dia minta kam
Suara keras Clarissa memaksa Adimasta menjauhkan ponsel dari telinganya. Sudah lama Adimasta tidak mendengar nada ketus dari gadis kesayangannya itu. "Jujur sama aku kamu ke mana, Di? Kamu udah selesai urusan di kampus dari setengah lima. Tapi kabari aku sekedar bilang lagi di mana, apa ga bisa?" Berlanjut serangan Clarissa pada Adimasta. Adimasta mengelus dadanya. Ternyata belum sepenuhnya hilang sifat yang satu ini. Bisa tiba-tiba muncul lagi. Hati-hati saja, juteknya kambuh. "Sorry, Clay. Aku ga ada maksud ga kasih tahu. Beneran. Kamu juga lagi sibuk, kan?" Adimasta berusaha setenang mungkin bicara pada Clarissa. Dia harus bisa meredakan marah kekasihnya atau momen-momen manis bersama pacarnya itu akan berubah jadi suasana macam angin puyuh mendera tiba-tiba. "Bisa kamu njawab. Biar sibuk juga kalau buka chat barang satu menit dan telpon tiga menit apa ga mungkin?" Clarissa sekarang yang kalang kabut kalau Adimasta tidak mem
Bicara hati ke hati dengan Bramantyo, Clarissa cukup lega. Pria itu memang sangat sayang pad Rosita. Dia bahkan mengatakan tidak berpikir punya anak dengan pernikahannya. Dia hanya ingin berbahagia bersama wanita yang dia cintai. Karena itu dia berjuang sekuat tenaga agar semua yang Rosita perlu terpenuhi. Rosita akan terus sehat dan selama mungkin mereka bsia bersama sebagai suami istri. "Bantu aku, Clarissa, agar mama kamu mengerti aku sungguh-sungguh sayang dia. Ga ada pikiran aneh-aneh. Serius." Bramantyo menegaskan lagi apa yang dia katakan. Clarissa tersenyum dan mengangguk. "Oke, Om. Tapi tetap atur waktu ajak mama keluar. Mungkin satu atau dua jam saja seminggu sekali. Kurasa itu cukup buat mama." "Baiklah, aku akan atur waktu. Thank you. Senang bisa bicara dengan kamu." Bramantyo juga tampak lega. Mereka menemui Rosita yang sudah masuk ke kamarnya. Adimasta dan Bu Tinah ada di sana. Terdengar tawa riang dari mereka. Adimasta pasti sedan