"Ayo berangkat!" ujar Steve.
Lynn mengangguk sambil lalu membawa piring kosong keduanya. Lynn cukup mengerti, Steve berada dalam keraguan dengan Jessica.
Steve berdiri di samping motor besarnya menunggu Lynn yang belum keluar. Steve menatap terpaku ke arah Lynn yang juga menatap Steve tak berkedip.
"Ada apa, Steve? Aneh?" tanya Lynn lalu memerhatikan kostumnya. Jean ketat abu-abu berpadu baju berlengan panjang, rambut panjangnya dikuncir tinggi dengan kalung kecil melingkar di leher jenjangnya. Tak ada yang salah dengan kostumnya, memang sudah seharusnya begitu. Lynn tak mungkin mengenakan dress untuk mengendarai motor.
"Tidak ada," jawab Steve. Ada sesuatu yang menggejolak dalam dirinya. Namun, dia sendiri tak tahu apa. Steve menyodorkan helm untuk Lynn.
"Steve, pengaitnya tak bisa masuk," ujar Lynn.
Steve menoleh menatap Lynn,
"Maafkan aku," ulang Lynn menyodorkan ponsel miliknya. Lagi-lagi pria itu hanya mengangguk, dan berlalu cepat meninggalkan tempat tersebut."Kau tak apa?"Lynn menggeleng-gelengkan kepalanya, dia baik-baik saja. Ia menyelipkan rambut basahnya di belakang telinganya."Kau lihat tadi?" Lynn memperagakan reaksi pria tadi yang hanya mengangguk terus, seperti orang bisu saja."Ah, sudahlah. Ayo!" Lynn menarik Steve.Degup jantungnya masih memacu, apa yang terjadi padanta jika saja pria tadi tak menangkapnya. Buruknya, kepalanya mungkin akan terkantuk di pinggir kolam atau barangkali kecebur kembali ke kolam dengan kepala di bawah, menubruk dasar kolam. Oh tidak, yang terakhir memalukan.Lynn baru saja keluar dari ruang ganti, Steve sudah berdiri bersandar di dinding dekat pintu. Keduanya berjalan beriringan menuju ke parkiran. Steve memasangkan helm di kepal
Steve yang selesai makan duluan, tersenyam-senyum menatap Jessica yang lahap makannya. Jika saja semua wanita seperti Jessica tentu akan sangat mempermudah para pria tanpa perlu merasa bersalah karena salah pesan menu."Pulang?"Jessica mengangguk."Kau bisa menemaniku besok malam?" tanyanya sebelum turun dari mobil Steve."Jadwalku besok kosong," lanjutnya.Steve mengangguk, "Iya, tentu."Steve menarik koper Jessica, mengikuti langkah wanita itu menuju kamarnya. Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kamar wanita itu. Sangat luas, jauh lebih luas ketimbang ruang tamunya, ditambah lagi lemari full kaca yang semakin membuat luas ruangannya. Wajar saja jika kamarnya luas, Jessica seorang model, dia butuh ruangan untuk menampung pernak-pernik kebutuhan modelnya. Tak kunjung habis Steve menatap sudut ruangan tersebut. Lalu, matanya melotot saat objek matanya Jessica."A-apa yang kau lakukan?"
"Bersenang-senang di Bali, huh?!" Fianne bersedekap tangan di dada, menatap Steve yang baru saja datang."Untukmu." Steve menyodorkan paperbag."Syal?" Wajah Fianne berubah 180 derajat, yang tadinya berwajah masam kini berubah sumringah."Kau tahu saja aku pengoleksi syal. Kau yang terbaik." Fianne mengacungkan dua jempolnya.Tentu saja Steve tahu, sejak hari pertama kerja. Steve memang sudah mengulas segala hal yang disukai teman kerjanya. Menurutnya, suatu saat akan berguna terlebih untuk menyumpal mulut cerewetnya."Oh ya, ada kabar baru tentang Lynn dan Jeff?" Steve sudah mencoba mengorek info dari Lynn, tapi wanita itu memang susah buka mulut terlebih soal cinta."Sepertinya tidak ada. Aku sering melihatnya, dan keduanya bagai teman biasa alih-alih seorang kekasih. Eh, tapi aku punya kabar buruk tentangnya." Fianne menahan tawa.Steve mengerutkan kening, "Kok senyam-senyum, kabar buruk ba
Jessica mengalihkan pandangannya, "Tapi aku masih ingin melihatmu, Steve," ujarnya dengan tampang memelas dibuat-buatnya, bibir sulam tebalnya mengerucut ke depan."Biarkan kami pulang, Jessica. Ini juga sudah larut, kamu ada pemotretan, kan besok pagi? Kau harus istirahat sekarang."Lynn berlalu keluar, emosinya membuncah melihat Jessica."Ya sudah, hati-hati." Jessica kembali memeluk Steve yang membuat pria itu terjungkang ke belakang menjaga keseimbangan."Maaf atas perlakuan buruk Jessica padamu," ujar Steve sembari menekan starter mobilnya. Berbeda dengan Lynn yang kini bersedekap tangan di dada, amarah masih menaungi kepalanya."Lain kali jangan mempertemukanku dengannya atau mungkin akan kucakar wajah plastiknya itu," ujar Lynn menggeram kesal."Wajah plastik?" Steve mengerutkan kening.Lynn menoleh, menatap datar wajah Steve."Tak lihatkah kau hidung mancung buatannya dan bi
"Tidak sama sekali. Kenapa kau mengira seperti itu?" Ia kembali menatap lurus jalan raya."Kau mendiamkanku.""Aku fokus mengemudi."Jessica tak membalas, ia merogoh tas kecilnya mengeluarkan benda pipih. Sesekali, dia melirik ke arah Steve yang tak berniat sedikitpun mengajaknya mengobrol. Bibir Jessica terangkat menggumam kata 'cih' yang hanya dirinya mendengarnya."Kau ingin menonton ini?!" tunjuk Jessica pada poster film yang akan tayang hari ini "The Conjuring III". Steve mengangguk mantap, dia sudah lama ingin menonton itu. Namun, selalu tak kesampaian karena kesibukan."Tidak, tidak. Aku tak ingin menonton ini." Jessica memalingkan wajah sembari bersedekap tangan."Aku tak menyukai film horor," lanjutnya."Kau takut? Tenang, kan ada aku."Jessica kembali menggeleng."Aku ingin menonton ini!" Poster film yang bersampul dengan wanita yang hanya tertutup secarik kai
Jessica mengelus perut, ditatapnya piring-piring kosong dihadapannya. Jessica tersenyum kecil yang mungkin hanya dirinya yang menyadarinya. Dalam hati, ia menertawakan dirinya yang kelihatan rakus dihadapan Steve."Mau langsung ke butik?"Pertanyaan Steve mengalihkan pusat pikiran Jessica. Ia langsung melirik jam bermerek di pergelangan tangannya."Terlalu awal ke butik, kita kemana saja dulu. Kau punya tempat pilihan untuk dikunjungi?"Perbincangan di restoran berlanjut di dalam mobil, Jessica kembali dengan mulut cerewetnya, mengisahkan banyak hal terutama kesibukan esok. Steve memutar kemudi, membelok ke kanan."Taman?" Jessica mengamati samping kanannya bernuansa hijau."Ayo!" Steve melepas sabuk pengamannya, pintu mobilnya sudah terbuka separuh."Panas." Jessica mencebikkan mulut."Tentu saja tidak. Kita duduk di bawah rindang pohon sana." Steve menunjuk pohon berdaun rimbun dengan dagunya. Ia lantas turun dari mobil, memu
[Kapan kau pulang? Jeremy menitipkan sesuatu padamu]Steve mengernyit membaca pesan dari Lynn. Ia melirik kembali ruang ganti yang belum kunjung terbuka. Steve menelepon Lynn, menjauh dari ruangan tersebut."Halo.""Kau sudah pulang?" tanya Lynn langsung."Apa maksud pesanmu?"Sekali-kali Steve menoleh ke belakang, waktunya hanya sedikit, dan terpenting jangan sampai ketahuan oleh Jessica jika dia menelepon Lynn."Tukang paket mengantarnya ke rumahku. Rumahmu kosong, katanya.""Oke, jangan coba membukanya.""Ya, ya, tadi aku sempat ingin mencongkelnya, beruntung Jeremy meninggalkan catatan kecil, hanya kau yang boleh membukanya." Lynn tampak murung mukanya, pasalnya dia benar-benar penasaran apa isi kiriman itu."Aku akan pulang segera, mungkin dua jam–""Steve, kau sedang apa?"Steve langsung mematikan sambungan telepon, ia berbalik, mendapati Jessica yang berkerut kening."Biasa, klien bisnis
Steve menoleh, Lynn meletakkan semangkuk mi dihadapan Steve.Lynn menyeruput mi-nya. Netranya tak sengaja menangkap sebuah buku tertindih bantal sofa."Menaklukkan gadis bertemperamen?" baca Lynn lalu melirik Steve yang sepertinya tak mendengarnya—Steve berfokus menonton kartun Tom and Jerry sembari mengunyah mi dengan pelan."Apa ini, Steve?" Lynn menyodorkan buku bersampul biru itu, sudut buku menyenggol pinggir mangkuk.Steve tiba-tiba tersedak, buru-buru Lynn menyodorkan air putih. Steve mengusap tengkuknya, ia menatap Lynn yang kini menuntut penjelasan padanya."Jangan bilang ini tentang dia." Lynn mendekat, menyipitkan mata menatap Steve.Sedangkan Steve lagi-lagi hanya menyengir. Lynn menepuk jidatnya."Kenapa repot-repot beli buku segala, kan ada aku sebagai penasehat hubungan asmara kalian. Kau mengira aku ini apa? Hmm, aku mengerti, apa karena dia hingga kau melamun tak jelas sedari pagi?" Lynn mengakui ada medan hatinya y