"Wohooo!" teriak Steve di jalan raya yang lengang. Mobil sport Arya melaju kencang. Terpaan angin mengibas-ngibaskan rambut keduanya. Steve sibuk memandang pemandangan luar. Mencoba untuk memotretnya namun kecepatan mobil sangat cepat. Arya hanya terkekeh kecil.
Tempat pertama yang mereka kunjungi ialah menjajah kuliner. Tempat wisata pertama mereka sekaligus tempat untuk mengisi perutnya untuk memulai aksinya. Tiga warung sekaligus, membuat perut Steve terasa bengkak kekenyangan. Setelahnya, Arya membawa Steve ke pinggir tebing berhias air mancur. Deru air yang jatuh memekakakkan telinga. Air terjun Banyumala, Buleleng. Perjuangan dan rasa lelah terbayarkan dengan suguhan pemandangan di hadapannya.
"Kedipkan matamu, bola matamu mengering,!" canda Arya.
Steve meninju pelan lengan Arya. Air terjun di hadapannya sangat indah terlebih dengan airnya yang biru. Arya dan Steve menghabiskan waktu yang cukup lama ber
Steve tak langsung menuju ruangannya. Steve menuju ke toilet. Sekeluarnya, Steve menyusuri lorong yang di lewatinya dengan pintu-pintu ruangan yang saling berhadapan. Seorang wanita baru saja keluar terburu-buru bersamaan dengan Steve yang baru selangkah lewat di depan ruangan tersebut. Steve tak sengaja menabrak wanita tersebut. Wanita tersebut hampir terjatuh, untung Steve sigap menangkapnya sebelum wanita tersebut terhempas di lantai. "Maafkan aku," ujar Steve lalu memungut kertas-kertas yang berhamburan di lantai lalu menyerahkannya ke wanita tersebut. Wanita itu masih membatu di tempat berdirinya, menerima dokumen-dokumen tadi dari tangan Steve. "Maafkan aku," ulang Steve kembali lalu meninggalkan wanita tersebut yang tak mengucapkan sepatah katapun. "Setelah beberapa hari mencuri-curi pandang dengannya! Kali ini aku melihatnya sangat dekat, Jenn. Sentuhannya menyetrumku," ujar wanita tersebut mendekap erat do
Di sebuah taman yang hijau, Steve duduk berselonjor kaki di bawah rindang pohon beralas rumput. Menikmati semilir angin yang menerpa. Tak lama kemudian, wanita itu datang menenteng bakul makanan di tangan kanannya. Rambut pirang panjangnya yang lurus menari-nari terbang terbawa angin. Ujung-ujung dress kuning selututnya juga ikut melambai-lambai seiring langkahnya. Wanita itu, Rose. Kekasih Steve. Mahasiswi pertukaran pelajar internasional dari Ukraina yang berhasil menyita perhatian Steve. Steve jatuh cinta pada pandangan pertama sejak Lynn –sahabatnya– memperkenalkannya. Steve tersenyum melambai ke arah Rose. Rose membalas tersenyum sembari mempercepat langkahnya. Lesung pipinya terhias indah di kedua pipinya. Lesungnya itu yang membuat Steve rindu setengah mati. "Aku merindukanmu, Steve." ujar Rose sembari mengecup pipi kanan Steve. Rose tersenyum lagi, menampakkan lesung pipinya. Steve menangkup kedua pipi Rose memerhatikan pipi Rose yang merona terkena si
"Kebetulan sekali, aku memang mencarimu sedari tadi!" Lalu, Jeff merogoh saku bajunya menyodorkan undangan bersampul merah muda ke arah Lynn. "Ulang tahun adikku," ujar Jeff menjawab kebingunan Lynn. Lynn hanya manggut-manggut lalu membaca sekilas sampul undangan tersebut. Matanya terpaku pada sebuah nama 'Roselina" awalan nama adik Jeff kembali menyayat hatinya, sosok yang berusaha dilupakannya kembali mencuat muncul di benaknya hanya karena awalan namanya yang sama 'Rose'. "Jadi, selama ini kau–" "Maafkan aku. Aku sangat buru-buru, Lynn. Aku menunggumu nanti malam," potong Jeff lalu berbalik meninggalkan Lynn. Lynn menatap punggung lelaki itu yang sudah menjauh. Dia mengatur napas, nanti malam saja dia akan mengatakannya. "Kau keluar makan sendiri? Tak ingatkah kau punya teman seruangan?" tanya Leiss memburu menatap Lynn yang berdiri
"Aku juga ingin mengatakan sesuatu. Ya, sesuatu yang sedikit mengangguku akhir-akhir ini." Lynn tak mengindahkan tatapannya dari kolam ikan. Lama keduanya terdiam, Lynn menoleh. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tanya Lynn memecah keheningan. "Mungkin kau yang harus mengatakannya terlebih dahulu. Lady's first," ujar Jeff.Lynn terkekeh kecil mengernyit. "Tak. Kau yang lebih dahulu. Kau lebih dahulu ingin mengatakan sesuatu," balas Lynn. Suasana kembali hening. Jeff tampak berpikir lalu pria tersebut kembali menghela napas. "Baik. Dengarkan aku dengan cermat!" ujar Jeff terkekeh kecil. Jeff menatap dalam manik mata Lynn. Jeff menarik kedua tangan Lynn, menggenggamnya. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Lynn. Lynn menatap Jeff berkerut kening. Dia ingin menarik tangannya, tapi dia tak melakukannya. Dibiarkanlah tanganny
Steve berdiri di sebuah lorong dengan semak belukar yang tinggi, dindingnya berlumut. Ia melangkah masuk lebih dalam menemui lorong-lorong yang bercabang. Ini bukan lorong biasa, lorong ini menyusahkan, lorong labirin. Salah satu hal yang tak disukai Steve. Baginya, hidupnya saja sudah menyulitkan, Steve tak ingin menyulitkan kakinya hanya untuk menemukan pintu keluar. Lorong-lorong itu sangat terang bahkan Steve dapat melihat langit yang biru, tapi tak terasa panas sedikitpun. Steve berjalan mundur, pintu keluar masih dalam ambang penglihatannya. Steve mundur menyisakan lima langkah lagi mencapai pintu keluar. "Rose?" ujar Steve menatap sebuah punggung wanita yang muncul dari lorong kiri. Rambut sepinggang berwarna pirang, gelang berliontin mawar di pergelangan tangan kirinya lalu setangkai mawar merah berduri di tangan kanannya. Darah tangan kanan Rose menetes, melumuri buku-buku tangannya, sangat kontras di kulit pucatnya. "Rose!" pan
"Pak Endrik mengatakan sesuatu?" tanya Emily. "Tidak ada. Hanya salam perpisahan," jawab Steve.Arya dan Emily hanya manggut-manggut. Wajah keduanya nampak murung, mereka akan segera berpisah nanti malam. Pertemuan, apakah pertemuan hanya ada untuk membuahkan perpisahan? "Aku akan ikut mengantarmu nanti malam dan kau jangan lupa menjemputku!" tunjuk Emily ke arah Arya dengan sedotan minumannya.Arya hanya mendelik sedangkan Steve terkekeh kecil menyaksikan keduanya. Saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Steve mulai membenahi barangnya. Tak butuh waktu lama barangnya terkemas dalam kopernya bersamaan dengan ponselnya yang berdering. "Halo!" sapa Steve.Terdengar grasak-grusuk di seberang telepon. "Steve!" panggil Jessica. "Kau akan pulang nanti?" tanya Jessica. "Ya," jawab Steve singkat.
"Ayo berangkat!" ujar Steve. Lynn mengangguk sambil lalu membawa piring kosong keduanya. Lynn cukup mengerti, Steve berada dalam keraguan dengan Jessica. Steve berdiri di samping motor besarnya menunggu Lynn yang belum keluar. Steve menatap terpaku ke arah Lynn yang juga menatap Steve tak berkedip. "Ada apa, Steve? Aneh?" tanya Lynn lalu memerhatikan kostumnya. Jean ketat abu-abu berpadu baju berlengan panjang, rambut panjangnya dikuncir tinggi dengan kalung kecil melingkar di leher jenjangnya. Tak ada yang salah dengan kostumnya, memang sudah seharusnya begitu. Lynn tak mungkin mengenakan dress untuk mengendarai motor. "Tidak ada," jawab Steve. Ada sesuatu yang menggejolak dalam dirinya. Namun, dia sendiri tak tahu apa. Steve menyodorkan helm untuk Lynn. "Steve, pengaitnya tak bisa masuk," ujar Lynn. Steve menoleh menatap Lynn,
"Maafkan aku," ulang Lynn menyodorkan ponsel miliknya. Lagi-lagi pria itu hanya mengangguk, dan berlalu cepat meninggalkan tempat tersebut."Kau tak apa?"Lynn menggeleng-gelengkan kepalanya, dia baik-baik saja. Ia menyelipkan rambut basahnya di belakang telinganya."Kau lihat tadi?" Lynn memperagakan reaksi pria tadi yang hanya mengangguk terus, seperti orang bisu saja."Ah, sudahlah. Ayo!" Lynn menarik Steve.Degup jantungnya masih memacu, apa yang terjadi padanta jika saja pria tadi tak menangkapnya. Buruknya, kepalanya mungkin akan terkantuk di pinggir kolam atau barangkali kecebur kembali ke kolam dengan kepala di bawah, menubruk dasar kolam. Oh tidak, yang terakhir memalukan.Lynn baru saja keluar dari ruang ganti, Steve sudah berdiri bersandar di dinding dekat pintu. Keduanya berjalan beriringan menuju ke parkiran. Steve memasangkan helm di kepal