Share

2. Tiga Tahun Kemudian

Tiga tahun kemudian …

Britne duduk di kursi belakang sebuah mobil sambil menatap padang hijau yang sangat dirindukannya. Dia menurunkan kaca mobil lalu menghirup udara segar pedesaan yang beraroma rumput basah.

Tiga tahun dia meninggalkan rumah, bersembunyi di ujung dunia demi meninggalkan masa lalu yang kelam. Harapan baru muncul saat hatinya yakin jika semua sudah baik-baik saja.

Tatapannya beralih ke seorang anak berumur dua tahun yang tidur nyenyak di pangkuannya. Wajah tampan anak itu menghanyutkannya ke dalam lamunan.

“Sebentar lagi kamu akan bertemu grandpa dan grandma. Di sini ada banyak kuda dan kamu bisa menaikinya, mama yakin kamu akan suka tinggal disini,” ucapnya sambil mengusap rambut anak itu.

Mobil yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah dengan bentuk bangunan yang masih sama seperti yang dia tinggalkan terakhir kali. Belum sempat dirinya keluar dari mobil, papa dan mamanya sudah keluar dari dalam rumah untuk menyambut kedatangannya.

Mata Britne berkaca-kaca menatap orang tua yang dirindukannya, mulutnya kelu tak mampu berucap sepatah kata pun.

Ketika keluar dari mobil, papa dan mamanya langsung memeluknya penuh kasih sayang, untuk beberapa saat mereka larut dalam suasana haru.

“Kamu pasti lelah karena perjalanan yang panjang, berikan Cedric pada mama, biar mama  yang menggendongnya,” ujar Inggrid mengambil cucunya dari gendong putrinya.

“Istirahatlah dulu! Nanti malam ada yang ingin papa bicarakan denganmu,” sambung Axton sambil mengambil barang-barang Britne dari dalam mobil.

Britne mengernyit penasaran dengan apa yang akan papanya bicarakan, tetapi dia menahan diri untuk tidak mengulik masalah tersebut karena saat ini dirinya memang benar-benar lelah.

Romantisme Britne dengan orang tuanya siang tadi lenyap ketika malam harinya terjadi pertengkaran diantara mereka. Papa dan mamanya ternyata telah merencanakan sesuatu terkait kepulangannya.

“Kami telah sepakat  untuk menjodohkanmu dengan Alvaro.”

Suara Axton Hogan pada putrinya terdengar pelan tapi tegas, dia dan istrinya telah mengambil keputusan final demi masa depan putrinya.

Mata Britne membulat kaget merespon, jantungnya berdetak kencang mendengar nama Alvaro yang sudah lama tidak dia dengar terucap dari mulut papanya.

“Apakah ini tujuan papa dan mama menyuruhku pulang?” geram Britne dengan nada bergetar penuh emosi menatap tajam ke arah kedua orang tuanya.

Hampir tiga tahun dia bersembunyi dan menjauh dari hiruk pikuk dunia, hidup tenang dengan putranya yang kini berumur dua tahun. Dia berpikir sudah waktunya pulang ke keluarga dan mengira semua akan baik-baik saja, tetapi orang tuanya malah memberi kejutan yang sangat tidak dia sukai.

Melihat ekspresi kesal di wajah putrinya, Inggrid mendekat lalu menangkup tangan Britne penuh kasih sayang.

“Hubungan keluarga kita dengan keluarga Cooper retak semenjak kamu menolak pernikahanmu dengan Alvaro, bukankah kamu mencintainya?”

Mata Britne menatap nyalang mendengar mamanya menyinggung pernikahan konyol yang seharusnya menjadi tanggung jawab saudara kembarnya, bukan dirinya. Dia menarik tangannya dari genggaman mamanya lalu bergerak menjauh.

“Jadi mama menyalahkanku? Geena yang melarikan diri dan merusak pernikahan itu, sangat tidak adil jika aku dipaksa untuk menjadi penggantinya. Perasaanku tidak ada artinya jika Alvaro mencintai Geena, dia hanya akan menganggapku sebagai Geena karena wajah kami yang mirip. Aku mengira mama akan mengerti perasaanku, kenapa sekarang mama tega menyeretku dalam rencana pernikahan konyol itu lagi?”

Mulut Inggrid seketika bungkam dengan mata berkaca-kaca merasakan kepedihan putrinya. Dia menoleh menatap suaminya dengan putus asa dan menggeleng memberi isyarat untuk membatalkan rencana yang telah mereka ambil.

Namun Keputusan Axton sudah bulat, sebagai kepala rumah tangga dia harus mengambil keputusan berat meski itu terasa menyakitkan bagi putrinya. Dia ingin yang terbaik untuk putrinya sekaligus memperbaiki persahabatannya dengan William Cooper, papa dari Alvaro.

“Papa sudah memberimu waktu cukup lama, berharap kamu menemukan pria yang kamu cintai, tetapi apa yang kamu dapatkan selama tiga tahun mengasingkan diri? Kamu malah sibuk dengan putramu dan menutup kehidupan pribadimu. Apakah kamu akan membiarkan Cedric tumbuh tanpa seorang ayah?”

“Jangan bawa Cedric dalam masalah ini. Dia putraku, aku bisa menjadi ibu sekaligus seorang ayah baginya,” Britne bersikeras dengan pendiriannya.

“Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa menggantikan peran ayah dalam hidup Cedric, kamu tidak akan bisa mengajarkannya bersikap sebagai seorang pria, mengajarkannya berkuda dan menjelajah hutan, membawanya pada tantangan-tantangan yang hanya bisa diajarkan seorang pria pada putranya,” terang Axton.

“Apakah papa mengira Alvaro akan menerima keberadaan Cedric? Alvaro sangat menjunjung tinggi kehormatan, dia tidak akan menerima putraku yang lahir tanpa seorang ayah.”

“Britne! Jaga ucapanmu! Jangan sampai Cedric mendengar apa yang kamu ucapkan itu!” tegur Inggrid dengan nada tinggi karena merasa perkataan putrinya sudah melewati batas.

Britne seketika menggigit bibir karena sadar telah mengucapkan perkataan yang seharusnya tidak diucapkan. Rasa bersalah mencengkram hatinya meski dia tahu Cedric tidak mendengar apa yang dia katakan.

“Biarkan aku bahagia menjalani hidupku berdua saja bersama Cedric. Jika Cedric butuh sosok ayah, aku harap papa bisa menggantikannya. Papa bisa menjadikannya seorang pria, mengajarinya berkuda dan melakukan tantangan apapun yang kalian suka. Aku tidak akan melarangnya asal itu tidak membahayakan Cedric,” mohon Britne.

Tangisnya kemudian pecah membuat Inggrid ikut menangis karena tidak tega memaksa putrinya melakukan apa yang tidak disukai meski tahu jika hal itu adalah yang terbaik.

Rahang Axton mengeras karena situasi diantara mereka tidak seperti yang diharapkan. Tidak ingin larut dalam suasana penuh emosi, dia berjalan menjauh dari istri dan putrinya. Sebelum keluar dari ruangan, dia kembali menatap Britne.

“Besok ikut kami ke kediaman Jackson, mereka ingin bertemu denganmu dan Cedric. Akan ada juga makan malam bersama untuk menyambut kepulanganmu dan kedatangan Arlo serta calon istrinya,” ucap Axton yang kemudian menghilang dari pandangan Britne dengan ekspresi yang tidak terbaca.

Britne hanya bisa menghela nafas panjang dan pasrah karena tidak bisa menolak ajakan papanya. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan Arlo, sepupunya. Mengucapkan selamat karena akhirnya telah mendapatkan cintanya.

*

Sepanjang acara makan malam di kediaman Jackson, Britne merasa gugup dan cemas. Dia belum siap bertemu dengan Geena karena rasa marah yang masih mengganjal di hatinya. Dia berharap saudaranya itu tidak datang karena sampai acara makan malam hampir selesai, Geena tak kunjung terlihat.

Beruntung Allie calon sepupu iparnya, mencairkan ketegangan dengan berita kehamilan keduanya, perhatiannya pun teralihkan dan dia turut larut dalam kebahagiaan sepupunya.

Namun beberapa menit kemudian, yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Geena datang bersama dengan keluarga kecilnya dan mereka tampak sangat bahagia. Hal tersebut membuat dirinya iri sehingga memilih untuk tetap duduk dan tidak menyambut kedatangan saudaranya tersebut.

“Bagaimana kabarmu, Britne?” suara Geena menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk makan malam tanpa minat.

“Tidak sebahagia seperti yang kamu dan Mattew rasakan,” sindirnya dingin.

Matanya melirik kesal ketika Geena tidak pergi menjauh tetapi malah menarik kursi di sebelahnya dan duduk di sana, padahal dia berharap saudara kembarnya itu akan menyingkir setelah mendengar nada dingin yang artinya dia tidak sedang ingin berbicara.

“Maafkan aku,” ucap Geena dengan tulus.

“Maafmu tidak akan mengubah keadaan,” balasnya.

“Aku tahu, tetapi rasa bersalahku juga tidak akan mengubah keadaan. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahanku. Adakah yang bisa aku lakukan untukmu agar hubungan kita membaik?”

“Tidak ada yang bisa kamu lakukan, aku telah memaafkanmu dan saat ini aku hanya ingin hidup tenang bersama putraku.”

“Kamu berhak bahagia, seperti apa yang aku dan Mattew rasakan. Cedric juga berhak mendapatkan figure ayah dalam tumbuh kembangnya.”

Seringai sinis terkembang di bibir Britne, dia sadar jika keluarganya telah merencanakan sesuatu jauh sebelum dirinya pulang.

“Kalian pasti sudah membicarakan semua ini di belakangku bukan? Kamu bersekongkol dengan papa dan mama untuk menjodohkanku dengan Alvaro.”

“Karena kami tahu kamu mencintainya,” tegas Geena tidak mengelak.

“Aku sudah tidak mencintainya lagi, perasaanku padanya telah berubah. Lagi pula aku tidak sudi menikah dengan pria yang hati dan pikirannya penuh dengan dirimu,” geram Britne merespon sikap Geena yang merasa lebih tahu tentang perasaannya dibanding dengan dirinya sendiri.

“Jika kamu sudah tidak mencintainya, seharusnya saat ini kamu sudah bersama pria lain, paling tidak kamu bisa hidup bersama papa kandung Cedric dan hidup bahagia,” Geena menyinggung keberadaan papa dari putranya.

Braakkk …

Britne menggebrak meja makan dengan keras, hingga semua mata tertuju padanya. Dia meremas sendok yang dipegangnya dengan kuat, menahan diri agar tidak menampar wajah Geena.

“Jangan pernah menyinggung papa dari Cedric atau pria manapun dalam hidupku! Hubungan kita tidak akan pernah membaik jika sikapmu terus seperti ini. Kamu terlalu mencampuri urusanku dan sok tahu tentang apa yang harus aku lakukan. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku, Geena.”

“Ya, aku memang tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Kita bertemu saat kita sudah tumbuh dewasa dan selama aku terhilang dari keluarga ini, ada Alvaro yang selalu bersamamu. Kalian tumbuh bersama sejak kecil dan saling tahu karakter masing-masing. Cobalah mengenalnya lagi dan jujurlah tentang perasaanmu padanya.”

“Ada dua penyesalan dalam hidupku. Pertama, saat menuliskan perasaanku di sebuah buku sehingga kamu membacanya dan yang kedua saat aku memutuskan untuk pulang sehingga kalian punya peluang mengatur hidupku. Kamu sendiri melarikan diri dari perjodohan yang papa dan mama lakukan, bagaimana bisa sekarang kamu bersekongkol dengan mereka untuk menjodohkanku dengan Alvaro, lucu sekali dirimu,” sindir Britne.

“Jangan seperti ini, Britne!” pinta Geena.

“Lalu sikap seperti apa yang kamu harapkan dariku? Jika kamu dan papa terus mendesakku, maka aku akan kembali pergi dan tidak akan pernah pulang lagi,” ancam Britne yang kemudian beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Geena begitu saja.

Setelah yakin dirinya telah menyingkir dari keluarganya, air matanya tumpah begitu saja. Semua orang tidak tahu tentang perasaannya dan masa sulit yang telah dia lalui, tetapi mereka dengan gampang mengambil keputusan untuk masa depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status