Share

Love To The End
Love To The End
Penulis: Dera Tresna

1. Alasan Melarikan Diri

Britne masuk ke apartemen Alvaro dengan rasa cemas dan khawatir, dia tahu jika Alvaro pasti sangat terpukul setelah acara pernikahannya gagal. Geena, saudara kembarnya melarikan diri dan meninggalkan pria itu begitu saja di hari pernikahan mereka.

Sebagai seorang sahabat, dia tidak mungkin diam saja. Karena itu, dia datang ke apartemen Alvaro berniat untuk menghiburnya.

Sesampainya di sana dia mendapati apartemen yang sepi dan gelap. Britne melangkah masuk mencari keberadaan sahabatnya itu.

“Alvaro, apakah kamu baik-baik saja?” suaranya menggema di dinding apartemen tanpa balasan.

Berusaha menajamkan penglihatan, Britne beradaptasi dalam kegelapan, mengandalkan kerlip lampu kota dari kejauhan sebagai penerangan meski cahayanya sangat minim.

“Dimana dirimu?” tanya Britne sambil berjalan perlahan, meraba dinding di dekatnya mencari saklar lampu.

Baru saja tangannya hendak menekan saklar tersebut, suara parau dan berat menghentikan gerakannya.

“Jangan nyalakan lampunya! Aku sedang ingin bersembunyi di kegelapan,” larang Alvaro terdengar putus asa.

Britne menyipitkan mata dan menatap ke sumber suara, dalam remang cahaya, dia bisa melihat seseorang duduk di sofa menghadap ke dinding kaca apartemen.

Tahu jika itu adalah Alvaro, Britne berjalan mendekatinya dan mendapati pria itu sedang memegang gelas berisi minuman, terlihat sebuah botol wiski yang hampir habis ada di sebelahnya.

“Apakah kamu menghabiskan semua minuman ini?” ujar Britne sambil mengangkat botol kosong tersebut lalu menyingkirkannya.

“Hanya ini yang aku butuhkan sekarang,” balas Alvaro sambil memutar gelasnya dan menatap minuman yang tinggal sedikit di dalamnya.

“Apakah kamu sudah makan?” tanya Britne khawatir.

“Aku tidak lapar,” jawab Alvaro acuh, bahkan tidak ingat jika seharian belum makan.

“Jangan sampai kamu sakit karena terlambat makan, aku akan membuat sesuatu yang hangat agar perutmu terasa lebih nyaman,” kata Britne sambil beranjak menjauh dari tempat Alvaro duduk, tetapi pria itu menahan lengannya.

“Tetaplah disini! Temani aku,” pinta Alvaro dengan raut wajah sedih dan tatapan nanar, membuat Britne tidak tega meninggalkannya.

Dia kemudian duduk di samping pria itu dan menggenggam tangannya, berniat untuk menghibur.

“Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang lebih baik dari Geena jadi jangan putus asa seperti ini.”

Alvaro tersenyum sinis dengan tatapan kosong. “Apakah kamu sedang mencoba untuk menghiburku? Perkataanmu sia-sia saja karena tidak menyelesaikan masalah yang sedang aku hadapi. Kenapa kamu tidak menggantikan Geena sebagai pengantinku seperti apa yang orang tuamu sarankan? Paling tidak aku dan keluargaku tidak akan menanggung malu.”

Perkataan tersebut menyentak hati Britne, dengan cepat dia melepaskan genggaman tangannya dari Alvaro. Ada rasa sakit yang berusaha dia pendam karena jauh di lubuk hati, dia sangat ingin menikah dengan Alvaro, tetapi mengetahui jika pria itu hanya mencintai saudara kembarnya, keinginan itu pun hancur lebur.

“Aku tidak bisa menikah denganmu karena seumur hidup kamu hanya akan menatapku sebagai Geena. Aku tidak ingin menjadi pelampiasan hanya karena wajahku mirip dengan Geena.”

“Kenapa kamu menolakku? Apakah kamu pikir aku tidak pantas untukmu?” Suara Alvaro tiba-tiba meninggi, manik matanya menggelap karena kemarahan yang tersulut. Britne yang melihatnya menjadi takut.

“Kamu sedang mabuk, Alvaro. Aku akan membuatkanmu makanan dan setelah makan, sebaiknya kamu segera tidur, kita akan bicara lagi besok saat keadaanmu lebih tenang.”

Baru saja Britne beranjak dari tempat duduknya, Alvaro dengan cepat mendekap dan menghimpitnya ke dinding apartemen.

Jantung Britne seketika berdetak kencang merespon kedekatan mereka, dada liat Alvaro menghimpit dadanya, nafas pria itu menyapu wajahnya. Meski sudah berteman sejak kecil, namun dirinya belum pernah seintim ini dengan Alvaro.

Selama ini dirinya memang mencintai Alvaro, tetapi terpaksa menyembunyikan perasaan tersebut karena tidak ingin persahabatan mereka hancur.

Dia tidak menyangka jika orang tuanya akan menjodohkan Alvaro dengan saudara kembarnya dan ternyata Alvaro menerima perjodohan tersebut. Disitulah dia baru tahu jika Alvaro mencintai saudara kembarnya.

“Kenapa kamu ingin pergi dariku? Katakan saja jika kamu juga menginginkanku,” ucap Alvaro kasar.

Britne mengerutkan kening, terkejut dengan perkataan pria itu. Selama mereka berteman, Alvaro tidak pernah berkata kasar, dia adalah pria yang sopan, selalu bersikap lembut dan menghormatinya.

“Lepaskan aku, Alvaro! Minuman itu mengubahmu, jangan sampai kamu menyesal karena hal yang tidak seharusnya kamu katakan dan lakukan,” geram Britne sambil menghentakkan tangan pria itu.

“Kamu yang telah mengubahku, bukan minuman yang aku minum,” sanggah Alvaro tak melepaskan Britne.

“Aku tidak pernah mengubahmu, terima saja keadaan ini dan jadilah lebih kuat. Masih banyak wanita di dunia ini dan Geena bukanlah satu-satunya.”

“Kenapa bukan kamu saja yang menikah denganku? Keluargamu sudah setuju, kenapa kamu menolaknya,” racau Alvaro dengan kesadaran yang semakin menipis.

Britne menggigit bibir menahan perasaannya. Seandainya saja Alvaro tidak mencintai saudara kembarnya, dia akan dengan senang hati menikah dengan pria itu. Rasa kecewa dan kemarahan melingkupi dirinya ketika Geena kabur dengan meninggalkan sepucuk surat yang memintanya untuk menikah dengan Alvaro.

Dia tidak ingin menjadi wanita pengganti, menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Lebih menyedihkan lagi jika dirinya hanya dianggap sebagai objek obsesi karena kemiripan wajahnya dengan Geena.

“Aku tidak bisa menikah denganmu karena kamu mencintai Geena, tidak mencintaiku.”

“Aku mencintaimu,” ujar Alvaro yang membuat tubuh Britne membeku.

“Me-mencintaiku?” ulang Britne gagap, tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Aku mencintaimu dari awal kita bertemu.”

“Be-benarkah itu?” Rasa senang merayap dalam diri Britne, perkataan Alvaro seperti mantra yang meluluhkan hati.

Matanya membulat lebar ketika tiba-tiba Alvaro mencium bibirnya. Tangannya meremas pakaian pria itu hendak mendorong menjauh, tetapi ketika bibir Alvaro bergerak melumatnya, dia tak mampu menolaknya.

Dengan polos, Britne menikmati gerakan bibir Alvaro yang memberinya berjuta sensasi. Hatinya bersorak senang merasakan ciuman pertama dari cinta pertamanya. Tanpa sadar, kedua tangannya sudah melingkar dan bergelayut manja di leher Alvaro.

Rasanya seperti sedang berada di musim semi dengan bunga-bunga bertaburan di atasnya, cecapan Alvaro seperti madu yang memuaskan dahaga. Nafas pria itu terhembus menyapu kulit wajahnya seperti angin sepoi yang hangat membuatnya melayang.

Britne terkesiap ketika Alvaro mendorong tubuhnya tanpa melepaskan ciuman. Tangan pria itu memutar gagang pintu yang ada di belakang tubuhnya dan membukanya dengan mudah.

Tanpa ada perlawanan, Alvaro kembali mendorongnya masuk ke dalam kamar.

Saat menyadari keberadaannya, Britne menjauhkan bibirnya menghindari ciuman pria itu. “Kamu sedang mabuk, tidak seharusnya aku berada di kamarmu.”

“Aku menginginkanmu, jadilah milikku seutuhnya,” ucap Alvaro dengan tatapan serius yang menghanyutkan.

Britne berusaha menjaga akal sehat, tetapi tubuhnya tidak mau bekerja sama. Saat Alvaro kembali menciumnya, dinding pertahanannya pun runtuh. Tubuhnya jatuh ke ranjang bersama Alvaro yang menindihnya.

Pikirannya seketika kacau, dia tak bisa lagi berpikir jernih. Yang dia ingat hanya sentuhan Alvaro yang membuat kulitnya meremang dan nadinya berdenyut kuat, darahnya memanas dengan sejuta sensasi nikmat menyerang.

Dia hanya bisa pasrah ketika pria itu melepas satu persatu pakaiannya. Pekikkan keras menggema di dinding kamar ketika rasa sakit menyengat di pangkal pahanya. Air matanya menetes ketika sadar jika dirinya telah menyerahkan kehormatannya pada Alvaro.

“Kenapa kamu menangis? Apakah aku menyakitimu?” tanya Alvaro sambil mengusap air matanya dengan bibirnya.

Britne menggeleng menahan isak tangisnya. “Benarkah kamu mencintaiku?” Britne berusaha menyakinkan dirinya jika Alvaro benar-benar mencintainya.

“Tentu saja, aku mencintaimu,” ucap Alvaro yang kemudian menyempurnakan penyatuan mereka.

Mendengar hal tersebut, Britne tak lagi ragu dengan perasaannya. Dia membuka diri untuk Alvaro dan menyambut gerakan pria itu di atas tubuhnya. Malam semakin larut dan tarian keduanya semakin memanas.

Keduanya mengerang keras ketika mencapai puncak bersama, Alvaro jatuh di atas tubuh Britne dengan keringat yang membuat tubuh keduanya basah. Kebahagiaan melingkupi hati Britne menyadari jika Alvaro ternyata mencintai dirinya.

“Geena, aku mencintaimu,” gumam Alvaro di telinga Britne yang membuat kebahagiaan yang baru saja dirasakan lenyap seketika.

Tubuh Britne membeku dan berubah menjadi dingin. Dia mendorong tubuh Alvaro menjauh dari tubuhnya.

“Apa maksud perkataanmu? Apa kamu berpikir aku adalah Geena?” cicit Britne dengan suara tertahan, rasa sakit menghimpitnya hingga telinganya berdenging dan tubuhnya menggigil.

Sayangnya hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulut Alvaro, membuat Britne sadar jika pria itu benar-benar mabuk. Bahkan dia yakin, Alvaro tidak akan pernah menyadari jika mereka baru saja tidur bersama.

Tangis Britne seketika pecah, dengan tertatih dia mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai lalu memakainya dengan cepat.

Dia pergi dari apartemen Alvaro dengan rasa jijik dan malu, saat ini dia tak sanggup bertemu dengan siapapun, terutama untuk bertemu lagi dengan Alvaro, menatap wajah pria itu, membuat hatinya terasa sangat sakit.

Dengan membawa rasa sakit tersebut, Britne memutuskan untuk kabur seperti apa yang Geena lakukan, menghilang dari kehidupan Alvaro.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status