“Aku dengar jika papa Dyana menangani transportasi peternakanmu,” singgung Britne saat dirinya makan malam bersama Alvaro.“Ya, benar sekali. Uncle Varis banyak membantu papa ketika peternakan kami sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dia tidak mempermasalahkan pembayaran kami yang terlambat karena mengerti kesulitan yang sedang kami hadapi,” terang Alvaro.“Sebesar apa kepercayaanmu pada Varis?” tanya Britne penuh kehati-hatian karena dia melihat jika Alvaro dan mertuanya sangat mempercayai pria itu.“Sama seperti aku mempercayai papamu,” jawab Alvaro yang membuat Britne menahan diri untuk mengutarakan apa yang menjadi kecurigaannya karena dia tidak mau melakukan kesalahan seperti yang dia lakukan pada Lucas.Merasa heran dengan pertanyaan istrinya, Alvaro kembali bersuara. “Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?”“Hmm … ah … tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu sedekat apa keluargamu dengan keluarga Varis.” Britne membuat alasan untuk menutupi kecurigaannya.Alvaro mengangguk-anggu
Britne pergi ke peternakan untuk mencari akar penyebab masalah yang dialami peternakan Cooper karena semakin hari masalah tersebut semakin meluas sedangkan dirinya malah semakin bias terhadap kondisi yang terjadi.Tatapannya menajam dingin ketika melihat Dyana berjalan mendekatinya dan menunggu wanita itu mendapatkannya.“Aku lihat kamu semakin sering ke peternakan. Apakah kamu sedang memata-matai Alvaro?” tuduh Dyana dengan sikap cemburu yang tidak seharusnya.“Untuk apa aku memata-matai suamiku sendiri?” Britne tidak ingin terpancing dengan perkataan Dyana.“Jangan berpura-pura tak peduli, aku tahu Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu di peternakan daripada di rumah. Mungkin baginya, peternakan lebih nyaman dibanding dengan rumah sendiri,” Dyana berusaha menggoyahkan hati Britne.“Sepertinya kamu tidak memiliki kerjaan sehingga susah payah mengurusi rumah tangga orang lain, padahal aku dan Alvaro baik-baik saja,” sindir Britne.Mata Dyana membulat marah, tersinggung dengan sindira
Britne masuk ke apartemen Alvaro dengan rasa cemas dan khawatir, dia tahu jika Alvaro pasti sangat terpukul setelah acara pernikahannya gagal. Geena, saudara kembarnya melarikan diri dan meninggalkan pria itu begitu saja di hari pernikahan mereka.Sebagai seorang sahabat, dia tidak mungkin diam saja. Karena itu, dia datang ke apartemen Alvaro berniat untuk menghiburnya.Sesampainya di sana dia mendapati apartemen yang sepi dan gelap. Britne melangkah masuk mencari keberadaan sahabatnya itu.“Alvaro, apakah kamu baik-baik saja?” suaranya menggema di dinding apartemen tanpa balasan.Berusaha menajamkan penglihatan, Britne beradaptasi dalam kegelapan, mengandalkan kerlip lampu kota dari kejauhan sebagai penerangan meski cahayanya sangat minim.“Dimana dirimu?” tanya Britne sambil berjalan perlahan, meraba dinding di dekatnya mencari saklar lampu.Baru saja tangannya hendak menekan saklar tersebut, suara parau dan berat menghentikan gerakannya.“Jangan nyalakan lampunya! Aku sedang ingin
Tiga tahun kemudian …Britne duduk di kursi belakang sebuah mobil sambil menatap padang hijau yang sangat dirindukannya. Dia menurunkan kaca mobil lalu menghirup udara segar pedesaan yang beraroma rumput basah.Tiga tahun dia meninggalkan rumah, bersembunyi di ujung dunia demi meninggalkan masa lalu yang kelam. Harapan baru muncul saat hatinya yakin jika semua sudah baik-baik saja.Tatapannya beralih ke seorang anak berumur dua tahun yang tidur nyenyak di pangkuannya. Wajah tampan anak itu menghanyutkannya ke dalam lamunan.“Sebentar lagi kamu akan bertemu grandpa dan grandma. Di sini ada banyak kuda dan kamu bisa menaikinya, mama yakin kamu akan suka tinggal disini,” ucapnya sambil mengusap rambut anak itu.Mobil yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah dengan bentuk bangunan yang masih sama seperti yang dia tinggalkan terakhir kali. Belum sempat dirinya keluar dari mobil, papa dan mamanya sudah keluar dari dalam rumah untuk menyambut kedatangannya.Mata Britne berkaca-kaca men
Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah,
Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentan
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya
“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga me