Nana berdiri terlebih dahulu kemudian menarik tangan Rion, tangan yang bebas digunakan untuk menghapus air matanya yang masih menetes tak terkendali. Matanya sudah merah dan sembab dikarenakan selalu di kucek sejak tadi. Bahkan area kulit di dekat matanya juga ikut memerah.
Rion hanya mengikuti Nana, lagipula, percuma juga dia berada di sekolah. Dia tak bisa menenangkan Nana karena ruang geraknya terbatasi, jika pulang, dia bisa menenangkan Nana lebih mudah, dan juga bisa mendengar cerita Nana tanpa perlu khawatir akan terbongkar."Kamu sih! Bisa gak sih, itu mulut manis dikit ke Nana? Udah ah, gak asik lagi, aku nyusul saudaraku deh" Leon menyalahkan Sandy.Setelah membersihkan kacamatanya yang berembun, dia memilih berdiri dan meninggalkan Sandy dan Taufik yang masih duduk di beranda kelas satu B.Setelah beberapa saat dalam diam, beberapa guru keluar dari ruang staf sembari membawa tumpukan kertas dan lem. Dimulai dari ke
Rion ikut duduk di ayunan yang dipakai Nana merenung dan memperbaiki hati dan perasaannya yang hancur.Derit ayunan besi yang cukup keras menyadarkan Nana dari lamunan dan memperhatikan tampang acak-acakan Rion yang kini duduk di hadapannya."Rin, kamu kenapa?" Nana mengusap kepala Rion, tatapan mata Rion cukup nyalang.Mendengar suara Nana setelah beberapa jam terdiam, membuat sedikit perasaan Rion menghangat."Kamu udah gak apa - apa, Na?""Rion sendiri kenapa? Kok kayak gini? Gak biasanya?""Aku emosi aja, tapi senang bisa melihat Nana tersenyum lagi. Sakit tau liat kamu menangis kayak tadi." Rion menyentuh puncak kepala Nana, mengelusnya penuh sayang."Rion menakutkan loh kalau marah. Aku tau kalau Rion sedang marah tadi." Nana tersenyum lembut sembari mengusap kepala Rion."Nana, ada yang mau ketemu." Leon muncul di pintu belakang, menyusul Sandy di belakangnya.
"Makan seperti biasa. Tapi seriusan Nana, kau bisa memegang kata-kataku."Nana mencibir kalimat Sandy, tidak percaya dengan kalimat bucin yang baru saja dia katakan."Jadi, kau ingin aku melamarmu?" Tanya Sandy lagi setelah beberapa saat tanpa suara sama sekali."Yang benar saja? Aku masih mau sekolah, mau kuliah, kerja. Perjalanan kita masih panjang.""Lalu aku harus bagaimana untuk buktikan?""Memangnya kalau kita menikah, kamu bisa menghidupiku seperti apa? Kau akan kerja apa?" Nana mendengus setelah mengucapkannya."Apa saja.""Cukup basa-basinya. Kau tau kan jika aku menyukaimu?" Tanya Nana yang dijawab anggukan disertai cengiran khas Sandy."Lalu apa alasanmu untuk menyukaiku sekarang? Karena aku seorang model dari agensi si kembar? Karena aku sudah pernah di make over dengan kak Marina? Atau kau hanya merasa bersalah karena menggantungku di pohon toge tanpa kepastian?
"Aku juga mau berterus terang pada si kembar. Minimal sama Rion aja kalo gak bisa keduanya.""Sebaiknya jangan Nana, ayo, tulis jawaban dulu. Entar dibantu Leon buat jelasin, aku bingung sendiri buat jelasin jawabannya." Ucap Sandy kemudian kembali menunjuk bukunya dengan tulisan yang mirip tulisan anak SD pemula tersebut."Tapi bagaimana aku bisa marah-marah jika ada yang memberimu hadiah seperti tadi?" Nana mengingat insiden paginya yang dibutakan oleh seorang adik kelas yang memberikan bingkisan padanya tepat sebelum dia ingin masuk ke dalam kelas."Nana, gak usah berlebihan. Aku memberikannya pada Taufik kan? Aku hanya terima pemberianmu. Eh, ini salah." Tegur Sandy ketika melihat jawaban yang ditulis Nana melenceng dari yang seharusnya."Aku gak lagi niru tugasmu, itu cuma alasan agar bisa duduk bersamamu." Nana menggerutu, dia memilih melanjutkan tulisannya."Iya, tapi yang ini salah."Setelah membuktikan le
Dia tak pernah berhasil menyimpan rahasianya."Itu... aku..." Nana tak tau harus menjawab apa, sementara wajahnya sudah semakin memerah."Aku benar kan Na? Kalian pacaran?" Tanya Rion lagi, membuat Nana semakin memerah. Pertanyaan Rion yang sebenarnya pernyataan."Nana, Leon udah dateng, masih berminat untuk menjawab tugasmu sekarang?" Sandy tiba-tiba memegang bahunya, membuatnya terkejut.'sial, ngapain dia kesini sih, nyesel buat Nana sekelas kayak gini. Jadi susah banget sekarang.' Rion membatin, namun tetap mengikuti Nana berpindah ke tempat Sandy dan Leon. Dia tak rela jika Nana semakin akrab dengan Sandy."Katanya Sandy kamu gak ngerti yah Na?" Leon langsung pada poinnya dan tak menunggu Nana untuk duduk. Dia langsung berbicara ketika melihat Nana di depannya."Gimana mau ngerti Len? Itu Sandy gak bisa jadi guru sama sekali, masa aku di cecokin rumus tanpa alasan? Tiba-tiba pake rumus ini, trus masukin
"Rion, gak bisa lebih santai lagi? Sudah berapa kali aku katakan? Ini tema keluarga baik, bukan incest." Leon menggerutu untuk ke sekian kalinya. Dia tak bisa mengerti, kenapa Rion kali ini tak bisa mengendalikan perasaannya seperti biasa."Rion, apa aku digantiin kak Mary saja supaya shootnya cepat selesai?" Tanya Nana di sela istirahatnya. Dia juga sadar jika sejak tadi Leon sudah terlihat kelelahan."Aku akan coba di take berikutnya. Please, kasih waktu." Rion beralih ke Leon "Len, break sepuluh menit yah!" Seru Rion."Oke!"Sepuluh menit berlalu, Rion memilih menenangkan kepalanya dan mandi, walau tak sepenuhnya tenang, namun setidaknya Rion bisa menenangkan hatinya selama sesi foto hingga lima menit setelahnya."Rion suka padaku?" Nana bertanya pada Rion, dia kini tengah bersandar di bahu Rion seperti biasa, menikmati kipas elektrik yang selalu di charge full oleh Rion.
"Rin, bisa gak sih, Taufik di depak aja dari kelas ini?"Nana dan Rion kini sedang berada di perpustakaan. Nana ingin berdua dengan Sandy, karena sejujurnya, dia tak bisa berdua selain di sekolah. Dan dia terlalu malu untuk berkunjung ke rumah Sandy. Terlalu banyak orang yang lalu lalang di rumah tersebut.Dia ingin berdua dengan Sandy menggunakan alasan belajar bareng, tapi terlalu banyak orang yang mengelilinginya. Sandy seperti bunga dengan feromon kuat yang membuat para kumbang mencari dan mengerubunginya.Dan itu menjadi hal yang sangat menyiksa dan menyesakkan untuk Nana, sehingga selalu membuat dia menekuk wajahnya, sejak mereka menjalon hubungan, tak jarang pula Leon menegur Nana karena menekuk wajahnya ketika sedang mengambil gambar."Nana ku sayang, kamu punya banyak masalah akhir-akhir ini?" Rion mengusap kepala Nana penuh sayang.Karena inilah sehingga Rion selalu memilih tempat duduk paling pojok dan paling jauh d
"Tapi aku tak seperti itu, Nana!" Sandy memotong kalimat Nana. Dia sendiri tak suka ada orang lain yang lebih dekat dengan Nana dibanding dirinya, karena Nana hanya miliknya seorang."Biarkan aku selesai bicara!" Nada suara Nana sedikit meninggi, membuat Sandy langsung bungkam."Baiklah, maafkan aku." Sandy memilih merilekskan tubuhnya."Aku tak mengapa jika kamu memilih bersikap serakah dengan diriku Sandy, aku pun tak masalah jika kamu memilih merahasiakan hubungan kita. Tapi jangan menyuruhku berhenti dengan kedekatanku bersama Rion ataupun Leon. Mereka lebih dulu ada bersamaku dibandingkan dirimu. Kita hanya pacaran. Jangan memaksaku memilih diantara kalian, karena pilihanku sudah jelas ada pada mereka. Kumohon, mengertilah Sandy. Karenamu juga sehingga hubungan kita menjadi rahasia seperti ini. Tidak kah kamu menyadari bagaimana aku juga begitu cemburu dengan sahabat-sahabatmu yang hampir semuanya perempuan? Mereka yang begitu
Rion berjalan keluar kelas dengan cukup riang, pasalnya hari ini Nana begitu penurut, walaupun masih menyembunyikan banyak hal.Melewati teman-temannya dengan wajah senang, yang membuat Leon yang melihatnya ketika berada di kantin menatapnya penuh tanya karena hal tersebut.Antrian cukup panjang di penjual es blender berbagai rasa tersebut, dan itu tak masalah bagi Rion."Tumben kau sebahagia ini?"Dan Rion hanya tersenyum cerah, melebihi teriknya matahari kala itu."Ya ampun, berhenti berteka teki seperti itu! Kembar bukan berarti aku bisa mengetahui isi otak dan hatimu!" Kali ini Leon dibuat jengkel oleh saudara kembarnya tersebut.Leon melepas kacamatanya yang berembun, mengelapnya, kemudian menaruhnya kembali di wajahnya."Terserah padamu saja, oh, dan bawakan aku es rasa bluberi yah. Aku tunggu di kelas!" Dia menyerah untuk bertanya walaupun dia sangat ingin tahu. Percuma saja, lagi pula pada akh