Setahun lalu."Saya terima nikahnya Widia Afridia Sukma binti Rahadian dengan mas kawin perhiasan emas dua puluh lima gram dibayar tunai.""Sah!" "Alhamdulillah. Allahu Akbar!" ucap Ayah bersama semua yang hadir. Aku langsung sujud di kamar pengantin, sebagai tanda syukur telah sah menjadi istri dari Zaki Indra Rahmadian. Selang beberapa menit kemudian, Ayah masuk membawa buku nikah."Tanda tangani ini dulu, Nak." Ayah menyerahkan buku nikah dengan tangan yang gemetar. Ada kristal di dua matanya yang susah payah ia tahan. Aku meraih buku itu dan menandatanganinya. Mas Zaki yang ikut masuk dan berdiri di belakang Ayah, kini melangkah mendekat. Ia juga memegang buku nikah yang sepertinya sudah ditandatangani.Lelaki itu kemudian memberikan punggung tangannya untuk kukecup. Kulit kami sama-sama terasa dingin. Untuk sesaat masih terpaku saat ia melepaskan tangannya dan menggapai kepalaku lalu mengucapkan sebaris doa. Ada getar di dada saat ia kemudian mencium keningku. Tak lama. "Teri
Ia terkejut dan langsung menurunkan tangannya yang memegang ponsel, lalu berbalik."Wid? Sejak kapan kamu bangun?" Aku diam sambil merapikan rambut yang berantakan. Mas Zaki mendekat lalu duduk di sampingku. Aroma khasnya yang menenangkan langsung menyergap hidungku."Kenapa? Mimpi buruk?"Aku menggeleng. "Kemarilah."Ia merengkuh tubuhku dan membawa ke pelukannya. Mengusap rambutku berulang kali. Gerakannya yang lembut, dan detak jantungnya yang teratur ternyata menyalurkan rasa hangat dan nyaman ke seluruh tubuhku. Hingga rasa kantuk itu kembali datang.Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ia berkata lirih."Aku berharap bisa membahagiakanmu, Wid. Suatu hari, jika aku menyakitimu, pergilah. Namun, aku tak akan pernah pergi, seberapa besar pun sakit yang akan kau berikan."Suaranya terdengar sangat jauh, kemudian hilang saat aku benar-benar terlelap. ***Aku tak pernah bertanya dengan siapa ia bertelepon malam itu. Juga tentang ucapan Mas Zaki yang menjadi pengantar tidurku
Aku membuka galeri di ponsel. Sengaja chat dengan Fina sudah kuhapus setelah menyimpan nomor permpuan itu dalam kontak handphone. Foto yang dikirimkannya masih tersimpan, dan kini kutunjukkan pada Mas Zaki. "Ini," ujarku menunjukkan foto itu. "Mas kenal dia?"Mas Zaki mengambil ponselku. Ia memperbesar tampilan foto yang terpampang di layar dengan mimik wajah terlihat natural. Tak kulihat ekspresi yang dibuat-buat. Sedetik berikutnya Mas Zaki menggeleng. "Aku nggak kenal. Mungkin temannya Laras.""Mas beneran nggak kenal?""Nggak, Sayang. Buat apa aku bohong?"Mata itu, bicara jujur. Tak kutemukan dusta di kedalamannya. Memangnya apa yang aku harapkan? Bahwa Mas Zaki mengenal dan bahkan punya hubungan dengan perempuan itu? Tidak. Aku tak akan pernah sanggup mendengarnya. Kurasakan lengan kekar Mas Zaki merengkuh bahuku, membawanya ke dalam dekapan. "Kenapa? Kamu curiga sama aku? Karena kamu nemu bubur bayi dan segala macamnya di rumah Ibu?"Aku tak menjawab. Ada yang perlahan mend
Di tengah pikiran yang resah, aku kembali mengirim pesan. "Aku izin ke ke salon, ya."Sejak awal menikah, aku selalu izin padanya saat hendak keluar rumah. Biasanya aku akan menunggu hingga mendapat jawaban. Kali ini tidak. Karena tak yakin ia akan cepat membaca pesan itu, aku langsung pergi setelah bersiap. Sebelum memesan taksi online, aku menelepon Seva. Sahabatku sejak di bangku kuliah itu memiliki tempat perawatan kecantikan yang cabangnya sudah tersebar di banyak tempat. Di Jakarta bahkan ia sudah membuka enam cabang. Seva langsung menjawab di dering pertama. Suaranya terdengar renyah seperti biasa. Wanita itu tak berubah."Hai, cantik. Udah lama nggak muncul. Gue lagi di Cilandak, nih.""Oke, aku ke sana sekarang, ya.""Serius? Perawatan atau mau ketemu gue doang?"Aku tertawa."Sekalian, lah. Kalau mau perawatan doang, mending aku ke tempat kamu yang di Bintaro. Lebih deket dari rumah."Seva yang tertawa kali ini."Oke. Gue tunggu, Widia Sayang."Bergegas aku membuka aplik
Setelah keduanya menghilang di balik pintu, aku menyeberang jalan dan mulai memasuki pelataran parkir samping bakery. Sengaja kupilih sisi yang lain agar tak langsung terlihat oleh Mas Zaki. Masuk dari bagian samping yang difungsikan sebagai coffee shop, membuatku lebih mudah mengawasi bagian dalam bangunan itu.Tak banyak pengunjung di sana, sehingga hanya sebagian meja yang terisi. Aku mengedarkan pandang sejenak, mencari sosok Mas Zaki dan perempuan yang dibimbingnya masuk ke tempat ini. Tepat saat mataku mencapai sisi kiri bakery, dua orang itu terlihat duduk di salah satu meja yang nyaris menempel dengan jendela. Aku segera mengambil posisi duduk yang agak tersembunyi dari mereka. Saat ini Mas Zaki sedang berbicara serius dengan perempuan di depannya. Keduanya tampak tegang. Mereka seperti dua peserta debat terbuka yang saling ngotot mempertahankan argumen masing-masing. Bedanya, Mas Zaki dan perempuan itu menahan volume suara mereka, sehingga tidak semua pengunjung di tempat i
"Hai, Fri! Kamu lihat apa, sih?""Eh, i-itu ... ng-nggak, kok. Bukan apa-apa. Udah berapa lama main di bisnis ini, Ar?""Hadeuh. Kamu kayaknya lagi banyak pikiran, ya? Tadi aku bilang kalau mulai mencipta mainan ini setelah kamu pergi. Berapa lama berarti?"Satu tahun?""Tepat, Sayang.""Ar ....""Ups, maaf. Gimanapun aku memang masih sayang sama kamu. Sampai lupa kalau yang di depanku ini istri orang."Pelayan berbaju cokelat menginterupsi kami. Ia membawakan pesananku. "Bill-nya, Mbak?" tanyaku.Arsi memberikan kode dengan tangannya, membuat pelayan itu justru berbalik meninggalkan kami. "Kamu gratis kalau makan dan minum atau belanja di sini saat ada aku.""Jangan gitu, Ar. Bisnis tetaplah bisnis. Jangan dicampur aduk dengan pertemanan.""Siapa bilang kamu temanku?""Lalu?""Maunya jadi apa?"Aku tahu ke mana arah bicaranya, sehingga malas menanggapi. Ujung mataku kemudian melihat pergerakan di meja Mas Zaki. Sepertinya mereka akan pergi. Sebuah ide yang bisa jadi akan membawa ma
Pertama kulihat sosok perempuan itu melangkah keluar. Di belakang tampak Laras menyusul, lalu Mas Zaki dan ibu mertua yang sedang menggendong bayi di tangannya. Aku mengerjapkan mata, mencoba menahan agar kaca-kaca tak luruh berubah menjadi aliran panjang di pipi. Di kananku, Arsi menekan shutter kamera beberapa kali, lalu mengembalikan benda itu ke dalam tas. Sejenak ia menatapku."Masih sanggup melanjutkan?"Aku mengangguk. Di depan sana mobil Mas Zaki mulai keluar dari halaman. Arsi bersiap. Tak lama kami sudah meluncur di jalan dan mengikuti mobil suamiku. Pantas saja semua panggilanku tak dijawab. Demikian pula pesan yang terkirim belum terbaca satu pun. Rupanya Mas Zaki sedang sibuk dengan perempuan lain. Aku tak tahu, apakah masih penting mengikuti mereka saat ini. Bukankah sudah jelas bahwa Mas Zaki bersama perempuan itu dan bayinya? Bayi mereka. Makhluk mungil yang aku inginkan lahir di tengah pernikahan kami, ternyata suamiku sudah mendapatkannya lebih dahulu. Dari peremp
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nama Mas Zaki tertera di layar. Sepertinya ia sudah membaca semua pesanku. Mungkin saat ini suamiku itu sudah di kantor. Aku mengabaikan panggilannya dan memilih mematikan ponsel. "Suamimu?" tanya Arsi saat kami sudah keluar dari lift. Aku mengangguk sambil menyaksikan tangan Arsi membuka pintu unit apartemennya. Ia mempersilakan aku masuk. Sekali lagi aku tahu ini salah. Tak sepatutnya dua orang yang bukan mahram berduaan dalam satu rumah. Apalagi statusku yang sudah menikah dan menjadi istri orang lain. Namun, kemarahan dan luka membuatku tak peduli. Toh kami tak melakukan apapun di sini. Aku hanya butuh menjauh sejenak dari Mas Zaki untuk beberapa saat, sebelum siap menghadapi semuanya dan membuat keputusan."Ada dua kamar tidur di sini. Istirahatlah. Kamu pasti lelah. Ambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk istirahat, Fri."Aku menatap lelaki berbibir tipis itu. Sesaat aku mengangguk dan melangkah menuju kamar yang ditunjuk Arsi. "Fri ...."Aku s