“Aku kesiangan!” teriak Ara sambil melonjak dari sofa.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu benar-benar heboh sendiri. Ia berlari ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi dan mencuci muka saja. Tidak ada waktu untuk mandi.“Gawat! Gawat! Padahal hari ini mau ke kantor!” gumamnya sambil menyisir rambut di depan cermin.Setelah semua selesai, Ara langsung bergegas menuju kendaraan putih milik suaminya di garasi, lalu mengendarainya untuk pergi ke kantor.“Malah kesiangan! Padahal hari pertama aku balik ke kantor! Duh, dasar!” gerutu Ara.Saat masih mengendarai mobil, ponselnya berbunyi. Langsung ia sambar dan menempelkannya di telinga.“Hallo, Ma. Ada apa?” sapa Ara bertanya. Ternyata mertuanya yang menghubungi.Ibu mertuanya hanya memastikan bahwa Ara sudah sarapan dan berpesan agar tidak perlu mampir ke rumah sakit.“Iya, Ma. Ara nggak mampir. Paling nanti malem ke sana, maaf merepotkan,” jawab Ara.Setelah itu, panggilan diakhiri.“Ya ampun, kirain mas Fery
“Ria? Ba-bagaimana Anda ....” Ucapannya menggantung di udara. Dalam sepersekian detik dirinya masih mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Erik.Tiba-tiba, pikirannya kembali mengingatkan akan sebuah amplop putih yang sudah ia terima dari orang misterius.“Ka-kamu si pengirim foto dan surat itu?!” ucap Ara setengah berteriak. Tangannya refleks mengacung kepada laki-laki itu.“Shuuut. Jangan sampai sekretarismu tahu,” bisiknya sambil tersenyum.Ara terbelalak. Spontan mulutnya ditutup rapat refleks menuruti perkataan Erik. Ternyata tebakkannya benar, dan wanita itu sungguh syok bukan main.“Siapa kamu sebenarnya!?” gertak Ara kemudian setelah bisa menyadarkan diri dari keterkejutan yang menyerang.“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Jelasnya, saya mau kita bisa bekerja sama. Bukankah kamu sangat butuh uang investasi ini?” ucapnya sambil menyimpan berkas putih di meja.Ara memandang berkas itu, tetapi nuraninya memaksa ia untu terpejam beberapa detik. Benar, dirinya memang but
“Sampai kapan kamu akan terbaring koma, Mas?” Kata-kata itu menyerbu pikiran Ara. Ia berdiri menatap hujan yang turun dengan derasnya sambil menunggu sekuriti jaga yang tadi menawarkan diri untuk membawakan mobilnya dari area parkir.“Belum pulang?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Ara, dan berhasil membuatnya hampir jantungan.Ara kaget bukan main. Di malam yang terguyur hujan itu, Rangga muncul tanpa disadari Ara.“Mas Rangga! Kaget tau!” pekik Ara seraya memukul lengan lelaki itu.“Kaget? Saya nanya, loh. Bukan ngagetin,” sahutnya diiringi tawa.“Iya, tapi cara nanya-nya bikin aku kaget!” protes wanita berambut hitam itu tak mau kalah.Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil masih tertawa.“Maaf, deh,” ucapnya simpel. Membuat Ara gemas, ingin sekali ia menjitak kepalanya.Namun, semua ia tahan. Meski Rangga sekarang masih sama, tetapi sekarang jalan mereka sudah berbeda. Laki-laki itu bukan lagi pemilik hatinya. Ara sadar bagaimana harus bersikap. Apalagi
Hujan di luar semakin deras, membuat Ara semakin merasakan dingin hingga menusuk tulang.Dalam situasi itu, hatinya tambah sedih saja. Teringat Fery yang biasanya akan memeluk erat kalau ia sedang kedinginan.Dulu, sebelum kisah mereka hancur berantakan tentunya. Jika saja Ara boleh jujur, ia kini merindukan kembali masa-masa indah itu. Ia ingin semua kembali seperti semula.“Mas, aku akan memaafkan kamu untuk kali ini. Jadi, tolong segera sadarlah. Ayo kita mulai lagi semua dari awal.”Di tengah isakkan tangisnya Ara berkata lirih. Tangannya kiam erat menggenggam tangan Fery penuh harap.Namun, sayangnya harapan Ara belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Dan ia hanya bisa terus berdoa dan berdoa tanpa henti, meski sejatinya hati begitu lelah menghadapi kenyataan yang amat pahit.“Mas, kumohon ....” Ara mengangkat tangan Fery, menaruhnya di pipi kiri sambil terus mengusap dengan jemari.Semakin Ara berharap, semakin besar pula sakit yang mendera hati. Ara tak bisa menghentikan ta
“Bu, apa masih merasa tak enak badan?” Mirna menanyakan kondisinya usai rapat.Bukan tanpa alasan. Mirna begitu khawatir ketika melihat wajah Ara memucat, bahkan tampak lebih pucat lagi di penghujung acara rapat.“Aku tidak apa-apa, Mirna.” Meski sebenarnya pusing masih berdenyut-denyut di kepala, Ara masih mencoba untuk menguatkan diri dan tak mau merepotkan sekretaris suaminya karena hanya khawatir pada keadaannya.“Ibu Ara yakin? Mau saya antar ke rumah sakit?” tawarnya serius.Ara gegas menggeleng.“Tidak apa-apa, Mir. Aku baik-baik saja. Setelah istirahat sebentar nanti juga akan lebih membaik. Terima kasih sudah memperhatikan. Sudah, ayo kembali bekerja. Pekerjaan kita tidak boleh terhambat karena aku seorang,” ucapnya. “Tapi, Bu ....”Ara menepuk bahunya. Bibir itu tersenyum lebar seakan-akan masalah kesehatannya sama sekali bukan suatu hal serius untuk diperhatikan. Wanita itu lebih memilih pergi menuju ruangan kerjanya dari pada mendengar kekhawatiran sekretarisnya.Akan tet
Baru saja semalam Ara bisa bernapas lega, setelah mendengar kabar bahwa Fery akan segera sadar. Kini, hatinya dilanda kecemasan kembali, bahkan lebih besar daripada sebelumnya.Sosok Fery yang baru terbangun setelah hampir tiga hari koma kini dinyatakan mengalami keadaan LIS (Locked-in Syndrome) oleh dokter yang menanganinya. Pikiran lelaki itu ada dalam kesadaran penuh, tetapi tidak dapat berkomunikasi sama sekali.Seluruh tubuh mati rasa. Meski begitu, indera pendengarannya tetap berfungsi, sehingga otaknya masih bisa merekam memori saat ini lewat indera pendengaran.Bagi sosok Fery, hidupnya kini telah terjebak dalam kematian saja. Meski bernapas dan sadar secara pikiran, lelaki itu kehilangan sensitifitas rasa di tubuhnya. Satu-satunya yang bisa digerakkan hanyalah mengedipkan mata.“Aku ngak tau harus gimana sekarang, Mas. Sekarang, rasa benci pun terkalahkan dengan simpati,” ucap Ara pelan.Fery hanya bisa mendengarkan Ara berbicara tak berdaya. Kelopak matanya saja yang berkedi
“Setelah dilakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, hasil sementara menunjukkan tanda-tanda vitalnya membaik. Tapi, saya tidak bisa menjamin atau menjanjikan kesembuhan meski kami selaku tim medis telah melakukan yang terbaik bagi putra Anda.”Sepasang mata wanita separuh baya itu mulai penuh dengan gumpalan air mata yang siap meluncur. Ia pikir bukankah kesadaran Fery adalah suatu berita baik? Lantas, mengapa di hari-hari berikutnya dokter berkata sesuatu yang tak jelas.“Maksudnya, Dok?” Sedikit serak tanya itu keluar dari mulutnya.“Maaf, kami tak bisa berbuat banyak. Untuk membantunya keluar dari masa sulitnya ... itu sangat mustahil. Melihat peralatan medis kami begitu terbatas, dan—”“Langsung saja katakan apa yang harus saya lakukan! Saya tidak mau membuang banyak waktu begini!” Bu Asti teramat emosi.Tak hanya pikirannya yang digrogoti ketertekanan mental, tetapi dirinya sungguh serasa diguncang hebat. Baru saja lepas dari kegelisahan yang terasa tak berkesudahan, ia kembali d
Vina duduk di tepi ranjang tempat Fery kini terbaring. dirinya memijit-mijit kaki kakaknya. Saat ini Ara masih berjaga seperti biasa.“Nanti mama akan ke sini, Mbak. Jadi, Mbak bisa fokus bekerja di kantor. Jangan sampai pikiran Mbak Ara terbebani. Oke? Aku yakin, mas Fery juga pasti nggak mau liat Mbak Ara kecapean.”“Makasih Vin, tapi mama bukannya lagi sakit, Vin?”“Sudah baikan, kok. Lagian kayak enggak tahu mama aja gimana. Mama enggak pernah betahan di rumah dan enggak bisa diam orangnya.”Ara tersenyum. Benar apa kata Vina, ia juga tahu itu.“Jadi Mbak enggak perlu khawatir dan fokus saja seperti kataku tadi. Semangat kerjanya, ya!”“Iya, Vin. Makasih, ya.”Vina hanya tersenyum kala menyahuti perkataan kakak iparnya itu. Setidaknya, sebagai seorang adik yang berbakti, ia bisa merawat Fery meskipun hanya sesekali.“Ya sudah, Mbak. Bukannya mau kerja?” tanya Vina pada Ara. “Iya, tapi udah siang ini. Gak akan sempet mandi, kayaknya.” ujar Ara.Vina menyodorkan tas berisi setelan