“Kau belum tidur?” tanya Nod.
“Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.”
“Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela.
Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu.
“Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela.
Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil.
“Kau serius?” tanya Fibrela.
“Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod.
“Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela.
“Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Luxavar 1 sampai di sini dulu. Tunggu kelanjutannya di tahun depan. Selamat tahun baru!
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
55-08-79Setitik cahaya samar-samar berpendar di tengah samudera yang gelap. Sinar redupnya bergerak perlahan menepis lembaran air yang beriak tenang. Benda bundar yang menimbulkan cahaya tadi bukan kapal atau mercusuar, melainkan sebuah bola kaca dengan ruang kecil di bagian dalamnya. Berkas cahaya kebiruan itu terpancar dari sekeliling lengkungan kaca di bagian bawah bola tersebut.Seorang gadis kecil berdiri di bagian dalam bola tadi. Kedua tangannya sibuk menggeser panel di hadapannya. Papan tipis berisikan sejuta kode itu merupakan alat kemudi benda yang dikendarainya. Namanya Fibrela Greinthlen. Matanya yang bulat besar dan dagunya yang tirus menatap suasana lautan dengan saksama. Jemarinya mengetuk tepi panel sambil sesekali menoleh ke pemandangan di balik kaca.Di sampingnya, berdiri pria tua dengan jenggot pendek kelabu memenuhi dagu dan rahang atasnya. Pandangannya lurus tak peduli akan kesibukan yang tengah dikerjakan ga
34-06-81Semilir angin berembus lembut membujuk Nod untuk beralih dari renungan panjangnya. Meski begitu, dia enggan melepas kenangan itu. Perjalanan panjang yang telah dilaluinya akan selalu membekas di sana. Mengukir hingga ke relung hati yang paling dalam. Lembut nan pasti, bayangan akan wajah mereka kian memudar bersama kabut. Membumbung tinggi dan menyatu bersama gumpalan awan.Nod duduk seraya menyalakan dua lilin di atas potongan kue tart mungil yang berwarna jingga, menjaganya dengan telapak tangan agar cahaya tersebut tak padam ditepis angin kencang. Lalu dia mulai membuka kotak kayu di sampingnya. Menarik dua lembar kertas yang telah berisi barisan pesan di dalamnya.Hania yang manis,Selamat ulang tahun. Semoga ulang tahunmu kali ini membuatmu semakin bahagia. Tetaplah menjadi anak yang baik, Hania. Jaga ibumu. Ayah merindukanmu.AyahUntuk R
Sudah sebulan ini Nod menyantap roti tawar dengan jenis yang sama. Rasa manis kian hari kian berkurang. Namun dia tidak punya pilihan. Makanan itu akan membuatnya bertahan sepanjang hari. Persediaan makanan mereka tidak akan cukup jika kapal ini belum berlabuh dalam dua hari ke depan. Ada tiga puluh kru kapal yang juga bernasib sama dengannya. Itu bukan hal terburuk yang mereka khawatirkan saat ini.Nod menyusun surat yang hendak dilemparnya lagi ke laut hari ini. Itu surat ketiga puluh yang akan dikirimnya melalui botol kaca. Semakin dia risau, semakin rutin pula dia mengirimi surat tersebut.Likos berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir kopi panas dan sepotong roti bakar. Asap dari cangkirnya mengepul memenuhi dek kapal. Fokus Nod sedikit teralihkan oleh aroma kopi yang harum tadi terendus olehnya.“Kau tidak mau keluar melihat pemandangan di luar?” tanya Likos sambil menyelipkan sepotong roti di antara bibirnya.“Hanya ada air
Cahaya putih kekuningan memenuhi pandangan Nod. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku. Mungkin sudah seminggu atau sebulan dia tidak sadarkan diri. Tulang belulangnya seakan baru dicopot lalu disambungkan kembali. Jiwa dan raganya bagaikan bereinkarnasi ke dalam siklus hidup yang baru. Dia tak tahu sekarang berada di mana dan pada masa apa. Pakaiannya telah diganti. Semua yang ada di tangannya telah di buang—sepertinya.Di mana ini? Secercah cahaya hangat dan menyilaukan menerpa wajahnya. Sumber terang tadi berasal dari langit-langit di atas tempat tidur Nod. Dia mengerjap penuh tanya. Kebingungan merasuki benaknya. Matanya menjelajahi setiap sisi ruangan yang tak bersudut tersebut. Ranjang yang tengah ditempatinya hanya berupa mangkok dengan kasur empuk bundar melapisi sisi dalamnya.Tempat ini sangat asing bagi Nod. Seluruh benda yang ada di dekatnya belum pernah dilihat Nod di belahan dunia mana pun. Nod tak berani berspekulasi. Dia mencoba mencari tahu
Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.“Siapa kau?” “Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.“Oh ya,
Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No
Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan