Sudah sebulan ini Nod menyantap roti tawar dengan jenis yang sama. Rasa manis kian hari kian berkurang. Namun dia tidak punya pilihan. Makanan itu akan membuatnya bertahan sepanjang hari. Persediaan makanan mereka tidak akan cukup jika kapal ini belum berlabuh dalam dua hari ke depan. Ada tiga puluh kru kapal yang juga bernasib sama dengannya. Itu bukan hal terburuk yang mereka khawatirkan saat ini.
Nod menyusun surat yang hendak dilemparnya lagi ke laut hari ini. Itu surat ketiga puluh yang akan dikirimnya melalui botol kaca. Semakin dia risau, semakin rutin pula dia mengirimi surat tersebut.
Likos berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir kopi panas dan sepotong roti bakar. Asap dari cangkirnya mengepul memenuhi dek kapal. Fokus Nod sedikit teralihkan oleh aroma kopi yang harum tadi terendus olehnya.
“Kau tidak mau keluar melihat pemandangan di luar?” tanya Likos sambil menyelipkan sepotong roti di antara bibirnya.
“Hanya ada air laut di luar sana,” jawab Nod.
“Hei, kau masih saja menulis surat itu ya?” tanya Likos. “Boleh aku baca?”
Tanpa disetujui, Likos langsung menarik salah satu lembaran surat yang sudah diukir dengan apik di hadapan Nod.
“Likos, kembalikan!” Nod menggertak kesal.
Likos tak segan berlari keluar dek dan memelesat ke arah buritan kapal. Angin kencang bertiup menerpa surat tadi. Sebelum Nod sempat meraihnya, angin kencang itu sudah membawa lembaran kertas tadi menjauh.
Tiba-tiba, kapal besar yang mereka tumpangi berguncang hebat. Gemuruh ombak terdengar seperti auman harimau yang tengah dibantai. Begitu mengerikan dan mencekam. Semua awak yang berdiri di sekitar mereka langsung tertunduk saat gelombang keras itu menerjang lambung kapal.
“Ombak ini tidak alami, mereka seakan memburu sesuatu,” ujarnya sambil memandang ke gulungan ombak yang melaju pesat mengempas dinding kapal.
Roti bakar yang masih terselip di antara geligi Likos basah kuyub oleh percikan air laut. Meleburkan makanan itu menjadi bubur yang terasa asin. Sekujur tubuhnya diselimuti air sekarang. Dia tidak sempat menyeka air yang menerpa kedua matanya ketika hantaman gelombang kembali menerpa selasar kapal tempatnya berdiri, membuat seluruh dek kini terendam air.
“Kita harus pergi, Likos!” ujar Nod masih tercengang dengan kedasyatan gelombang air laut di belakang mereka.
“Pergi ke mana? Kita di tengah laut, Nod!” tukas Likos separuh memekik.
Kapal tersebut masih melaju membelah lapisan air yang bergelombang, sementara badai bergemuruh mengolok mereka dari belakang. Seluruh awak mencari pelindungan di anjungan kapal. Likos menarik tangan Nod memaksanya untuk ikut masuk ke dalam.
Ketika Nod hendak menyerah mengejar surat yang ditulisnya untuk Regan, surat tadi terbang ke hadapannya. Angin kencang menggesernya hingga ke tepi buritan. Tiang kapal menahan kertas surat itu. Nod kembali melangkah berusaha meraih benda tadi.
“Nod!” pekik Likos. “Kau gila! Jangan ke sana!”
Badai bergelung mendesak tubuhnya dari geladak kapal menuju ke laut lepas. Nod menembus udara dingin dan dengan tergopoh dia mendekati tiang buritan tadi. Tepat ketika jemarinya menyentuh kertas berisi surat, entakan gelombang menerjang dari arah belakang. Kapal yang masih melaju kencang makin oleng.
Nod berupaya mempertahankan dirinya pada tiang besi. Gelombang ganas mengaum di telinga Nod. Laut itu seakan terlalu lapar dan berharap bisa menyantap Nod sebagai mangsanya. Tangannya masih berpegang erat di tiang kapal. Air laut membasuh tubuhnya hingga satu-satunya pertahanan dia semakin lemah. Likos membantu mengulurkan tali padanya, tapi tiupan angin dan pusaran air menepis tubuhnya dari besi penyangga. Tubuhnya memelesat keluar dari kapal. Dengan kekuatan gelombang yang maha dasyat itu, genggaman Nod terlepas. Angin mengempas tubuhnya masuk ke dalam perut samudera.
Nod tidak yakin apakah ini delusinya atau memang dia sudah hipoglikemia setelah seharian tidak makan. Dia seolah mendengar sang laut terus merayunya untuk masuk ke dalam lautan. Wajahnya—Regan—melayang bersama bulir air laut yang gelap. Kedua tangannya menjadi lidah-lidah ombak yang terus menepuk bahunya. Mengalirkan serangan yang kian menyeretnya ke dalam air.
Hanya seperempat detik waktu yang diberikan bagi Nod sebelum gelombang hitam itu menyantapnya dalam corong air laut. Namun dia gagal. Dia melihat bayangan itu lagi. Melihat bayangan uluran tangan istrinya dari permukaan laut yang berteriak padanya. Dia bisa merasakan Regan memanggilnya dari bawah sana. Hingga akhirnya, Nod melepas jemarinya dari tiang kapal dan mengikuti arus gelombang itu. Mengunyahnya bulat-bulat masuk ke dalam perut samudera.
Nod bisa merasakan pembuluh darahnya mulai pecah menahan air yang membeku itu. Lidahnya tergelitik oleh rasa asin yang pekat. Tubuhnya seperti diimpit setumpuk es batu. Tidak ada jatah udara bagi paru-parunya. Air laut juga mengosok-gosok matanya dengan butiran garam. Pandanganya kabur. Dia terombang-ambing tak tentu arah. Tidak bisa berenang karena ombak di sekelilingnya terus menerkamnya seperti naga yang mengamuk. Tubuhnya kembali tersedot semakin dalam.
Gemuruh air mendorongnya hingga terempas ke dasar laut. Nod dapat melihat dan merasakan tubuhnya meronta karena kekurangan oksigen. Paru-parunya menjerit tak tertahankan. Dia tahu tidak ada gunanya terus bergerak. Hal itu hanya akan menguras tenaganya.
Sebelum Nod menyadari kematian yang kian dekat, tubuhnya membentur sesuatu di tengah laut. Kenapa dia begitu cepat sampai di dasar laut? Apakah laut ini benar-benar sedangkal ini?
Nod kandas di permukaan laut yang rata, tapi itu bukan tanah atau karang. Permukaannya licin seperti terbuat dari lapisan lilin. Tidak ada anemon maupun terumbu karang yang biasanya muncul di dasar laut. Bukan juga ikan hiu atau ikan besar lainnya. Hanya ada dasar permukaan laut yang gelap. Bahkan Nod bisa mendengar hentakan molekul air yang saling bertumbrukan satu sama lain. Nod menyentuh lapisan itu. Lapisan itu licin dan transparan karena Nod mampu melihat sesuatu yang ada di baliknya.
Oh, itu adalah kaca! Ia yakin itu adalah kaca setelah dia berhasil menggosok pasir dan melihat pemandangan aneh dari balik kaca itu. Ada gambaran kehidupan di sana. Ada gumpalan seperti awan berwarna ungu, dan di sela-selanya, berterbangan beberapa benda seperti burung. Terlihat pula bangunan tinggi yang menjulang, hamparan bukit dan pohon. Nod berpikir mungkin ia telah mati dan sedang terbang melewati langit melihat dunia di bawahnya.
Di tengah pikiran yang kalut, dia sadar sudah memandang sebuah kehidupan. Ya, kehidupan manusia yang berada di bawah laut!
Nod membeku sejenak. Jelas dia tidak mengerti dengan apa yang tengah diliihatnya.
Paru-parunya menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Tidak ada udara yang bisa dihirup. Sekarang dia menyadari betapa bahagianya jika dia bisa berubah menjadi ikan lepu yang beracun sekalipun. Dengan insang dia bisa bertahan berjam-jam di sana.
Otaknya tetap berputar keras walau tak bisa melakukan apa pun. Tenaganya telah terkuras hingga tak bersisa. Kedua kaki tangannya terus mengayuh mengarahkan tubuhnya kembali ke permukaan, tapi gerakan air tadi malah mendorongnya semakin ke dasar. Dia sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi. Seluruh rongga parunya nyaris dipenuhi air laut.
Perlahan-lahan pandangannya kabur. Sebelum dia bisa mengatubkan kedua matanya, cahaya terang melayang mendekatinya. Cahaya itu berasal dari sebuah benda seperti bola kaca. Nod tak bisa melihat lebih lama benda tadi. Dia bahkan tak sanggup menolak benda bercahaya tadi menarik dirinya masuk ke dalam gelembung kaca tersebut.
Sosok gadis kecil berdiri di tengah benda tadi. Dia menarik tubuh Nod dari arus air yang terus menyeretnya menjauh. Tubuh Nod berhasil ditarik memasuki bola kaca dan seketika genangan air terisap keluar menyisakan udara dingin yang kering.
Nod sudah tak lagi bisa mengingat apa yang tengah dilakukan anak kecil tersebut. Matanya terpejam sepenuhnya. Tangan-tangan kecil tadi masih sibuk menyadarkan Nod dari tidurnya. Namun Nod tak kuasa tetap terjaga setelah sekian lama menahan napas. Air laut tersembur keluar dari mulutnya saat gadis kecil tadi menepuk punggungnya dengan sangat keras. Nod tersedak dan kembali jatuh pingsan saat menyadari dirinya berhasil selamat.
Cahaya putih kekuningan memenuhi pandangan Nod. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku. Mungkin sudah seminggu atau sebulan dia tidak sadarkan diri. Tulang belulangnya seakan baru dicopot lalu disambungkan kembali. Jiwa dan raganya bagaikan bereinkarnasi ke dalam siklus hidup yang baru. Dia tak tahu sekarang berada di mana dan pada masa apa. Pakaiannya telah diganti. Semua yang ada di tangannya telah di buang—sepertinya.Di mana ini? Secercah cahaya hangat dan menyilaukan menerpa wajahnya. Sumber terang tadi berasal dari langit-langit di atas tempat tidur Nod. Dia mengerjap penuh tanya. Kebingungan merasuki benaknya. Matanya menjelajahi setiap sisi ruangan yang tak bersudut tersebut. Ranjang yang tengah ditempatinya hanya berupa mangkok dengan kasur empuk bundar melapisi sisi dalamnya.Tempat ini sangat asing bagi Nod. Seluruh benda yang ada di dekatnya belum pernah dilihat Nod di belahan dunia mana pun. Nod tak berani berspekulasi. Dia mencoba mencari tahu
Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.“Siapa kau?” “Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.“Oh ya,
Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No
Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan
Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te