“Bapak,” lirih Rena yang langsung duduk di sebuah kursi di samping ranjang tempat Bapak berbaring.
Ia meraih tangan lelaki itu yang kini hanya tulang berbungkus kulit lalu menciumnya sekilas.“Ini Rena, Pak, anak bapak. Rena datang, Pak.” Rena membawa tangan itu menyentuh wajahnya.Anak macam apa yang tak pernah peduli bahkan sampai tak mau tahu keadaan orang tuanya. Mungkin semua cobaan dalam rumah tangga yang Rena terima selama ini adalah teguran dari Tuhan yang menunjukkan jika tak ada orang tua yang sempurna. Ada kalanya seseorang harus mengorbankan seorang anak untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri dan nahasnya sekarang ia tengah mengalaminya.Tak kuasa melihat keadaan Bapak, Rena akhirnya mengambur memeluk lelaki itu. Air matanya kini tak terbendung, dadanya terasa sesaki melihat tubuh lelaki yang dulu sering menggendongnya kini hanya bisa terbaring tak berdaya. Jangankan memandang, bahkan untuk membuka mata saja suSetelah berbicara dengan Bu Sati, akhirnya pernikahan Rena dan Huda dilaksanakan saat itu juga. Mereka menikah di hadapan Bapak dan pemuka agama yang sengaja di undang sebagai perantara sekaligus saksi pernikahan mereka. Suasana bahagia sekaligus haru menyelimuti saat para saksi mengatakan kata ‘sah’ yang berarti Rena dan Huda kini telah resmi menjadi suami istri. Meski baru secara agama, paling tidak hubungan mereka kini telah terikat. “Terima kasih, Pak.” Rena memegang tangan Bapaknya yang semakin hari semakin lemah.Rena tak kuasa menahan air matanya saat melihat lelaki itu berusaha tersenyum seolah ikut merasakan kebahagiaan yang Rena rasakan. Meski dengan pandangan kosong, namun ia tahu jika Bapaknya pasti ikut mendoakan yang terbaik untuk anaknya.“Bu, apa enggak sebaiknya Bapak kita bawa ke kota untuk berobat? Kami akan tanggung semua biayanya. Paling tidak, kami bisa membantu merawat Bapak di sana,” ucap Huda setelah semua rangkaian acara ijab qobul selesai.“Terima kasih,
“Terima kasih sudah datang.”Huda hanya mengangguk sembari menyeruput kopi yang baru saja disajikan. Di tengah kemelut hubungannya dengan Rena, ia terpaksa memenuhi undangan Gea untuk bertemu. Namun bukan berarti masih cinta, ia hanya sedang meyakinkan diri jika ia sudah tak punya perasaan apa-apa dengan mantan istrinya.“Ayo di makan,” perintah Gea yang sejak awal telah memesan udang asam manis serta cah kangkung kesukaannya.Sebagai orang yang pernah hidup bersama, Gea memang tahu betul apa kebiasaan mantan suaminya yang tak akan pernah mau makan jika tidak ditemani dan diambilkan, oleh karena itu ia sengaja mengajaknya bertemu di jam makan siang.“Di mana anakmu?” tanya Huda yang heran melihat Gea tak membawa anaknya.“Sama pengasuhnya.”“Ada perlu apa?” Huda mulai tak nyaman.“Aku ingin kembali, aku tak pernah bahagia dengan Rafi.”Huda tersenyum sinis, wanita macam apa yang baru menyadari jika ia tak bahagia setelah menikah lebih dari sepuluh tahun dan beranak dua. Yang ada dia
Rena merasa tubuhnya semakin berat setelah menikah dengan Huda. Bagaimana tidak kerjaannya yang hanya makan, tidur mau tak mau membuat berat badannya naik drastis. Tak seperti dulu saat ia selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah atau kantor yang selalu menguras tenaga, kini Rena benar-benar sedang menikmati indahnya menjadi ibu rumah tangga yang sebenarnya.“Mas, aku kerja, ya?” tanya Rena sembari mengelus rambut lelaki yang kini berbaring di pangkuannya.“Enggak!”“Tapi, Mas, aku bosen di rumah terus. Kamu enggak lihat badanku udah bengkak semua kayak gini?” Rena menunjukkan pipi dan perutnya yang berlemak.“Olahraga dong. Lagian aku suka kalo kamu gemuk.” Huda mencubit perut Rena yang kini mulai berlipat.Selalu seperti itu saat Rena meminta izin untuk bekerja. Namun ia tetap tak bisa memaksa, toh tanpa bekerja sekalipun segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Rena tak menyangka jika hidupnya akan sampai di titik ini, setelah perjuangannya menjalani hidup dan bertahan di tengah rasa
Hari-hari Bu Septi saat ini lebih banyak dihabiskan dengan duduk melamun. Wanita yang biasanya cerewet kini berubah pendiam karena terlalu memikirkan keadaan anak lelakinya yang kini mendekam di penjara. Ia seperti kehilangan setengah nyawa karena tak bisa bertemu dengan anak yang selama ini ia banggakan.“Maafkan mama, Hend,” gumam Bu Septi sembari mengusap air matanya yang menetes.Selalu seperti itu saat ia mengingat kesulitan yang sedang di hadapi anaknya. Ia merasa ini adalah karma yang harus ia terima atas semua perlakuan buruknya pada Rena dan keluarga adiknya. Berawal dari pernikahan adiknya dengan seorang lelaki yang tak lain adalah orang tua Rena. Bu Septi merasa kalah saing karena ia yang terlebih dahulu mengenal lelaki yang biasa Rena panggil dengan sebutan Bapak. Sejak saat itu, ia menganggap Bu Sati bak seorang musuh karena tega merebut lelaki incarannya.Tak hanya Bu Sati dan suaminya yang ia benci, Rena yang tak lain adalah anak sambung Bu Sati juga terkena imbasnya.
Rena menatap lekat wajah lelaki yang kini duduk tertunduk di hadapannya. Bagai penjahat yang tertangkap basah, ia sedang menunggu sebuah pengakuan dari tersangkanya. Berkali-kali Huda mendongak mencari kata yang pas untuk memulai penjelasannya“Baiklah akan aku jelaskan,” ucap Huda.“Cepat!” geram Rena.“Tespek itu milik Gea.”“Tapi katamu, kamu ... ““Tapi bukan anakku.”Kini Rena dibuat semakin bingung. Untuk apa Huda menyimpan tespek milik Gea jika itu bukan anaknya. Sebegitu terobsesikah suaminya pada mantan istrinya hingga menyimpan hal tak penting seperti itu.“Gea pernah bermain gila dengan membayar seorang lelaki untuk menghamilinya demi mempertahankan rumah tangga kami. Setelah berhasil hamil, dia mengatakan jika aku telah sembuh.”Rena hanya diam setengah tak percaya dengan pengakuan Huda. Jika itu benar adanya bukankah Gea sama saja telah melakukan perselingkuhan?“Tapi aku tak bisa percaya begitu saja lalu diam-diam memeriksakan diriku lagi dan hasilnya masih sama, aku ya
“Bisa kita bicara sebentar?” Hendri menghalangi Rena yang hendak melangkah menuju pintu mobil.“Maaf, anak-anak sudah menunggu,” jawab Rena cuek.“Hanya sebentar.”Rena mengangguk.“Aku cuma mau minta maaf atas semua kelakuanku juga berterima kasih ... ““Sama-sama, aku juga sudah maafin kamu. Maaf aku permisi.”Rena melewati Hendri begitu saja, ia tak mau anak-anaknya menunggu lama karena mamanya tak kunjung menjemput. Selain itu Rena juga masih sedikit takut berhadapan dengan Hendri secara langsung walaupun mungkin lelaki itu memang sudah berubah.Rena melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, suasana hatinya tiba-tiba kacau setelah di datangi Hendri. Kenangan-kenangan kedekatan mereka seolah melintas begitu saja di benaknya. Belum lagi kejahatan yang pernah dilakukannya sungguh membuat semuanya menjadi rumit. Pertemanan dan persaudaraan yang mereka lalui sejak masa remaja akhirnya harus kandas karena sebuah rasa bernama cinta. Andai saja semua itu tak terjadi, pasti semua tak aka
“Maafkan Huda, Nak. Terima kasih sudah menyempatkan datang.” Bu Rahmi memeluk erat tubuh Zain.Setelah mendapat kabar jika Zain pulang, Bu Rahmi yang masih berada di kantor langsung memutuskan pulang karena ia tak mau Huda terlebih dahulu menemuinya. Tapi nahasnya hal itu telah terjadi dan kejadian sama seperti sebelumnya terulang kembali.“Mama sehat?” tanya Zain lembut.“Sehat, Nak. Sudah lama sekali kamu tak berkunjung, kamu juga jarang kasih kabar.”“Zain enggak mau mengganggu Huda, Ma.”Bu Rahmi menghela nafas mengingat perseteruan anak kandungnya dengan Zain yang tak lain adalah anak angkatnya. Sejak pertama kali Zain masuk ke dalam keluarganya tepatnya saat ia lulus sekolah Dasar. Huda memang tak pernah bisa menerima Zain dalam hidupnya. Bukan karena takut tersaingi, namun asal-usul Zainlah yang membuat anak semata wayangnya berpikir ribuan kali untuk menerima orang lain sebagai saudaranya.Sebagai anak yang tumbuh dalam keluarga broken home, Huda kecil memang terbilang sangat
“Apa ini?” Danu menunjukkan benda pipih berwarna putih biru yang baru saja ditemukan di pemari pakaiannya.“Em ... itu—“ Vani menggigit bibir.“Kamu hamil?” Danu menatap istrinya penuh selidik.“Em ... itu—““Sejak kapan?”“Du-dua bulan.” Vani terus menunduk.Danu mengusap wajahnya kasar. Ia tak tahu harus merasa bahagia atau kecewa dengan kelakuan istrinya.“Kamu anggap aku apa, hah?” Danu memekik tertahan.“Apa aku orang lain bagimu? Apa aku tak berhak tahu? Bukankah itu anakku juga?” cecar Danu sembari mengguncangkan tubuh istrinya.Danu tak habis pikir mengapa Vani seolah berusaha menyembunyikan kehamilannya padahal hubungan keduanya sudah membaik sejak lama.“Bu-Bukan begitu, aku hanya takut Mas Danu belum siap menerima semua ini,” lirih Vani.“Apa kamu menganggap aku lelaki pengecut yang tak mau mengakui darah dagingku sendiri? Oke mungkin untuk kemarin aku salah, aku hanya belum siap kehilangan keluargaku tapi sekarang semua sudah berbeda. Kamu istriku dan anak yang ada dalam p