Pov 3Bara menghela napas panjang, lalu melirik ke arah Jingga. Setelah itu gegas beranjak dan mengajak Jingga keluar dari kamar Mama. Ya, di kamar itulah setiap hari Mama menghabiskan waktu. Pekerjaannya hanya menangis dan meratap. Sikapnya yang biasanya dominan, kini tak ada lagi. Sikap angkuhnya yang dulu sudah menghancurkan mimpi Bara untuk hidup bersama Jingga, kini sudah hancur lebur bersama keputusan pahit dari Papa. Lelaki itu lebih memilih istri mudanya. “Makasih, Jingga.” “Sama-sama.”“Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Bara mengusap wajah dan menghentikan ucapan. Sengaja, ingin melihat reaksi Jingga. Beribu kali sudah ikhlas. Bara tak semudah itu move on … nama Jingga masih memenuhi relung istimewa dalam kalbunya.Bara menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Masih saja terkenang, padahal perempuan di depannya sudah jadi istri orang. Bahkan Jingga tampak sudah bahagia. Mungkin tak ada lagi sedikitpun tentang Bara tersisa dalam benak memorinya.Ada rasa
Pov Bu FeraAku pun hendak membuka paket itu ketika Mang parmin kembali muncul, “Paketan lagi, Mang?” Lelaki dengan kaos partai warna kuning itu terkekeh, “Bukan, Bu! Itu ada tamu.” Mang Parmin bicara . “Tamu?” “Iya, Bu! Perempuan! Katanya mau ketemu Ibu.” Aku urung membuka paketan yang dibeli Banyu. Lekas bangun dan mengikuti langkah Mang Parmin ke arah luar. Daun pintu terbuka ketika tampak seorang perempuan dengan dress selutut dan rambut digerai tengah berdiri di teras. Dia tampak tengah mengedarkan pandangan ke sekitar rumah dengan matanya yang tampak sembab. “K--Karissa?” Suaraku tersekat. Terdiam sejenak. Ini seperti mimpi. “M--Mama? Mama sehat?”Dia tersenyum dan berhambur memelukku. Aku bergeming. Kuusap punggung lembutnya. Lebih dari sepuluh tahun, bukanlah waktu yang singkat. Selama itu juga aku mencoba mengobati rasa sesak. "Mama sehat, Risa! Mama sehat.” Aku sekuat tenaga menahan agar air mata ini tak tumpah. Harusnya, harusnya aku bahagia. Dia akhirnya kembali se
“Ma, tadi di ruang tengah ada perempuan! Dia siapa?” Aku melirik ke arah Mama dan Jingga. Ya, aku pun tadi terlupa jika ada Mbak Karissa. Rasa panik mendengar teriakan jingga membuatku mengabaikan dia. Dia, yang sudah membuat Mama murung selama beberapa tahun lamanya. Kukira dia tak akan kembali. Bahkan satu lebaran sekali pun tak pernah dia datang. “Ah iya, nanti Mama kenalkan ke kamu. Dia hmmm … kakaknya Banyu.” “Mas Banyu punya Kakak?” tanya Jingga lagi disela rint*hannya. Kini dia sudah terbiasa memanggilku, Mas. Tapi hanya di depan Mama saja. Kalau berdua, bertahan dengan sebutan Papa. Gak apalah, setidaknya gak terlalu kaku seperti awal-awal. “Ceritanya panjang! Biar nanti-nanti saja Mama jelaskan!” “Huuu! Huuu! Iya, Ma.” Jingga menjawab berselang dengan rint*hannya. Aku sesekali menoleh ke arah mereka. Ada perasaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Seolah dejavu ketika dulu Misye hendak melahirkan Aluna. Kualihkan pandangan lagi ke jalanan yang ramai lancar. Ber
Pov 3 “Mas Glen dan Alea?"Banyu menautkan alis. Tak paham, bagaimana Karissa kenal dengan Alea? Namun tak urung jua dia mengangguk menyetujuinya. Banyu meninggalkan kamar Aluna. Melihatnya sedang melukis, membuat Banyu sedikit merasa lega. Setidaknya, Aluna memiliki kegiatan yang positif. Kini dia mengikuti Karissa yang berjalan menuju balkon. Dia ingin bicara empat mata. Udara yang cukup panas menghembus menyapu wajah. Berbeda sekali dengan udara di dalam ruangan yang memang memakai pendingin. Suhu kota Karawang memang terkenal dengan panasnya. Apalagi kini selain menjamurnya kawasan industri yang mengikis hutan dan ladang serta lahan pertanian, perumahan-perumahan subsidi pun menjamur. Para developer berlomba-lomba menghabiskan ruang hijau dan menyulapnya menjadi bangunan tembok, beton dan bangunan kaca yang tinggi menjulang. Karissa duduk pada kursi anyaman rotan yang tampak cantik. Ada tiga kursi yang melingkari satu meja bundar. Perpaduan warna krem dengan motif cokelat dan
“Jangan sampai kecolongan lagi, Banyu. Pastikan Alea kamu segera pecat. Dia hanya akan membawa masalah buat perusahaan nantinya!” Kalimat yang diucapkan Mbak Karissa terus-terusan terngiang-ngiang di kepala. Jujur, Pak Banyu benar-benar dilemma. Fakta jika Alea adalah selingkuhan Glen saja sudah membuat shock. Apalagi jika memang terbukti kalau Alea membocorkan rahasia perusahaan pada Glen. Namun, bagaimana cara untuk membongkar semuanya? Pak Banyu masih harus memutar otak untuk itu. Tak mungkin mengikuti Alea selama 24 jam penuh. “Papa!”Jingga yang baru saja merebahkan tubuh setelah menyus*i baby Cakra terdengar. Namun, lelaki yang tepekur di depan box bayi itu masih bergeming. “Hubby ....”Jingga mengubah panggilan. Siapa tahu sang suami menoleh. Namun sama saja, Pak Banyu masih bergeming. “Ya ampuuun … Papa Hubby!” Jingga memanggil dengan lebih lengkap dan agak kencang. Berharap yang dipanggil menoleh. “Ahm yes, Honey!” Pak Banyu mengerjap lalu menoleh. Dia menatap JIngga de
“Jingga, pernah ke kantor Banyu?” Mbak Karissa tiba-tiba muncul ketika aku baru saja selesai menidurkan Cakrawala. “Ahmmm … belum, Mbak.” Aku menoleh sambil memunguti tissue yang tadi kugunakan membersihkan area sensitif Cakra. “Selama nikah?” Mbak Karissa tampak tak percaya.“Iya, Mbak. Kenapa gitu?” Aku menatapnya. “Jingga, Jingga … suami itu sesekali harus diberi perhatian, diberi kejutan, jangan sampai dia merasa ahm, apa, ya? Terlalu, bebas.” “Apa iya, Mbak? Tapi aku percaya sama Mas Banyu lah, Mbak.” Aku menanggapi sekadarnya. “Gak bisa gitu, Jingga. Jangan sampai seperti Mbak dengan Mas Glen. Selama ini kurang apa Mbak? Tega-teganya dia menusuk Mbak dari belakang. Dia khianati kepercayaan Mbak sama dia. Sakit banget, Jingga, sakit.” Suaranya terdengar berat. Dia duduk sambil memeluk lututnya di samping box bayi Cakra. “Makasih sarannya, Mbak. Semoga permasalahan Mbak cepat selesai, ya!” “Sama-sama, Jingga! Makasih juga atas doanya. Mbak seneng kalau bisa sharing dengan
“Pagiii, Mbak Jingga … sehat? Kenalin nama saya Alea!” “Oh, jadi dia yang bernama Alea? Jadi, dia itu yang kata Mbak Karissa karyawan kesayangan di kantornya Papa Banyu, ya?” batin Jingga. “Pagiii, Mbak Alea! Rasanya kita pernah bertemu, ya? Mari masuk.” Dia pun tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu Jingga persilakan duduk. “Sebentar, saya buatkan minum! Ada urusan kerjaankah, tapi suami saya sudah berangkat dari pagi untuk bekerja.” “Enggak, Mbak Jingga. Saya sengaja pengen ketemu Mbak Jingga. Lagi pula, saya sudah mengajukan pengunduran diri. Hanya butuh hitungan hari lagi untuk saya pergi.” “Oh, ya? Ada apa, ya?” Jingga pun urung membuat minuman. Lalu duduk dan menghadap pada Alea. “Saya hanya ingin menjelaskan sesuatu. Ini tentang pekerjaan.” Dia mulai bicara. “Wah, maaf Mbak Alea. Saya gak tahu menahu kalau masalah itu. Kenapa gak bicara dengan suami saya saja di kantor?” Alea tersenyum masam dan menggerutu dalam dadanya, “Andai Pak Banyu mau mendengarkan penjelasan, ak
“Aidan! Tolong handel dulu kantor hari ini. Saya harus pergi!” “Siap, Bos! Segera laksanakan.”Aku pun lekas menyambar kunci mobil dan meninggalkan ruangan. Harus ada satu hal yang aku lakukan secepatnya dan semoga saja ini tak terlambat. Semua masih bisa diselamatkan. Alea! Satu tujuanku yaitu Alea!Aku mengangkat gawai dan segera menelponnya. Namun panggilan tak jua terhubung. Segera kukirim pesan padanya.[Lea! Bandara Sekarno Hatta terminal berapa? Tunggu saya sebentar saja.] Usai mengirim chat. Segera kunyalakan mesin dan mobil melaju meninggalkan perusahaan. Setidaknya, inilah usaha yang akan aku lakukan. Aku pun harus meminta maaf padanya. Jika keputusanku memutasi Alea menyakiti hatinya. Seperti biasa, kondisi jalanan siang di Kota Karawang tak terlalu macet. Ramai lancar. Tak berapa lama, aku sudah masuk ke dalam tol dan menginjak gas dengan maksimal. Mobil melaju dengan cepat. Aku harus bertemu Alea. Syukur-syukur dia bisa kukejar sebelum sampai bandara. Hanya saja, aku