“Astaghfirullahaladziim! Mas Zahir!” Riri berteriak kencang karena terkejut. Wanita itu langsung menghentikan aktivitasnya yang sedang merapikan sesuatu. Dia berkali-kali mengembuskan napas dan mengurut dada.Zahir menutup pintu dengan membantingnya kencang hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Anak lelaki itu berjalan sambil menghentakkan kaki hingga sepatu yang dia gunakan terpental kemana-mana.Riri menarik napas panjang melihat kelakuan Zahir. Pasti ada hal yang membuatnya sangat marah hingga seperti itu. Zahir biasanya lebih memilih diam kalau sedang ada yang membuatnya kesal. Kalau sampai dia lampiaskan, itu artinya sudah tidak bisa ditahan.Riri memperhatikan dengan ekor mata saat Zahir naik ke atas menuju kamarnya. Gadis itu bergegas mengambil sepatu Zahir yang terlempar kemana-mana. Sebelum dia sempat meletakkan sepatu pada tempatnya, Zafar dan Anna membuka pintu.“Mas Zahir kenapa, Mas?” Riri menyambut Zafar dengan pertanyaan. Dia bisa melihat ada ketegangan anta
“Jangan hina ibuku!” Tangan Zahir terkepal kencang. Dia tidak akan pernah rela malaikat tak bersayapnya itu direndahkan. Wanita hebat yang sangat dia kagumi, tak akan pernah dia biarkan seorang pun menghakimi.“Ada yang salah? Kata ibuku ….”“Ibumu pengangguran?” Zahir bertanya cepat.Riko menautkan alis mendengar pertanyaan Zahir yang tiba-tiba dan di luar konteks pembicaraan mereka.“Kalau pengangguran, wajarlah punya waktu mengurusi hidup orang lain. Kau membuktikan ucapanmu barusan ada benarnya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Seperti dirimu yang persis dengan ibumu. Nyinyir!” Zahir tersenyum puas menatap wajah Riko yang memerah.“Aduh!” Zahir memegang pipinya.Secara tiba-tiba Riko memukulnya dengan kencang. Anak itu tidak terima dengan perkataan Zahir. Zahir yang merasa Riko yang memulai semuanya membalas hingga terjadi perkelahian yang membuat ramai gerbang sekolah.Hari itu, untuk pertama kalinya Zahir dipanggil ke ruang BK. Sebenarnya hari ini merupakan akumulasi pera
Sementara di sini, Andhira sedang sibuk membeli perlengkapan bayi untuk menyambut kelahiran buah hatinya. Wanita itu terlihat manis dengan dress baby pink yang dia gunakan. Andhira awalnya ingin ditemani Tibra. Namun, dia tahu suaminya sedang pusing dengan resto. Jadi, dia memutuskan ke mall sendiri dengan diantar supir.Walau usaha Tibra sedang menurun, namun mereka tidak pernah kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Usaha kos-kosan Tibra yang terletak di dekat dua kampus ternama lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan mereka.Tambahan lagi, Aruna tidak pernah sedikitpun mengusik masalah bagian. Jadi, mereka aman. Menurut Andhira, wajar saja kalau mantan istri suaminya itu tidak pernah meributkan masalah pembagian uang. Toh, dua anak mereka yang kini dalam pengasuhan Tibra juga banyak kebutuhan.Andhira baru saja akan menentukan makan dimana saat dia tanpa sengaja melihat sosok Aruna di tempat makan. Wanita itu terlihat menyalami beberapa orang yang kemudian saling berp
“B*jingan!” Tibra memukul meja kerjanya dengan kencang. Napasnya memburu dengan kencang. Emosi Tibra sedang berada pada puncaknya. Hal itu terlihat jelas dari matanya yang memerah seolah menyimpan bara yang menyala.“Argh!” Lelaki itu berteriak dan melemparkan gelas minumannya ke arah dinding hingga membuat gelas itu hancur berkeping-keping. Dia tidak peduli kalau hal itu akan terdengar keluar. Saat ini, Tibra butuh pelampiasan.Beberapa karyawan Arapi yang mendengar suara berkelontangan seperti benda pecah dari dalam ruangan Tibra saling memandang. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Para karyawan itu hanya bisa berharap dan berdoa agar usaha Tibra baik-baik saja sehingga mereka tidak harus dirumahkan seperti karyawan cabang lain.Tibra menatap nanar pada beling yang berserakan di lantai. Di dinding ruangannya tercetak warna merah bekas minumannya yang tadi membentur dinding sebelum jatuh membasahi lantai.Lelaki itu menarik napas panjang. D
“MAS! Jangan, Mas. Istighfar.” Andhira berusaha memeluk Tibra dari belakang. Dia sedikit kesusahan karena terhalang perutnya yang membuncit.Tibra mendengs kencang saat merasa gerakannya tertahan. Hampir saja Tibra mendorong kencang Andhira kalau dia tidak ingat wanita itu sedang hamil besar.Dendra memanfaatkan momen itu untuk berdiri dan memperkuat pertahanan. Setidaknya dia harus meminta penjelasan kenapa Tibra tiba-tiba menghajarnya.“Bela saja terus pasangan selingkuhmu itu!” Tibra melepaskan pelukan Andhira.“Hah?” Andhira dan Dendra saling bertatapan.“Apa maksudnya, Mas?” Dendra maju perlahan. Lelaki itu mengumpat dalam hati, masalah apa lagi ini pikirnya. Belum juga terang benderang masalah kemarin, sudah muncul masalah baru yang tidak kalah peliknya. Sepertinya dugaannya benar kalau ada yang berusaha mengadu domba dia dan Tibra.“Jelaskan apa ini!” Tibra melemparkan amplop coklat yang dari tadi dia bawa.Foto-foto dari dalam amplop berceceran keluar dari amplop saat dilempar
Dendra akhirnya memilih bergegas pergi. Nanti-nanti dia bisa kembali lagi untuk menjelaskan saat emosi Tibra sudah stabil kembali. Kalau sidsh begini, mau diberikan penjelasan bagaimanapun Tibra tidak akan mendengarkan. Emosi sudah menguasai sepupunya itu Tibra mengikuti kepergian Dendra dengan ujung mata sampai sepupunya itu hilang dari pandangannya. Dia mengusap wajah kasar saat belakang tubuh Dendra sudah tidak terlihat lagi.“Mas ….” Andhira mendekati Tibra perlahan sambil memegang perut. Dari tadi janinnya terasa bergerak-gerak seperti gelisah. Dia benar-benar ketakutan tadi saat melihat Tibra begitu kasar. Bayangan saat dulu Devan menghajarnya langsung memenuhi ingatan. Susah payah dia menguasai diri agar tidak pingsan.“Dengar, Andhira. Aku tidak berlaku kasar padamu hanya karena memandang kau sedang hamil walau aku tidak yakin itu anakku.” Tibra menepis tangan Andhira yang berusaha menyentuhnya.“Satu lagi, jangan bermimpi aku akan melepaskanmu begitu saja. Dulu saat aku mas
“Saya tidak berminat memperpanjang kerjasama kita, Pak Devan.” Tibra menatap lelaki di hadapannya dengan wajah datar. Sejujurnya dia terganggu dengan kedatangan lelaki itu ke rumahnya.“Terima kasih.” Devan mengangguk sopan pada asisten rumah tangga Tibra yang baru saja meletakkan air minum dan mempersilahkannya.Lelaki itu mengikuti langkah wanita setengah baya yang menggunakan seragam hijau hingga hilang dari pandangan. Devan memperhatikan sekeliling rumah yang bercat kuning gading. Di samping sofa tempat mereka duduk, terdapat tangga dengan konsep transparan. Material kaca pada pegangan tangga membuat tampilannya tampak modern dan elegan. Tangga yang melingkar itu dilapisi dengan karpet yang ditempatkan pada anak tangga hingga memberikan kesan glamour.Tepat di atas tempat mereka duduk, terdapat lampu gantung mewah dengan bentuk dekorasi mahkota. Dekorasi lampu mahkota tersebut sangat cocok dengan warna rumah yang senada dengan lampu berwarna kuning. Devan mengangguk-angguk. Tida
“Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, Pak Devan? Mohon maaf sebelumnya, saya harus menemani istri kontrol ke dokter kandungan.” Tibra berdiri dan mengulurkan tangan.Devan tersenyum dan menyambut uluran tangan Tibra. Dia tahu, Tibra mengusirnya secara halus. Lelaki itu ikut berdiri sambil menatap Aruna yang berdiri terpaku di samping suaminya.“Sebentar ya, Sayang. Aku ganti baju dulu.” Tibra mengelus bahu Andhira dan berjalan meninggalkan Devan begitu saja saat mereka selesai bersalaman. Dia tidak sedikitpun menoleh pada Devan.Devan berjalan mendekati Andhira saat Tibra sudah hilang dari pandangan. Dia bisa melihat Andhira menampakkan gerakan kurang nyaman. Lelaki itu tersenyum lebar. Dia beruntung karena Andhira tidak menceritakan masa lalu mereka pada Tibra sehingga dia bisa bergerak dengan leluasa.“Kembali padaku, Andhira. Atau, kau akan melihat Tibra semakin hancur.” Devan merangkul bahu Andhira. Aroma minyak wangi yang Aruna kenakan menyapa hidung Devan.“Lepas!” Andhira