"Apa kau g*la?!" Aruna menarik kerah baju khas tahanan yang digunakan Tibra dari balik sel ruang kunjungan. Hampir saja badan Tibra tertarik dan membentur sel andai polisi yang berjaga tidak bergegas memeluk Tibra dari belakang."Jangan membuat kerusuhan di sini! Atau silahkan tinggalkan tempat ini sekarang juga." Petugas menatap Aruna tajam dari balik jeruji besi. Suaranya yang tegas memenuhi ruangan. "Kami minta maaf, Pak." Lendra langsung menenangkan petugas dan menjelaskan dengan singkat kalau Aruna terbawa emosi."Tahan sedikit, Bu Aruna." Lendra berbisik pelan. Sejujurnya, dia juga merasa ingin menghadiahkan pukulan pada lelaki di balik jeruji besi. Jangankan Aruna, dia saja menahan emosi sejak tadi.Petugas akhirnya berjalan menjauh sambil menatap Aruna tajam. Lewat pandangannya dia memperingatkan Aruna agar tidak memancing kerusuhan lagi. Sementara Aruna tidak terlalu peduli dengan ucapan petugas barusan, ada Lendra yang mengurusnya walau pengacaranya jiga memperingatkan baru
Tibra hanya menanggapi emosi Aruna dengan senyuman. Dia senang bisa melihat mantan istrinya itu hilang kendali.“Kau melawan hukum, Tibra!” Aruna tersengal. Lelaki ini benar-benar menguji kesabarannya.Tibra terkekeh. Dia maju dan mendekatkan diri pada Aruna. Kedua tangannya memegang jeruji besi, wajahnya menempel pada logam dingin itu. Dia berbisik pelan pada Aruna.“Persetan dengan hukum!”Hampir saja Aruna menonjok wajah Tibra yang menyembul di antara jeruji besi kalau saja Lendra tidak menahannya. Sementara Tibra menjauhkan diri sambil tertawa terbahak-bahak.“WAKTU KUNJUNGAN HABIS!” Petugas berteriak memberi pengumuman.“Sampai kau bersujud dan mencium telapak kakiku pun aku tidak akan memberitahu mereka ada dimana. Mereka lelaki, Aruna. Sudah seharusnya Zahir dan Zafar ada dalam pengasuhanku. Figur seorang Ayah sangat diperlukan dalam perkembangan mereka.”“Figur seorang Ayah? Hei! Kau sehat? Kau sedang ada di penjara, Tibra Davanka. Bagaimana kau akan mendampingi mereka? Astaga
“Tidak usah heran. Tanpa Tibra pun aku bisa hidup dengan layak dan berkecukupan.” Aruna tersenyum melihat Andhira yang mempertanyakan cek yang dia berikan. "Kau bisa pastikan ini bukan cek kosong! Atau, kalau kau perlu uang tunai untuk meyakinkan diri, aku akan bawakan. Bilang saja mau mata uang apa. Euro? Dollar? Ringgit?""Aku tidak butuh uangmu."Aruna tertawa kencang mendengar jawaban Andhira. Dia tidak perduli sedang ada dimana. "Omong kosong! Memangnya apa yang kau cari dengan menggoda Tibra kalau bukan harta? Munafik!"Andhira menarik napas panjang mendengar teriakan Aruna. Andai situasinya tidak seperti ini, tanpa menerima bayaran pun dengan senang hati dia akan memberitahu Aruna. Siapa juga yang mau repot mengurus anak orang lain? Namun, mau tidak mau dia harus merahasiakan keberadaan Zahir dan Zafar.Sesuai rencana Tibra, setelah Andhira keluar dari penjara, wanita itu akan menyusul ke tempat Zahir dan Zafar. Selama Tibra masih di penjara, kedua anak itu akan dirawat dan di
“Bagaimana?” Aruna menahan jilbabnya yang terus berkibar karena terpaan angin laut yang cukup kencang. Seorang pegawai membawakan topi yang biasa Aruna kenakan jika berkunjung, dengan topi itu kemungkinan jilbabnya terbang terbawa angin menjadi kecil.“Sudah dimulai sejak setengah enam tadi, Bu. Begitu hari mulai terang, kita langsung bergerak.” Affan memberi penjelasan sambil mempersilahkan Aruna.“Semoga berhasil ya?” Aruna menoleh sambil tersenyum pada orang kepercayaannya ittu.“In syaa Allah berhasil, Bu. Panen parsial ini bertujuan untuk menjaga stabilitas air. Sebab, residu pakan buatan bisa dikurangi dengan populasi yang lebih terbatas. Dengan cara ini, kita bisa mencapai size yang Ibu inginkan.” Affan menunjuk jaring yang sedang diangkat oleh sekitar delapan orang pekerja.Aruna mengangguk sambil tersenyum. Udang-udang di dalam jaring terlihat melompat-lompat. Kulitnya bercahaya ditimpa sinar matahari pagi. Mereka memang melakukan pemanenan setiap pagi hari, sebelum matahari
Mulai dari sayur-mayur yang ditanam secara hidroponik. Sayur-sayuran itu disusun sedemikian rupa sehingga sangat elok dipandang. Buah-buahan yang dibuat kebun khusus dalam rumah kaca. Ikan-ikanan yang juga mereka pelihara sendiri.Tamu cottage bebas memilih sayur, buah dan ikan apa yang mereka inginkan. Hal itu menjadi hiburan dan wisata tersendiri bagi mereka. Apalagi beberapa tamu bahkan memetik sendiri sayur dan buah yang diinginkan. Setelah itu, mereka juga bebas menentukan akan dimasak seperti apa. Aruna memang merekrut ahli-ahli terbaik untuk setiap lini usahanya. Mulai dari usaha budidaya udang dia memilih Affan, seorang sarjana akuakultur di salah satu perguruan tinggi negeri yang bukan hanya bagus nilainya tapi juga kenyang dengan pengalaman. Untuk perkebunan dia merekrut salah satu sarjana agronomi dan hortikultura. Sementara untuk dapur, dia merekrut tiga orang chef yang bertugas di tiga pulau berbeda.Karena semua lini usaha dipegang oleh orang yang tepat, usaha Aruna ber
Orangtuanya memang sengaja ikut hari ini. Mereka ingin melihat bagaimana proses panen parsial yang dilakukan sebagai gebrakan baru usaha Aruna. Setelah diskusi panjang dengan Affan bagaimana caranya bisa mendapatkan size yang diinginkan, keputusan panen parsial atau panen sebagian ini menjadi jalan keluar.“Kenapa menangis?”Ah … rupanya tanpa sadar dia menggeluarkan air mata. Aruna membalas senyum Adya dan memegang tangan ibunya lembut. Ini pertama kalinya Adya mengusap air matanya lagi sejak empat tahun lalu. Empat tahun lalu? Mendadak ingatannya terbang kembali ke masa itu. Suatu masa paling kelam dalam perjalanan hidup yang harus dia lalui.“Apa salah Runa, Bu?” Aruna menyandarkan kepala di bahu ibu Adya.“Kenapa Tibra jahat sekali pada Runa?” Air mata Aruna mengalir. Perjuangannya selama ini seakan sia-sia saat dia tidak bisa memeluk kedua anaknya.“Sabar, anakku. Bahkan seorang anak yang diadopsi saat kecil pun berusaha menemukan orangtuanya. Apalagi Zahir dan Zafar, kedua cucuk
“Zahir, Zafar. Setelah makan siang segera bersiap ya, kita jemput Ayah di bandara.” Andhira meletakkan cumi goreng tepung di piring Anna. Anak gadisnya itu semakin manis saja di usianya yang menginjak delapan tahun.Andhira menoleh pada Zahir dan Zafar yang hanya diam saja. Dua kakak beradik yang terpaut usia dua tahun itu sibuk dengan piring masing-masing. Zahir berumur dua belas tahun dan Zafar sepuluh tahun.Mereka kompak menguasai cumi krispi yang baru diletakkan Andhira sehingga Anna memilih tidak mengambil lauk itu. Padahal, Andhira tahu sekali putrinya sangat menyukai menu itu.Empat tahun tinggal bersama, tidak membuat hubungan mereka menjadi cair. Anak laki-laki Tibra dan Aruna itu seolah menganggapnya tidak ada. Mereka bahkan tidak pernah menjawab setiap perkataan dan sapaan Andhira.Dua kakak beradik itu memang memilih mengabaikan Andhira. Untuk apa beramah-tamah dengan wanita yang telah menyingkirkan Ibu mereka? Walau Zahir dan Zafar masih kecil, mereka sudah paham apa yan
Aruna rutin setiap sebulan sekali berkunjung ke tempat tinggal baru Zahir dan Zafar. Bukan ke rumah, ada saja cara Riri membawa mereka keluar agar bisa menemui Aruna di penginapan. "Anna, nanti minta bantu Bi Sumi biar rambutnya diikat ekor kuda ya. Biar kompakan sama Ibu." Andhira mengelus kepala putrinya yang sedang asyik makan cumi tepung krispi saus asam manis. Akhirnya, Zahir dan Zafar mau juga berbagi. Mereka merasa tidak seru karena Anna pasrah saja tadi. tidak ada perlawanan sama sekali."Anna ikut jemput juga?" Zafar menoleh pada Zahir, Kakaknya. Ada nada protes sekaligus keberatan dalam nada suaranya.Zahir mengangkat bahu. Di melirik sekilas pada Anna, anak perempuan itu seusia dengan Zafar. Anna mengabaikan mereka. Sejak tadi gadis kecil itu sibuk menghabiskan makanan di piringnya."Memangnya dia siapa? Anna kan bukan anak Ayah?" Zafar kembali bicara.Sementara Zahir tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya. Dia paham maksudnya. Zafar ingin meledek Anna lagi. Namun, Zahir