"Kenapa dulu nggak langsung bagi gono-gini saja, Mas? 'Kan jadi jelas harta mana punya siapa." Andhira menoleh pada Tibra yang memejamkan mata. Walau selama ini dia tidak pernah diajak berdiskusi masalah keuangan, tapi dia tahu pasti suaminya itu sedang kesulitan."Sudahlah, Dhir, semua sudah berlalu sekian tahun lalu." Tibra menggenggam tangan Andhira dan meremasnya pelan. "Tenang, aku yakin semua akan baik-baik saja. Dedek akan sembuh, usaha kita akan bangkit lagi."Andhira mengangguk dan menyandarkan kepala pada bahu Tibra. Andai bukan karena Anna sudah merengek ditelepon, Andhira tidak akan mau meninggalkan bayinya sendirian. Namun, dia harus menyempatkan waktu menemui Anna sebentar agar anaknya tidak merasa terabaikan.Sementara, Tibra terhanyut dalam pikirannya sendiri. Dia sempat sakit setelah putusan sidang Devan dibacakan beberapa bulan lalu. Mantan rekan bisnisnya itu memang diputus bersalah, tapi dia tidak mendapat ganti rugi apapun karena semua aset Devan yang dia laporkan
Maldives atau yang biasa disebut juga Maladewa memiliki perairan biru kehijauan, pasir putih bersih, matahari terbenam, langit jingga dan tentu saja kemewahan.Aruna menarik napas panjang menikmati angin laut yang berhembus pelan memainkan rambutnya yang terurai. Wanita itu menoleh pada suaminya yang masih mendengkur di kasur.Mereka baru saja tiba di sini empat jam yang lalu. Tepat jam empat subuh, seaplane yang disewa secara khusus tiba dan membawa mereka kemari. Begitu selesai melaksanakan shalat Subuh, mereka langsung merebahkan diri di kasur karena rasa kantuk yang menyerang dan juga lelah perjalanan.Aruna memilih Maldives sebagai tempat bulan madu mereka. Alasannya karena dia belum pernah liburan kesana dan Tyo memang membebaskannya untuk memilih mau liburan kemana.Walau namanya bulan madu, tapi Tyo memboyong serta Zahir dan Zafar yang kebetulan sedang libur sekolah serta mengajak juga kedua orangtua dan mertuanya.Menurut Tyo, acara liburan kali ini bisa menjadi ajang mendeka
Suara ramai di depan bungalow yang mereka tempati mau tidak mau membuat mereka berlepas diri. Tyo masih sempat melabuhkan kecupan kecil di bibir ranum Aruna sebelum berjalan ke depan untuk membuka pintu. Di sini, Aruna terpaku mengingat sikap manis Tyo barusan. Hal kecil yang selama ini tidak pernah dia rasakan saat bersama Tibra.Dulu, dia terlalu sibuk diluar. Aruna menyadari sepanjang pernikahan mereka, kerja keras untuk memajukan usaha adalah visi dan misinya dengan Tibra. Jarang sekali ada waktu mereka menikmati waktu berlibur sekeluarga, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah.Mereka seolah dikejar sesuatu yang menuntut agar bisa menjadi sukses. Ditentang dan dibuang oleh kedua keluarga membuat dua sejoli itu merasa harus membuktikan pilihan mereka benar dan mereka bisa sukses walau tanpa bantuan yang lainnya.Ah … kenapa dia jadi membandingkan pernikahannya kali ini dengan pernikahannya dulu? Apakah dia belum move on? Tentu saja sudah. Dia membandingkan semua lini agar bisa
Bungalow yang mereka tempati persis di atas laut, ada akses tangga langsung untuk nyemplung ke laut hingga mudah jika ingin snorkeling. Di tengah bungalow ada glass floor, sehingga bisa melihat aliran air dan hewan-hewan laut yang berenang bebas langsung dari dalam bungalow tanpa harus berbasah-basah.Tyo memang ingin memberikan pengalaman terbaik yang bisa dia berikan pada Aruna. Uang bukan masalah baginya. Sebagai pengusaha perhotelan bintang lima yang cabangnya tersebar di seluruh negeri dan juga mempunyai usaha di bidang produksi pakan ikan, lelaki itu memiliki materi yang berlimpah."Cari yang masih muda, Pak Tyo. Walau Bu Aruna memang cantik, tapi kan sudah dua kali turun mesin." Kekehan salah satu rekan bisnisnya beberapa saat sebelum dia melamar Aruna kembali terngiang.Banyak kolega dan teman dekat bahkan beberapa anggota keluarga yang menyayangkan dia saat memutuskan menikahi Aruna. Sebagai duda tanpa anak yang tampan dan mapan, dalam pandangan mereka Tyo bisa mendapatkan ga
Saat Aruna sedang menikmati indahnya bulan madu, di sini, Andhira menjerit kencang ketika alat yang mendeteksi detak jantung anaknya berdenging kencang. Wanita itu berteriak kalap pada Tibra yang sedang terduduk di luar ruangan memikirkan restonya yang semakin terbengkalai. Bahkan laporan dari pekerjanya, beberapa supplier sudah memutuskan kerjasama karena mereka sudah menunggak sekian bulan."Ada apa? Kenapa?" Tibra langsung menghampiri Andhira yang histeris. Tanpa banyak kata, dia langsung mengikuti Andhira yang menarik tangannya."Tunggu disini." Tibra meremas bahu Andhira kencang. Dia berbalik dan meninggalkan istrinya yang menangis kencang.Lelaki itu gelagapan berlari ke ruang dokter saat melihat layar disana hanya menampilkan garis lurus yang menandakan aktivitas jantung anaknya terhenti. Sebelum menutup pintu, matanya masih sempat melirik wajah anaknya yang baru beberapa bulan saja mengenal dunia."Semoga belum terlambat." Tibra mengepalkan tangan saat melihat ruang suster jag
“Aku ingin melihat Zafina tumbuh besar, Mas. Aku akan mengepang rambut panjangnya saat dia berangkat ke sekolah. Memilihkan baju yang sama denganku dan Anna. Anna pasti akan sangat menyayangi adik kecilnya. Mas ‘kan tahu sendiri Anna sangat menyukai anak kecil.” Andhira pindah ke samping Tibra. Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Tibra yang masih terisak pelan.Ah … Anna. Pikiran Andhira melayang pada gadis kecilnya. Dia sangat bersyukur sekali anak itu tidak rewel. Anna sesekali datang ke rumah sakit jika sedang tidak sekolah. Dia ditemani Riri di rumah, karena Zahir dan Zafar sedang pergi bersama Aruna, Riri fokus mengurus dan menemani Anna.“Butuh biaya yang tidak sedikit, Dhir.” Suara Tibra tercekat.Andhira terisak kencang. Air matanya mengalir membasahi baju Tibra. Dia sangat paham sekali dengan kondisi keuangan mereka. Berbulan-bulan menghuni kamar VVIP dengan fasilitas terbaik sangat menguras kantong. Bahkan kemarin Tibra mengatakan tabungan mereka sudah benar-benar habi
“Aku ingin menjual dua villa kita yang ada di puncak.” Tibra langsung berbicara ke pokok permasalahan. Dia takut semakin lama berbicara dengan Aruna akan semakin kentara jika suaranya bergetar.Sementara di sini, Aruna terdiam. Wanita itu menarik napas panjang mendengar suara tegas Tibra. Lelaki itu tidak berubah, dari dulu selalu bersikap otoriter. Tanpa kompromi mengambil keputusan sendiri. Dia bicara bukan untuk meminta pendapat, tetapi untuk memberitahu.“Aku tidak lupa dengan kesepakatan kita dulu kalau kedua villa itu akan menjadi milik Zahir dan Zafar. Namun, aku berubah pikiran.”Aruna tetap diam dan berusaha mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut mantan suaminya. Dia tahu Tibra meneleponnya karena lelaki itu membutuhkan tanda tangannya agar bisa menjual aset itu.“Warisan itu diberikan dan dibagi saat orangtua sudah meninggal. Saat orangtua masih hidup, semuanya mutlak tetap milikku. Jadi, aku berhak untuk melakukan apapun pada kedua villa itu.” Tibra menggigit bibir d
“Semoga di lain waktu ada kesempatan bisa bekerja sama kembali dengan Bu Aruna dan Pak Tibra.” Ratri, notaris yang selama ini mengurus legalitas semua aset tak bergerak Aruna dan Tibra tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan.“Terima kasih untuk bantuannya selama ini, Bu Ratri.” Aruna menyambut uluran tangan Ratri.Wanita itu menarik tangan Ratri pelan hingga mereka saling berpelukan. Sekian tahun bekerjasama, hubungan mereka cukup dekat dan tak hanya sebatas profesionalitas saja. Ratri bahkan menjadi tempat Aruna mencurahkan perasaan saat dulu dia sedang dalam titik terendah kehidupan.Tibra ikut menyambut tangan Ratri setelah Aruna melepaskan pelukan mereka. Lelaki itu tersenyum tipis sambil mengayunkan jabat tangan. Seperti biasa, Tibra memang terlihat dingin dan sedikit tak acuh.“Titip Zahir dan Zafar.” Tibra berkata pelan saat mereka berjalan bersisian menuju mobil masing-masing."Mari, Pak, Bu." Aruna mengangguk sopan saat berpapasan kembali dengan pembeli villa mereka di tem