"Assalamualaikum, mas?" Nisa meraih tangan lelaki yang bergelar suaminya tersebut, Pras sangat canggung dengan posisinya sekarang dia hanya bisa menerima uluran tangan Nisa karena tidak mungkin menolaknya didahapan orang banyak."Mas sendiri? dimana mbak Aruna?" tanya Nisa arah pandangannya menyapu kesekeliling."hm ..." hanya kata itu yang terlontar dari mulut Pras, setelah membayar Pras langsung meninggalkan Nisa tanpa berpamitan.Nisa hanya bisa menghela napas, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang telah berstatuskan suaminya tersebut.Nisa berlari kecil menyusul Pras yang tengah melangkah gontai menyusuri jalanan, dia merasa suaminya tersebut sedang mengalami masalah."Mas, tunggu." Nisa mensejajarkan langkahnya mengikuti langkah Pras."Apa mas lagi ada masalah?" tanya Nisa hati-hati."Bukan urusan kamu." balas Pras ketus."Bagaimanapun aku ini istri kamu, mas! "Apa kalian bertengkar?" telisik Nisa, bukan tanpa sebab Nisa menanyakannya karena hanya masalah
pov NisaApa serendah itu harga diri ini dimata lelaki yang telah kutaruhkan separuh hatiku tanpa meminta pembalasan rasa yang setimpal.Dengan ringannya mulutnya berkata jika akulah penyebab keretakan rumah tangganya bersama mbak Aruna, dan dan dia juga lancang mengatakan jika aku sangat mengharapkan kehangatan dari tubuhnya.Sebagai seorang wanita yang telah menikah, wanita mana yang tidak membutuhkan nafkah bathin dari pasangannya, akupun sama, aku juga butuh hal tersebut tapi bukan itu tujuan utamaku menerima pernikahan ini, jika hanya karena soal nafkah bathin, aku bisa menunggu sampai mas Pras benar-benar sudah bisa menerima kehadiranku, tapi alasanku menerimanya benar-benar hanya ingin membantu mbak Aruna menyelesaikan masalah.Bagaimana aku membiarkan wanita yang telah aku anggap saudaraku sendiri, menderita. sedangkan dia membutuhkan pertolonganku.Mas Pras berfikir aku sangat bahagia dengan pernikahan ini, tapi sebaliknya ... aku tidak pernah menginginkan pernikahan yang sem
Tepukan lembut membangunkanku, aku mengerjabkan mata beberapa kali, mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, sepertinya aku ketiduran selepas mengerjakan shalat subuh.Kulihat mas Pras berjongkok dihadapanku, memakai baju muslim deng peci yang bertengger dikepalanya, masya Allah tampan sekali suamiku, aku memiliki suami yang begitu tampan, ahklak yang baik, memiliki cinta yang begitu besar, dan aku juga memiliki mertua yang begitu menyayangiku, ekonomi kamipun tidak ada masalah, malahan kami bisa dibilang memilik segalanya, ujian kami hanya satu, keturunan ... Allah masih belum mempercayai kami,Aku bersama mas Pras tidak masalah, kami berdua selalu memberikan dukungan satu sama lain karena kami selalu meyakinkan jika suatu saat nanti Allah pasti menitipkannya untuk kami.Tapi papa ... papa mempermasalahkan hal tersebut, dua tahun penantian menurutnya sudah cukup, dengan kondisi kesehatannya yang menurun papa meminta hal yang tidak mungkin bisa kuberikan.Lambaian tangan didepan wajahku mem
Dering ponsel yang berada diatas meja dihadapanku membuyarkan lamunan, aku hanya menatap sekilas tanpa berniat untuk mengangkat panggilannya.Tapi lagi dan lagi panggilan dari nomor yang sama memanggil dengan beruntun seperti tak kenal lelah membuat bibir ini berdecak kesal."Iya, assalamualaikum?" ucapku dengan nada ketus."Wa'alaikumsalam! maaf mbak, bisa jemput suaminya sekarang, soalnya dia mabuk berat ini." ujar pria diseberang sana."A-apa? mabuk." tanyaku tidak percaya, sejak kapan mas Pras mengenal minuman haram seperti itu."Iya mbak! tolong dijemput ya, soalnya kami mau tutup mbak." balas pria tersebut."Aku akan segera kesana!" balasku lalu mematikan sambungan telpon setelah pria tersebut memberikan alamatnya.Terpaksa aku mengendarai mobil sendiri jika memesan taxi online pasti akan memakan waktu lama, mobil membelah jalanan yang sudah mulai sepi karena jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.Lima belas menit aku sampai didepan sebuah cafe yang sebelah pintunya sudah ditutup,
Aruna ...Pras mengakhiri permainannya dengan menyebut nama Aruna istri pertamanya tanpa memikirkan bagaimana terlukanya istri keduanya saat ini.Bulir bening berjatuhan dari sudut matanya. "bahkan dalam keadaan tak sadarpun kamu masih menyebut nama mbak Aruna, sebesar itukah cintamu untuk mbak Aruna, mas? isak Nisa.Aku tidak berharap bisa dicintai sebanyak itu, aku cuma berharap satu hal, kamu memperlakukanku layaknya sebagaimana peran seorang istri pada umumnya, tapi kenapa kamu masih memberi jarak tak kasat mata seperti ini terhadapku, mas.Memang pernikahan ini terjadi karena keterpaksaan tapi tidak bisakah kamu mencoba untuk menerima kehadiranku, mas? aku bukan wanita yang akan menghancurkan pernikahanmu sebelumnya, aku sadar diri dan aku tau dimana tempatku. Nisa menatap sendu wajah lelap suaminya.Seharusnya aku bahagia karena telah menjadi seorang istri seutuhnya, mas Pras telah memberikan hakku, tapi bukan menghabiskan malam seperti ini yang aku harapkan, mas datang dalam ke
Selepas kepergian mas Pras kekantor, ponselku berdering, nama Nisa tertera disana, kuhembuskan nafas perlahan lalu mengangkat panggilan dari gawaiku."Assalamu'alaikum, mbak?" salam Nisa diseberang sana."Waalaikumsalam." balasku."Mbak, mas Pras ada disana nggak?" tanya Nisa daei nada bicaranya terdengar dia sangat mengkhawatirkan mas Pras."Barusan berangkat kekantor." jawabku."Syukurlah." ucapnya lega."Aku hanya khawatir, takutnya terjadi apa-apa dengannya dijalan." timpal Nisa.Dadaku berdesir kala mendengar ada wanita lain yang mengkhawatirkan suamiku, sesak didada tidak bisa kusembunyikan, aku mendongakkan kepala keatas menahan airmata ini agar tidak tumpah."Semalam mas Pras mabuk, mbak! aku sudah mencoba menghubungi nomor mbak tapi tidak dijawab." Nisa berkata panjang lebar."Aku sudah tidur." jawabku singkat."Mbak tutup dulu ya, masih banyak kerjaan." padahal itu hanya alasanku saja, aku tidak ongin berlama-lama berbicara dengan Nisa, itu hanya akan membuat luka yang sempa
senyum yang sedari tadi merekah akhirnya sirna saat melihat wanita yang duduk bersama Aruna, bukannya aku membenci Nisa tapi karena hadirnya dirinya diantara kami membuat hubungan yang selalu harmonis kini menjadi berantakan, tidak adalagi kudapatkan senyum termanis dari raut istriku, manjanya yang selalu mengisi hari-hariku kini ikut lenyap bersama lukanya.Kuhembuskan nafas kasar lalu kembali melangkah menghampiri mereka, kutampilkan senyuman terbaikku untuk Aruna tapi dia hanya menanggapi dengan senyuman tipis, sedangkan Nisa hanya menatapku sekilas lalu menundukkan pandangannya, fikiranku kembali ke kejadian semalam, perihal itu belum aku tanyakan kepada Aruna, aku sangat yakin Aruna memberikan aku sesuatu obat sehingga aku bisa melakukannya bersama Nisa.Entah marah atau benci istri yang berstatuskan istri keduaku ini, tapi saat itu fikiran kalut dan bercampur rasa bersalah terhadap Aruna membuatku meninggalkan dia sendirian tanpa permintaan maaf sekalipun."Mas mau pesan apa? Sua
Sesuai kesepakatanku bersama Aruna, mulai malam ini dan tiga hari kedepan aku akan pulang kerumah Nisa.Aku juga tidak ingin mempersulit Aruna lagi, sudah cukup airmata yang telah ia keluarkan, dan sekarang sudah kuputuskan aku akan mengikuti apa yang telah direncanakan oleh Aruna sebelumnya."Nis, ada yang ingin mas bicarakan?" ujarku, sekarang kami sedang duduk dibalkon lantai dua rumah Nisa."Apa, mas?" jawab Nisa menatapku sebentar lalu beralih menatap kedepan."Sebelumnya maaf atas tindakan mas yang mungkin telah melukai hati kamu selama ini.""Mulai sekarang mas akan berusaha untuk menerima status pernikahan kita, dan mas akan bertanggung jawab untuk kehidupanmu selanjutnya.""Tapi ...? ehm ... Pras menjeda ucapannya, sambil memikirkan kata-kata yang akan dia sampaikan agar tidak menyinggung perasaan Nisa."Dan untuk yang terjadi diantara kita beberapa waktu lalu mas benar-benar minta maaf, mas dibawah pengaruh minuman waktu itu." Pras berusaha untuk tetap tenang meskipun kecang