Zafar juga berjalan mendekat padanya, kemudian berkata, "Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untukku mempertahan kamu, Sinta. Silakan pergi, dan carilah pria yang murahan, sama seperti dirimu."
Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Zafar, pria itu hanya tersenyum miring sambil memegangi pipinya."Aku akan membuatmu hancur, Zafar. Ingat itu!" tekan Sinta, kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.Tiga tahun bersama bukan waktu yang singkat, Zafar sangat tau sifatnya seperti apa. Jika memang ada orang yang mengusik, dia tak segan akan membuat orang itu hancur lebur, lalu dia akan tertawa melihat balas dendamnya berhasil.Tapi Zafar tidak takut, akan ia terima apa pun nanti yang akan dilakukan Sinta padanya.Semua warga menatap Zafar yang kembali masuk. Ia meminta untuk segera dinikahkan saja, jangan menunggu apa-apa lagi, karena masalahnya sudah pergi.Pria itu menatao Hilma yang masih memegangi pipi, karena tadi Sinta juga memukul bagian pipi saat mendorong ia sampai jatuh."Atas nama Sinta saya minta maaf."Hilma hanya melirik sekilas pria itu, kemudian memalingkan wajah.Zafar sudah siap mengulurkan tangan, Pak Hasan nampak ragu untuk memulai ijab qobul, ia menatap Hilma yang hanya bisa menangis dalam diam.Karena dorongan dari warga untuk segera dinikahkan, Pak Hasan pada akhirnya menjabat tangan pria itu, kemudian ijab qobul pun dimulai. Pernikahan dilakukan secara siri, karena membutuhkan waktu jika harus menikah secara resmi. Akan tetapi, mereka tidak hanya akan nikah siri saja, pernikahan resmi tetap akan digelar di desa, setelah semua persyaratan selesai.***Setelah dinyatakan resmi menikah siri, Zafar dan Hilma langsung diminta untuk ke Jakarta, menemui orang tua Zafar di sana. Karena jam masih menunjukan pukul delapan malam, sedangkan perjalanan Bandung-Jakarta hanya menghabiskan waktu kurang lebih empat jam, Zafar memutuskan untuk kembali ke kota malam itu juga.Hilma dan Zafar memutuskan untuk ke rumah Pak Hasan dulu, agar gadis itu bisa merapikan pakaian yang ingin ia bawa. Dada Hilma masih terasa sesak, mengapa begitu cepat takdir merubahnya.Hanya dalam sekejap, kini ia sudah menjadi istri orang lain. Yang bahkan orang itu sama sekali tidak Hilma kenal.Setelah menunggu lima belas menit, gadis itu keluar membawa tas yang berisi baju. Zafar yang sedang menunggu kemudian membantu Hilma membawa tasnya. Ia meletakan tas itu di kursi tengah.Zafar menghadap pada Pak Hasan, ia mengulurkan tangan tapi tak Pak Hasan hiraukan. Seorang ayah itu hanya diam, memandangi ke sembarang arah. Sama sekali tidak melirik pria itu. Begitu juga pada Hilma, ia melakukan hal yang sama."Assalamu'alaikum," ujar Hilma, kemudian berjalan menuju mobil. Sebelum naik, ia menatap kembali sang Bapak. Hilma membatin, sesakit itu kah hatinya? Sampai-sampai tidak mau melihat wajah anaknya lagi.Setelah pamit pada semua orang di sana, mobil mulai berjalan, Zafar menyetir sendiri. Sesekali ia melirik Hilma yang hanya diam, kemudian menyeka air mata di pipi.Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Hening.Sampai di rest area, Zafar teringat jika gadis itu dan begitupun dia belum mengisi perutnya sama sekali. Pria itu memutuskan untuk berhenti sekalian mengisi bahan bakar.Menyadari mobil berhenti, Hilma melihat sekeliling, Zafar turun tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Hilma, membuat pikiran gadis itu takut, jika Zafar akan meninggalkannya di sana.Padahal, Zafar sedang memesan satu cup kopi dan juga nasi goreng. Ia kemudian kembali ke mobil setelah membayarnya.Hilma yang sedari tadi khawatir dibuang karena Zafar tak kunjung datang lagi, kini gadis itu merasa sedikit tenang saat pintu mobil terbuka, dan Zafar kembali masuk."A—aku kira, kamu ngebuang aku di sini," katanya pelan."Untuk apa saya ngebuang kamu di sini. Kalau memang mau ngebuang, sudah saya turunkan kamu saat masih di jalanan hutan tadi," jawab Zafar.Kemudian ia menyodorkan sebungkus nasi goreng dan air mineral pada gadis itu. "Makan. Saya baru ingat kalau sejak tadi kamu belum makan."Hilma yang memang juga merasakan lapar sejak tadi, dia tak mementingkan gengsi. Ia mengambil makanan itu, dan berucap terima kasih pada Zafar.Pria itu hanya bergumam.Melihat Hikma menikmati makanan, Zafar sedikit menghela napas. Dalam satu kali pertemuan, yang pada akhirnya mereka dinikahkan. Zafar masih merasa bahwa ini adalah mimpi, sungguh tak pernah terbayang sebelumnya, ia akan menikah di usia 25 tahun dengan gadis desa. Yang lugu dan polos itu.***Sekitar jam dua dini hari, mereka sampai ke rumah orang tua Zafar. Pria itu turun dari mobil untuk membuka pintu garasi, namun dikunci. Ia kembali ke mobil, menelpon sang ibu memintanya untuk membuka kuncinya.Tak lama, Bu Hani, ibunya Zafar keluar, ia membuka gerbangnya, Zafar kembali ke mobil membawa mobil itu masuk."Ayo!" katanya pada Hilma, yang sejak tadi gemetar karena takut jika orang tua Zafar itu tak terima.Hilma memejamkan mata, ia berdoa dalam hati semoga semua baik-baik saja. Gadis itu turun, kemudian memberanikan diri mengulurkan tangan pada Bu Hani. Ibunya Zafar itu menerimanya."A—assalamu'alaikum, Ibu.""Waalaikumsalam. Zafar, bawa dia masuk," ujar Bu Hani, yang masih terkejut setelah mendengar kabar dari sang kakak. Bahwa anaknya itu dinikahkan.Zafar membawa Hilma masuk, kemudian memintanya untuk duduk. Bu Hani pun sudah duduk menghadap mereka berdua."Sudah pada makan?""Sudah," jawab Zafar pelan.Bu Hani ke dapur dulu, ia membuatkan teh hangat untuk mereka. Hilma yang tadi terasa sulit untuk bernapas, ia seakan lega saat Bu Hani pergi dari hadapannya.Gadis itu melirik sekilas ke arah Zafar, yang juga hanya diam membisu. Tangannya saling bertautan, dengan raut wajah yang nampak gusar. Mendengar langkah kaki Bu Hani yang kembali, membuat Hilma kembali menunduk dalam, ia mengatur napas mencoba untuk menenangkan diri."Minumlah, perjalanan kalian jauh. Pasti capek," ujar Bu Hani, sembari meletakan dua cangkir teh manis dan satu toples kue.Hilma masih saja menunduk, ia tak berani mengambil teh manis itu. Sedangkan Zafar menatap sekilas sang ibu, kenapa dia tidak marah dan mengomel, padahal perbuatannya ini sangat fatal.'Mungkin belum,' batin Zafar."Ibu....""Zafar, nanti kamu bawa dia ke kamar kamu, ya. Kalau kalian capek, istirahat saja. Biar ibu bawa minumannya ke atas."Belum sempat Zafar berbicara, Bu Hani sudah lebih dulu memotongnya."Tak perlu, Ibu. Saya bisa membawanya. Maaf, karena sudah merepotkan," ujar Hilma. Ia berusaha tersenyum, walaupun jantungnya sudah berdegup tak karuan.Bu Hilma sedikit tersenyum melihat kesopanan gadis itu. "Siapa namamu?"Hilma meneguk ludahnya sendiri mendengar pertanyaan itu. Bibirnya kelu untuk menjawab karena ketakutan."Hi—Hilma... namanya Hilma, Bu," kata Zafar, ia tau gadis itu sedang sangat ketakutan, terlihat dari tangannya yang saling bertautan dan sedikit gemetar. "Oh... Hilma. Ya sudah, kalian istirahat dulu, sepertinya Hilma sangat lelah." Bu Hani tersenyum pada gadis itu. "Ayo, kamar kita di atas. Bawa tehnya," ajak Zafar, pria itu membawa tas berisi baju Hilma kemudian menaiki tangga. Hilma meletakan teh manis kembali ke nampak, kemudian memngangkatnya. Ia mengangguk pada Bu Hani yang sedari tadi memperhatikannya, membuat Hilma berkeringat dingin dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan. Saat kakinya ingin menaiki tangga, gadis itu lebih dulu menatap ke atas. Andai saja ada kamar kosong yang lain, kecil pun tak apa. Ia lebih baik tidur di sana daripada harus satu kamar dengan Zafar. Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas, kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, ia melihat pintu kamar terbuka, kemudian Hilma masuk ke sana. "Taruh sini aja tehnya," uja
Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah. Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu. ***"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi. "Biasa saja.""Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar. "Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel. "Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar. "Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun. Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyam
Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana. Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia. "Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia. Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika
"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m