Sepanjang perjalanan tanganku dipegang erat olehnya. Ya Allah, kenapa hati ini begitu berat melepaskan dia."Jangan khawatir baby, Mas akan cepat kembali." Katanya disaat terakhir dia akan pergi. "Aku akan menunggumu."Air mataku menetes, entah kenapa tak rela dia pergi jauh. Aku memandang laki-laki yang kini telah sepenuhnya menguasai hatiku itu, sampai tak terlihat lagi punggungnya.*****Dua hari sudah Mas Ahmad disana. Hampir setiap jam dia menghubungiku. Sampai saat ini belum ada kabar baik tentang Raffi. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?Ting![Bu, ada warga yang melihat seorang anak kecil berlari disekitar daerah dipinggir hutan.] pesan dari seorang yang sedang bertugas di lapangan memantau perkembangan.[Coba kamu pastikan. Dan kirim alamat dimana anak itu terakhir terlihat.]Aku bergegas berkemas, aku harus ke sana. Dari pada disini aku bisa mati karena kepikiran Raffi.[Mas, aku berangkat ke daerah P, ada kabar tentang Raffi. Aku harus kesana.] aku mengirim pesan itu
Sesampainya di tempat ditemukannya tas biru itu, aku tersungkur lemas. Hanya tas saja yang teronggok di sana. Dan beberapa bekas darah yang menempel di daun kering."Ya Allah..." Sesak didada makin meraja. Aku meraung sejadi-jadinya. Tak rela jika anakku hilang dengan cara seperti ini."Rin, Istighfar, jangan begini. Raffi pasti masih hidup. Dia tak jauh dari sini, hayo jangan menyerah, Rin."Aku tahu Nana pasti hanya menenangkanku, suaranya juga bergetar."Raffi... Raffi... " aku terus berteriak memanggil anakku itu. Betapa berdosanya aku ya, Allah. Tak menjaga amanah yang Engkau berikan.Hari makin siang, kini bantuan dari relawan pun berdatangan. Seluruh hutan disisir tanpa lelah. Hingga ditemukan gubuk di tengah hutan dan ladang yang ditanami berbagai tanaman. Tapi, tak ada orang disana. Rumah yang tak terkunci itu digeledah, dan ditemukan bekas baju koko anak yang sudah robek-robek bercampur warna darah yang juga sudah mengering."Raffi pasti disini, Raffi ada disini." tangisku
Aku yang tengah berbaring terlonjak bangun."Ya Allah, Alhamdulillah... dimana dia? Bagaimana keadaannya?" tanyaku tak sabar."Sekarang dilarikan ke rumah sakit, Bu. Keadaannya lemas, Raffi ditemukan warga didepan rumahnya dengan luka dan hampir tak sadarkan diri, Bu.""Ya Allah." desisku. Badanku gemeteran ada rasa syukur, bahagia dan sedih dalam satu waktu. Dengan cepat aku dan Nana berangkat menuju rumah sakit yang dimaksud.Raffi masih terbaring di atas brangkar rumah sakit, di tangannya sudah terpasang infus. Wajahnya pucat dan kurus. Aku meraih tangan Raffi, dan menciumnya berkali-kali.Ya Allah, keadaan seperti apa yang dia hadapi diluar sana pasti sangat berat dan sulit, maafkan Ibu, Nak. Aku sangat bersyukur bisa menemukan Raffi kembali walau dalam keadaan yang memprihatinkan.Tiga jam Raffi tertidur pulas. Mungkin efek obat yang diberikan dokter."Bu..." panggil Raffi lemah. Aku yang masih memakai mukena setelah sholat Maghrib bergegas bangun."Sayang, ini Ibu, Nak." tak kua
Mendengar suara wanita dikamar suamiku, mendadak oksigen didada menipis. Lahar panas serasa sedang mengalir dialiran darahku. Kami masih pengantin baru. Tak mungkin rasanya Mas Ahmad mempermainkanku.Hari ini aku berangkat ke Taiwan bersama Raffi, aku ingin mencari kepastian. Keberangkatanku tentu saja tanpa sepengetahuan Mas Ahmad."Kamu yakin, Rin?" tanya Nana meragukanku.Aku mengangguk cepat."Hidup itu sebuah kepastian, Na. Aku ingin memastikan semuanya. Aku tak takut jika harus menjadi janda untuk kedua kalinya, dari pada mempunyai suami tapi mengkhianati." Nana memelukku, air matanya berurai.Nana sedari dulu tahu bagaimana aku berjuang. Sepertinya kepahitan hidup enggan melepaskanku."Sudah Na, jangan nangis ah. Aku sudah biasa berteman lara, dari dulu." kelakarku garing.Tangis Nana makin kencang."Rin, kalau ada apa-apa kabari aku. Kembalilah Rin, aku akan menemanimu bagaimana pun keadaanmu." ucapan tulus Nana memancing bening di mata turun tanpa permisi."Makasih ya Na, kam
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te
"Kenapa baru menghubungi saya sekarang!" sesalnya dengan nada tinggi.Tanpa sempat menjelaskan, dokter itu telah menghubungi ambulance agar segera menjemput kesini.Mas Ahmad langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan akhirnya ikut bersama Mas Ahmad ke rumah sakit.Sesampainya disana, infus segera dipasang. Aku terduduk diluar karena belum diperbolehkan masuk.Hari sudah menjelang sore. Aku teringat Raffi yang dihotel sendirian. Segera aku menghubungi anakku itu, khawatir dia menelepon Mama dan Papa dan masalah makin runyam."Assalamu'alaikum, maaf Bu. Raffi ketiduran." ujar Raffi setelah beberapa kali panggilanku tak dijawab."Wa'alaykumussalam, oh syukurlah. Ibu kira kamu kemana, Nak. Raffi, udah makan?" "Alhamdulillah sudah, Bu. Tinggal sholat ashar yang belum, karena ketiduran." kekehnya."Ya sudah, setelah ini sholat ya. Oh ya, Ibu pulang agak malam. Raffi gapapa kan disana?" tanyaku memastikan."Gapapa, Bu. Aman InsyaAllah."Hatiku terasa lega. Aku bis
"Karina, Jianheeng memang dulu kami jodohkan dengan Liu. Berharap Liu bisa melupakan Lian, mendiang istrinya. Tapi, kami tak pernah memaksa Liu. Karena Liu sendiri tak pernah peduli dengan Jianheeng."Papa menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi. Kami sedang duduk dikursi panjang lorong rumah sakit pagi ini."Papa curiga, Jianheeng memasukkan obat tidur dosis tinggi kepada Liu. Agar bisa merebut Liu dari Karina, dengan cara tak pantas. Papa akan menyelesaikan semua. Papa janji. Tapi, Papa sangat berharap jangan tinggalkan Liu. Papa tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Karina meninggalkan Liu."Papa memijit keningnya, wajah tua itu tampak begitu lelah. Semalam beliau yang menjaga Mas Ahmad sendirian."Karina, Ahmad sangat mencintaimu. Papa bersumpah dengan nama Allah, bahwa anak Papa tulus mencintai Karina. Dia tak akan berani macam-macam. Papa jamin itu, jika dia berbuat yang tidak-tidak, Papa yang akan membuat dia menyesal seumur hidup."Air mata
Jianheeng menatapku tajam, aroma ketakutan di wajahnya mulai memudar. Berganti wajah penuh kebencian."Kau baru mengenal Liu, Jangan berharap kau bisa mendapatkannya, dengar itu! Sebelum kau datang Aku sudah lebih dahulu mendapatkan hatinya. Jangan berbangga hati jika kamu sekarang menjadi istrinya. Karena nanti kau akan menangis ditinggalkan olehnya, dasar wanita kampungan!"Jianheeng menghempaskan tanganku dan berlalu dengan meninggalkan tatapan yang penuh kebencian. Namun Aku tak tinggal diam dengan cepat aku menarik tangannya kembali."Jangan pernah mimpi kau kan dapatkan Ahmad wanita murahan!" "Kau tak akan mendapatkan Mas Ahmadku. Persiapkan saja dirimu untuk sebuah kekecewaan!" LanjutkuLalu aku melepaskan tangan wanita itu sehingga dia tersungkur ke lantai. Aku pun meninggalkannya tanpa mempedulikan dia yang meringis kesakitan. Tekat ini sudah bulat aku tidak akan melepaskan atau membiarkan suamiku diambil lagi.Tak lama Mas Ahmad keluar dia sedikit heran melihat wajahku masi