***Aku terkekeh, "Aku takut? Rasa takut itu bahkan telah menguap bersama dengan luka-luka yang sudah dia ciptakan," ujarku.Bu Wira mengusap lenganku lembut. Setelah sadar, aku menutup mulut dan mengusap sudut mata yang sedikit berair."Duh, maaf, Bu, Mas Kevin. Tadi ... anu ... kelepasan. Malah curhat."Keduanya tertawa melihat kegugupan yang kutunjukkan. Baru kali ini aku melihat Kevin tertawa dan bersikap seperti pria baik-baik, padahal sejauh yang kudengar, dia adalah sosok yang suka bermain perempuan. Entah benar atau tidak, aku tidak peduli."Santai saja, Mbak. Kalau butuh teman curhat, pundakku siap untuk kau jadikan sandaran," ucap Kevin dengan mengedipkan satu matanya.Bu Wira menonjok lengan Kevin dengan keras. Pria itu sampai dibuat meringis dan mengusap-usap lembut bekas tonjokan Sang Ibu."Sana pergi!" usir Bu Wira mendelik.Kevin mendengkus, "Ayolah, Ma. Karyawan cantik kayak dia sepertinya cocok untuk dijadikan menantu di rumah ini."Aku mendongak. Menatap tidak percay
FLASHBACK OFF ....***Sejak pukul lima pagi aku sudah datang di tempat Bu Wira. Ada sekitar tiga karyawan lain yang sudah datang lebih dulu. Mang Husen, Kang Jono, Yu Srina, dan aku. Kita berjualan di komplek yang berbeda."Apa diantara kalian ada yang mau menggantikan Hana berjualan di komplek ini?" tanya Bu Wira pada ketiga karyawan yang lain.Mereka saling pandang, lalu bersamaan menggelengkan kepala. Aku mendesah lirih, sudah kutebak jika salah satu dari mereka tidak akan ada yang mau menggantikan berkeliling di komplek tempatku berjualan. Mereka memilih berkeliling di tempat yang mereka anggap lebih dekat dari tempat tinggal. "Tidak apa-apa, Bu, saya lanjut saja jualannya," sahutku tak enak hati."Emang kenapa mau tukar, Han? Kamu malu ketemu mantan suamimu yang kaya itu?" selidik Yu Srinah.Aku menggelengkan kepala samar. Sejak pertama aku bergabung di rumah sayuran milik Bu Wira, Yu Srinah sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Ya. Kami menamai tempat ini dengan rumah say
FLASHBACK ON ....***"Tempe sama tahu terus, Han. Nggak bosen?" ujar Mbak Juli saat melihat tanganku memilih tempe di depannya."Enggak, Mbak. Memang bisanya beli ini," sahutku datar."Duh, Han. Hati-hati Ari berpaling loh. Kamu nggak bisa banget ngatur uang bulanan ya?" selidiknya.Aku menghela napas kasar, "Kenapa sibuk ngurusin saya, Mbak? Emang Mbak Juli tau berapa banyak suami saya ngasih uang belanja. Enggak kan?" ucapku dengan suara bergetar.Mbak Juli mencebik, terlihat dari kejauhan Ibu berjalan bersisian dengan Mbak Risa menuju ke arah dimana kami para ibu-ibu berkerumun di depan gerobak sayur Kang Parmo, karyawan Bu Wira selaku pemasok sayuran di kota ini."Wah, mertua sama menantu yang satu ini emang nggak terpisahkan ya?" sindir Mbak Juli melirik ke arahku."Sudah, Kang. Tolong dihitung ya!""Buru-buru amat, Han. Kamu malu sama Mbak?" Mbak Risa menarik tanganku dengan kasar. Mau tidak mau aku mundur dan berdiri di sampingnya. "Coba lihat, Mbak Jul, aku sama Hana emang ba
***"Lama banget! Ayo, udah telat nih!" Aku mengekor di belakang Kenan. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Aku yang hendak membuka pintu belakang sontak berjingkat saat lelaki dingin itu berbicara, "Emang aku sopir? Duduk depan!" pintanya.Aku menurut, daripada gagal mendapat pekerjaan bagus. Kulihat Bu Wira tersenyum dan melambaikan tangannya pada Kenan sebelum akhirnya mobil yang kami tumpangi benar-benar menjauhi rumah megah mereka.Ckitt ...!!!Jdug ...!!!Keningku terkantuk dasbor mobil saat Kenan menghentikan lajunya dengan tiba-tiba."Hei! Turun kamu, udah tau ini di kawasan komplek tapi bawa mobil nggak hati-hati!" Teriak seorang wanita dengan menggedor kaca mobil Kenan.Lelaki di sebelahku mendesah. Lalu membuka pintu mobil dan keluar menemui ...."Mbak Juli? Astaga ... kenapa harus berurusan dengan Mbak Juli?" Aku turut membuka pintu. Kulihat mulut Mbak Juli menganga saat aku keluar dari mobil mewah milik Kenan."Lain kali jangan biarkan anak kecil menyebe
***"Keterlaluan kamu, Han!" pekik Mbak Risa kesal.Aku mengibaskan tangan. Lalu dengan tenang menunjuk dada Mbak Risa dengan satu telunjuk, "Pasti disana ada banyak tanda merah, iya kan? Apa Bu Heni mau lihat?"Mbak Risa mendelik. Dia menatap Mas Ari dengan tatapan mengiba. Sementara Mbak Juli dan Yu Tikah sejak tadi memilih diam setelah melihat aku berani melawan mereka."Jangan kurang ajar, Hana! Kamu sudah mempermalukan Mbak Risa, sadar kamu?" bentak Mas Ari.Aku mengangguk mantap dan tersenyum tipis di depan mantan suamiku itu."Oh, tentu saja aku sadar. Tapi apa kamu masih punya rasa malu, Mbak?" Wajah Mbak Risa memerah, entah malu, entah marah aku tak tau. Tapi melihat hal itu tentu saja membuatku puas sekali. Teringat saat dia menghinaku dulu hingga membuatku begitu malu jika bertemu dengan para tetangga.FLASHBACK ON ...."Aduh, Hana ... penampilan kamu udah kayak pembokat aja sih," celetuk Mbak Risa ketika aku sedang menyapu halaman rumah. "Aku aja yang suamiku kerja jauh t
Flashback off ..."Cukup, Hana! Aku nggak terima dipermalukan di depan Ibu, asal kamu tau ... tanda merah ini karena ....""Karena kerokan?" sela-ku terkekeh, "Ayolah, Mbak Risa ... apa kamu pikir kami semua anak kecil?"Mbak Risa gelagapan. Dia mencengkeram lengan Mas Ari dengan menatap tajam ke arahku."Ayo pergi, buang-buang waktu ngeladenin orang seperti mereka."Mas Ari mendorong kasar bahu Kenan. Lelaki itu hanya diam tapi tatapan matanya tidak lepas dari wajah mantan suamiku. Dikibaskan bekas tangan Mas Ari di jas hitam miliknya."Memang kami orang yang seperti apa menurutmu? Jangan mentang-mentang kamu bawa mobil lalu bisa seenaknya menghina kami," seru Mas Ari marah. "Asal kamu tau, aku juga punya mobil, pekerjaan mapan. Dan yang paling menggelikan, kamu jalan sama mantan istriku ... bekasku!" Mas Ari menarik sudut bibirnya."Keputusan yang tepat kamu bisa bercerai dari lelaki gila ini. Ayo kita pergi, aku ada pertemuan dengan klien.""Kurang ajar!" Mas Ari mendekat dan melay
Flashback off ....***"Cantik," gumam Kenan lirih. Tapi sayang, aku mendengar pujian yang dia lontarkan sekalipun suaranya pelan sekali."Bungkus yang ini, Mbak!" Aku diam, karena kurasa baju yang baru saja kucoba memang terlihat begitu elegan. Baju dengan panjang semata kaki dan tanpa lengan, juga terdapat belahan yang tidak terlalu panjang di bagian dada membuat baju berwarna merah itu terlihat begitu menggoda. Aku suka. Karena merah adalah warna kesukaanku.Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran, Kenan berjalan lebih dulu dengan meninggalkanku di belakang membawa kantong tas berisi baju baruku. "Kita cari heels yang cocok untuk kakimu."Aku dibuat menganga untuk yang kedua kalinya. Sebenernya pekerjaan apa yang akan dia berikan?Tanpa membantah lagi aku mengangguk. Sudah kubilang, wanita itu suka kemewahan apalagi yang berbau gratis seperti sekarang, tentu saja aku tidak menolak, kecuali Kenan memiliki niat buruk, aku tidak segan-segan membuang semua pemberiannya.Satu tas b
***Kepalaku celingukan mencari sosok Kenan yang tadi berjalan di depanku. Kemana dia? Kenapa justru menghilang saat aku bertemu dengan dua manusia tidak tau malu ini?"Kamu cantik sekali, Han," lirih Mas Ari."Ar!" pekik Mbak Risa tertahan. "Kamu apa-apaan sih pake segala muji-muji dia!" Mbak Risa terdengar kesal bahkan tangannya yang tadi mengamit mesra lengan Mas Ari kini sudah terlepas dan bersedekap dada."A -- Apa, Mbak?"Mbak Risa membuang muka. Terlihat jelas sekali dadanya naik turun seperti sedang menahan marah."Kamu pasti nyelinap masuk sini, kan? Mau ngapain ... jangan-jangan mencuri makanan-makanan enak. Ayo ngaku!" tuduh Mbak Risa. "Orang kampung seperti kamu itu nggak pantas ikut pesta mewah orang-orang besar seperti ini, Hana!" Suara Mbak Risa mengundang beberapa mata menatap bingung ke arah kami.Tidak kupedulikan ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Mbak Risa. Mataku celingukan mencari Kenan di kerumunan orang-orang berpakaian mewah yang hadir di pesta besar in