***"Ada banyak khilaf ulama tentang pernikahan ketika hamil. Islam itu mudah dan jangan dipersulit, maka kita ambil hukum yang mudah dicerna oleh akal dan pikiran kita sebagai manusia. Pernikahan ini makruh menurut Imam Syafi'i, tapi jika Nak Kevin ragu dan ingin melakukan pernikahan ulang setelah Anita melahirkan, maka silahkan datang pada saya nanti," tutur Pak Penghulu dengan jelas.Kevin dan semua anggota keluarga pun mengangguk mengerti. Beberapa tamu undangan sudah meninggalkan lokasi dan tersisa kerabat dekat saja yang sedang berkumpul untuk menyemai rindu."Terima kasih atas wejangannya, Pak."Pak Penghulu mengangguk sebelum kemudian pamit undur diri dan menyisakan keluarga yang tengah bercengkrama di ruang tamu rumah Anita."Itulah pentingnya menjaga harga diri, jangan sekali-kali kamu mengikuti jejak Anita, Del! Bikin malu keluarga!" hina Minah-- Nenek Anita dari pihak sang ayah. "Beruntung ada pria yang mau menikahinya, kalau enggak ... apa nggak bakalan malu Fajar punya c
***Sejak pulang dari rumah Risa, Ari enggan kembali ke rumahnya. Dia menginap di hotel untuk menenangkan diri karena perasaan kesal masih bersemayam dalam hati. Bagaimana tidak, ia dipecat secara tiba-tiba dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal. Attitude-nya selama bekerja memang terbilang buruk, belum lagi issu tentang dirinya yang menghamili dua wanita sekaligus sudah merebak di kalangan pada staf yang lain.Kenan mungkin terdengar seperti tengah mencari-cari kesalahan yang ada pada diri Ari. Tidak bukankah dia berhak menentukan staf mana yang pantas bertahan di Perusahaan miliknya? Apalagi nama baik Perusahaan sedang dipertaruhkan karena masalah yang Ari perbuat. Kenan tidak mau masalah yang Ari ciptakan justru membuat kerugian besar pada Perusahaan miliknya. Jalan satu-satunya adalah memberhentikan pria itu dan membersihkan nama baik Perusahaannya."Gue butuh bantuan. Lo dimana?""Wah, ada angin apa seorang staf Perusahaan terkemuka menghubungi pria pengangguran sepertik
***"Apaan sih, Stef!" gerutu Kenan kesal. "Genggam jemari doang, lagipula tidak pantas air mata Hana mengalir untuk pria gila itu!""Siapa yang nangis?" tanya Hana sewot. "Aku cuma kesal saja, Mas. Sebenarnya mau dia itu apa sih?""Biarkan saja. Kalian berdua fokus pada pernikahan minggu depan. Buat apa mikirin hal nggak guna begini, toh semakin kamu ladenin, semakin pria itu gencar membuat Hana hancur."Kenan duduk dengan bersedekap dada sementara Hana mengangguk-angguk menyetujui ucapan Stefa. Setelah perbincangan tersebut, tiga orang itu mulai membahas rancangan gaun pernikahan mulai dari seluruh anggota keluarga bahkan beberapa teman dan saudara yang akan menjadi bridesmaid. ***"Brengsek!" umpat Ari setelah memasuki kamar hotelnya. "Rasanya ingin sekali kutonjok mukanya sok kaya itu!" "Mau cari kerja dimana aku sekarang, sementara cicilan mobil masih lama lunasnya."Dia terduduk di tepi ranjang dengan memijit pelipisnya. Tabungannya semakin menipis karena banyak terpakai beber
***PoV Ari"Ada apa lagi kamu datang kemari?" tanya Mas Adrian.Aku melengang masuk ke dalam rumah dan meletakkan satu koper di sembarang tempat. Kulihat Mas Adrian mengikuti langkahku dengan ekor matanya. Peduli setan! Aku hanya ingin kembali ke rumah Ibu."Mana Ibu, Mas?"Mas Adrian menutup pintu dan meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Dia memasuki kamarnya dan menutup pintunya dengan keras."Bu!" Aku memanggil-manggil ibu tapi tidak ada sahutan. Pelan-pelan kulangkahkan kaki menuju kamar Ibu. Samar-samar kudengar suara tangis yang berasal dari dalam sana. Aku yakin, sekarang Ibu pasti sedang menangisi kepergianku. Ibu kira aku tidak akan pulang, tapi siapa yang mau hidup terlunta-lunta apalagi aku sekarang resmi menjadi pengangguran.Ceklek ..!!!Ibu menoleh. Kedua matanya melotot melihat kedatanganku. "Kenapa kamu pulang lagi, Ar?"Aku mengerutkan kening. "Memangnya ibu nggak suka aku pulang kesini?"Ibu mengusap bekas air matanya di pipi. Dia meletakkan tumpukan kertas di at
***PoV IIIMotor yang Hana tumpangi oleng ke kanan ketika ada sebuah mobil yang sengaja menghimpit jalannya. Sebuah motor matic berwarna merah yang ia pinjam dari tetangga kontrakannya itu terjatuh tepat di pinggir jalan yang sepi."Aduh!" adunya sembari berusaha berdiri dan mengibas tanah yang menempel di sikunya. "Jalanan cukup lebar, kenapa mobil ini ...."Ucapan Hana terhenti ketika seorang pria dengan perawakan sangar keluar dari dalam mobil seraya menggenggam pisau kecil di tangannya.Jantung Hana berdegup kencang. Ingin berlari, tapi jalanan yang ia lewati kebetulan hanya ada bentangan rumah yang belum jadi dan persawahan yang kebetulan akan dibuat kompleks baru.Tidak ada orang berlalu lalang karena hari menunjukkan pukul 12 siang. Dimana siang begini kebanyakan orang-orang menghabiskan waktu mereka dengan merajut mimpi untuk memanjakan rasa lelah akibat setengah harian yang disibukkan dengan pekerjaan rumah dan para bapak juga bekerja."Si-- siapa kamu?""Masuk atau aku poto
***Hana mengerjap berulang kali mencoba menekan rasa pening di kepalanya. Air matanya tiba-tiba meleleh ketika dia berhasil mengingat apa yang sedang terjadi. Apalagi ruangan tempat ia disekap merupakan gudang bekas dengan banyak debu. Ingin menjerit, tapi mulutnya disumpal menggunakan lakban berwarna hitam. Kedua tangan dan kakinya di ikat kuat menimbulkan bekas kemerahan di sana. Hana menangis, lebih tepatnya merintih karena merasakan perih di sekujur tubuhnya.Saat wanita cantik itu sedang meratapi nasibnya, sebuah pria masuk melewati pintu yang kondisinya sudah sangat memprihatikan. Engselnya lepas di bagian atas sehingga membuat pinggiran pintu itu menganga ketika dibuka lebar."Wow ... kamu sudah sadar, cantik?"Hana membuang muka. Masih menjadi pertanyaan mengapa dirinya diculik sementara harta saja ia tidak punya. Bahkan Hana menyadari jika motor yang ia pinjam dibiarkan tergeletak di pinggiran jalan."Lapar? Makanlah!" Pria itu menyodorkan sepiring nasi goreng dengan aroma
***"Risa ...!!!"Heru membuka pintu rumah dengan terburu-buru. Melihat siapa yang berdiri dengan pongah seketika emosinya tersulut."Kemana Risa, Pak?""Rendahkan suaramu!" "Risa!" teriak Ari tanpa peduli ucapan Heru yang penuh perkenankan. "Keluar kamu, pencuri!""Jaga mulutmu, Ari!" bentak Heru tak kalah lantang. "Berani sekali kamu ....""Dia memang pencuri! Risa, keluar kamu!"Bugh ....Heru melayangkan satu tinju tepat di perut Ari. Pria itu tersungkur di halaman sambil meringis memegangi perutnya yang seketika terasa kram.Mendengar keributan dari luar, Faridah tergopoh-gopoh berlari dan betapa terkejutnya ia melihat Sang Suami menghajar calon suami putrinya sendiri.Belum sempat Ari berdiri, Heru kembali beraksi dan kini beralih pada rahang calon menantunya. Bugh ...."Berani sekali kamu!" gerutu Heru. "Coba kemarin suaramu selantang ini saat kuminta untuk menikahi Risa, dasar pengecut!""Pak ... sudah, Pak! Lepaskan!"Faridah mencengkeram lengan suaminya dan membawa Heru me
***"Aku nggak mau tau, kamu harus melunasi semua cicilan Bank!"Risa terpaku di tempat dengan air mata yang mengucur deras."Kuberi waktu sampai esok pagi, kalau sampai uang itu belum ada, kujual rumah Bapak dan Ibumu!""Tidak bisa gitu, Ar!" "Kenapa tidak bisa? Kau saja bisa menggadai sertifikat rumah Ibu, jadi sah-sah saja kalau aku menjual rumah ini," seru Ari sembari berkacak pinggang."Kau gila, Ari!"Ari membuang muka. Sebenarnya ia pun tidak yakin bisa menjual rumah Risa karena Heru sudah pasti tidak akan tinggal diam. Tapi ini semua ia lakukan hanyalah sebatas ancaman agar Risa memutar otak dan mendapatkan uang untuk menebus sertifikat rumah Ibunya."Kau bahkan ikut menikmati uang itu!""Itu karena aku tidak tau! Andai aku tau semua uang yang kau gunakan selama ini ternyata hasil dari menggadai harta Ibu, sudah pasti aku menolaknya," elak Ari sengit. "Besok pagi aku kesini dan uang itu harus ada, jika tidak ... aku dengar kan apa kataku tadi?"Ari meninggalkan Risa yang terp