Share

Part 4

"Mbak, lauknya sudah habis, buruan beli di warungnya Bu Yuyun dong, masa iya aku makan cuma pakai sayur bening doang," ujar Nina pada Aretha yang sedang menyetrika baju.

"Nggak bisa, aku lagi nyetrika. Kamu aja sendiri yang beli," sahut Aretha tanpa menoleh.

"Nggak mau, nanti kalau Nilna nangis gimana?"

"Ya biar aku yang urus. Mangkanya mumpung sekarang Nilna masih tidur, kamu buruan pergi."

"Nggak ah, Mbak. Kamu aja yang beli, atau kalau kamu nggak mau, aku laporin ke Ibu nih."

"Ya udah laporin aja sana," balas Aretha santai.

Tanpa mengulur waktu, Nina pun langsung memanggil ibunya yang sedang bersantai di dalam kamar.

"Bu, ... Ibu! Mbak Retha nih nggak mau beli lauk!" teriak Nina yang persis seperti anak kecil jika merengek minta sesuatu.

Aretha menghela napas, namun ia tidak mempedulikan Nina dan masih asyik melanjutkan pekerjaannya.

"Bu, ....!"

"Ish, apaan sih kamu ,Nin. Teriak-teriak mulu, anakmu kan lagi tidur."

"Ini lho Mbak Retha nggak mau beli lauk, padahal lauknya sudah habis."

Yuni mendesah, lalu dengan angkuh ia mengatakan, "Retha, buruan beli lauknya. Nina sudah lapar, kasihan dia, dia kan lagi menyusui."

Retha dengan santai mematikan stop kontak, lalu kemudian ia menadahkan tangannya. "Baik, kalau begitu mana uangnya, aku akan belikan."

"Heh, ngapain minta uang ke Ibu, ya kamu pakai uang kamu sendiri lah ...."

"Nggak ada, uangku sudah kuatur buat beli bahan masakan besok dan seterusnya, dan kalau kalian nggak mau kasih aku uang, ya kalian makan seadanya itu aja."

Mendengar jawaban Aretha, Yuni dan Nina sontak mengerucutkan bibirnya. Lalu kemudian Yuni mengatakan, "Nina, cepat kasih uangmu, uang Ibu sudah habis."

"Ibu, uangku kan sudah buat keperluan Nilna juga, masa iya masih  harus beli buat kebutuhan dapur juga."

"Hei, Nina. Kamu kan makan di sini juga, masa iya nggak pernah bantu buat keperluan rumah. Lagi  pula, suamimu itu kerja di luar negeri, pasti uang kirimannya kan juga nggak sedikit."

Mendengar perkataan Aretha, Nina sontak menghentakkan kakinya karena kesal, lalu kemudian dengan terpaksa ia pergi ke kamarnya untuk mengambil uang.

Lalu tidak lama kemudian Nina kembali ke depan kamar Aretha dengan membawa selembar uang seratus ribu, lalu kemudian ia menyodorkan uang tersebut dengan kasar. "Nih, tapi kembaliannya jangan lupa dikasihkan ke aku lagi."

"Iya, kamu jangan khawatir," sahut Aretha seraya tersenyum, lalu kemudian ia langsung pergi ke warung.

Sesampainya di warung, Aretha melihat beberapa macam lauk yang sudah tidak selengkap pagi tadi, sembari melihat pilihan lauk tersebut, Aretha kemudian jadi dapat ide buat beli lauk apa?

"Bu, pindangnya satu rantang betapa?"

"Tiga ribu lima ratus, Reth. Tapi, kalau kamu mau ambil semuanya, Ibu kasih tiga ribu deh."

"Hah, yang bener, Bu?"

Bu Yuyun sontak mengangguk, sebab kalau sudah sore begini dan dagangannya tinggal sisa tadi pagi, Bu Yuyun memang suka mengobral dagangannya, agar besok semua dagangannya kompak menjadi baru lagi.

Sedangkan Aretha tentu sangat senang bukan main, apalagi yang ia gunakan saat ini bukanlah uangnya sendiri, jadi kapan lagi dia bisa belanja tanpa perlu repot memikirkan uang belanja untuk besok lagi.

Lalu dengan cepat Aretha segera mengambil delapan rantang ikan pindang tersebut, dan sebagian ikan pindang ini nantinya ia akan masak menjadi ikan pindang kuah pedas.

Sesampainya di rumah, Aretha buru-buru memasak ikan pindang tersebut, dan setelah masakannya matang, tidak lama kemudian Nina keluar dari kamarnya  untuk makan.

"Lho, Mbak. Beli pindangnya kok banyak banget? Kan hanya dibuat untuk makan malam saja, lalu kenapa ini--"

"Ya sebagian lagi kan bisa dibuat makan besok, lagi pula ini tadi mumpung dikasih murah sama Bu Yuyun, jadi aku ambil saja semuanya. Oh ya, ini kembaliannya."

Bibir Nina mengerucut ketika menerima uang kembalian dari Aretha, ia tentu kesal karena sekarang uangnya dipakai untuk makan sekeluarga, padahal biasanya ia hanya menggunakan uang kiriman dari suaminya untuk membeli keperluannya sendiri dan juga anaknya saja.

"Huh, pokoknya aku nanti harus minta ganti sama Mas Fauzan," gerutu Nina dalam hati.

Dan benar saja, sesampainya Fauzan pulang ke rumah, Nina sudah menunggunya di teras.

"Mas, minta uangnya dua puluh empat ribu dong, tadi Mbak Retha belanja lauk pakai uang aku," ujar Nina seraya menadahkan tangannya.

"Kamu ini apaan sih, uang dua puluh empat ribu aja minta ganti, toh lagi pula kamu juga ikut makan."

"Ya tapi kan--"

"Halah, udah. Kalau kamu masih ngotot minta ganti, nanti akan aku laporin ke suamimu kalau kamu sering belanja barang branded diam-diam."

Mendengar ancaman dari kakaknya, Nina sontak diam, sedangkan Nina yang sedang berada di ruang tamu, diam-diam ia tertawa ketika mendengar hal ini.

"Syukurin, salah siapa mau menang sendiri, dan pokoknya mulai saat ini, tidak akan kubiarkan mereka membodohiku habis-habisan," batin Aretha yang merasa puas.

Beberapa tahun hidup bersama, namun hanya dirinya sendiri yang menderita, tentunya tidak adil bukan? Jadi salahkah Aretha melakukan hal ini?

"Assalamu'alaikum, tumben sudah cantik, kamu mau pergi ke mana?" tanya Fauzan setelah ia memasuki rumah.

"Mau pergi ke kondangan, Mas. Sama Lina, tapi aku nanti pulang  malam ya, soalnya disuruh nemenin Lina beli baju juga."

"Oh, iya. Kalau begitu hati-hati."

Lina adalah sahabat Aretha sejak mereka berdua mulai duduk di bangku SD, persahabatan mereka terus terjalin hingga mereka masing -masing menikah, dan Lina juga mendapatkan suami yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya Fauzan.

Lalu tidak lama kemudian Lina menyusul Aretha ke rumahnya, mereka berdua berboncengan motor dan pergi ke acara pernikahan teman sekelas mereka dulu.

Sedangkan di dalam rumah, setelah kepergian Aretha, Fauzan buru-buru pergi mandi, lalu setelah mandi ia kembali sibuk dengan ponselnya sendiri.

Saking sibuknya Fauzan, ia bahkan tidak mempedulikan Vano yang baru saja pulang mengaji, bahkan di saat Vano sedang belajar pun Fauzan tidak mau mendampingi untuk membantunya belajar.

"Yah, jawaban soal yang ini gimana ya? Vano nggak ngerti."

Vano lantas menoleh ke arah ayahnya karena pertanyaannya tidak dijawab, lalu kemudian ia memanggil Fauzan lagi. 

"Yah, ...."

"Apaan sih, Van. Kamu kok berisik banget, Ayah lagi sibuk nih, kalau kamu nggak bisa tanya ke Tante Nina saja," sahut Fauzan kesal.

Vano mendesah, tantenya mana mau mengajarinya, sedangkan orang satu-satunya yang mau mengajarinya belajar selama ini adalah ibunya. Namun, saat ini Aretha sedang tidak ada di rumah.

"Ya sudah, kalau begitu aku jawab asal saja," gerutu Vano kesal, namun meskipun Vano mengatakannya dengan nada keras, Fauzan tetap tidak mempedulikan keluhannya, bahkan ayahnya itu saat ini sedang melihat ponsel sembari tersenyum-senyum sendiri.

"Ish, mana ada orang sibuk senyum-senyum gitu, biasanya kan kalau orang lagi sibuk mukanya kan serius," batin Vano seraya menatap tajam Fauzan, saat ini ia benar-benar kesal dengan ayahnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status