"Mbak, lauknya sudah habis, buruan beli di warungnya Bu Yuyun dong, masa iya aku makan cuma pakai sayur bening doang," ujar Nina pada Aretha yang sedang menyetrika baju.
"Nggak bisa, aku lagi nyetrika. Kamu aja sendiri yang beli," sahut Aretha tanpa menoleh."Nggak mau, nanti kalau Nilna nangis gimana?""Ya biar aku yang urus. Mangkanya mumpung sekarang Nilna masih tidur, kamu buruan pergi.""Nggak ah, Mbak. Kamu aja yang beli, atau kalau kamu nggak mau, aku laporin ke Ibu nih.""Ya udah laporin aja sana," balas Aretha santai.Tanpa mengulur waktu, Nina pun langsung memanggil ibunya yang sedang bersantai di dalam kamar."Bu, ... Ibu! Mbak Retha nih nggak mau beli lauk!" teriak Nina yang persis seperti anak kecil jika merengek minta sesuatu.Aretha menghela napas, namun ia tidak mempedulikan Nina dan masih asyik melanjutkan pekerjaannya."Bu, ....!""Ish, apaan sih kamu ,Nin. Teriak-teriak mulu, anakmu kan lagi tidur.""Ini lho Mbak Retha nggak mau beli lauk, padahal lauknya sudah habis."Yuni mendesah, lalu dengan angkuh ia mengatakan, "Retha, buruan beli lauknya. Nina sudah lapar, kasihan dia, dia kan lagi menyusui."Retha dengan santai mematikan stop kontak, lalu kemudian ia menadahkan tangannya. "Baik, kalau begitu mana uangnya, aku akan belikan.""Heh, ngapain minta uang ke Ibu, ya kamu pakai uang kamu sendiri lah ....""Nggak ada, uangku sudah kuatur buat beli bahan masakan besok dan seterusnya, dan kalau kalian nggak mau kasih aku uang, ya kalian makan seadanya itu aja."Mendengar jawaban Aretha, Yuni dan Nina sontak mengerucutkan bibirnya. Lalu kemudian Yuni mengatakan, "Nina, cepat kasih uangmu, uang Ibu sudah habis.""Ibu, uangku kan sudah buat keperluan Nilna juga, masa iya masih harus beli buat kebutuhan dapur juga.""Hei, Nina. Kamu kan makan di sini juga, masa iya nggak pernah bantu buat keperluan rumah. Lagi pula, suamimu itu kerja di luar negeri, pasti uang kirimannya kan juga nggak sedikit."Mendengar perkataan Aretha, Nina sontak menghentakkan kakinya karena kesal, lalu kemudian dengan terpaksa ia pergi ke kamarnya untuk mengambil uang.Lalu tidak lama kemudian Nina kembali ke depan kamar Aretha dengan membawa selembar uang seratus ribu, lalu kemudian ia menyodorkan uang tersebut dengan kasar. "Nih, tapi kembaliannya jangan lupa dikasihkan ke aku lagi.""Iya, kamu jangan khawatir," sahut Aretha seraya tersenyum, lalu kemudian ia langsung pergi ke warung.Sesampainya di warung, Aretha melihat beberapa macam lauk yang sudah tidak selengkap pagi tadi, sembari melihat pilihan lauk tersebut, Aretha kemudian jadi dapat ide buat beli lauk apa?"Bu, pindangnya satu rantang betapa?""Tiga ribu lima ratus, Reth. Tapi, kalau kamu mau ambil semuanya, Ibu kasih tiga ribu deh.""Hah, yang bener, Bu?"Bu Yuyun sontak mengangguk, sebab kalau sudah sore begini dan dagangannya tinggal sisa tadi pagi, Bu Yuyun memang suka mengobral dagangannya, agar besok semua dagangannya kompak menjadi baru lagi.Sedangkan Aretha tentu sangat senang bukan main, apalagi yang ia gunakan saat ini bukanlah uangnya sendiri, jadi kapan lagi dia bisa belanja tanpa perlu repot memikirkan uang belanja untuk besok lagi.Lalu dengan cepat Aretha segera mengambil delapan rantang ikan pindang tersebut, dan sebagian ikan pindang ini nantinya ia akan masak menjadi ikan pindang kuah pedas.Sesampainya di rumah, Aretha buru-buru memasak ikan pindang tersebut, dan setelah masakannya matang, tidak lama kemudian Nina keluar dari kamarnya untuk makan."Lho, Mbak. Beli pindangnya kok banyak banget? Kan hanya dibuat untuk makan malam saja, lalu kenapa ini--""Ya sebagian lagi kan bisa dibuat makan besok, lagi pula ini tadi mumpung dikasih murah sama Bu Yuyun, jadi aku ambil saja semuanya. Oh ya, ini kembaliannya."Bibir Nina mengerucut ketika menerima uang kembalian dari Aretha, ia tentu kesal karena sekarang uangnya dipakai untuk makan sekeluarga, padahal biasanya ia hanya menggunakan uang kiriman dari suaminya untuk membeli keperluannya sendiri dan juga anaknya saja."Huh, pokoknya aku nanti harus minta ganti sama Mas Fauzan," gerutu Nina dalam hati.Dan benar saja, sesampainya Fauzan pulang ke rumah, Nina sudah menunggunya di teras."Mas, minta uangnya dua puluh empat ribu dong, tadi Mbak Retha belanja lauk pakai uang aku," ujar Nina seraya menadahkan tangannya."Kamu ini apaan sih, uang dua puluh empat ribu aja minta ganti, toh lagi pula kamu juga ikut makan.""Ya tapi kan--""Halah, udah. Kalau kamu masih ngotot minta ganti, nanti akan aku laporin ke suamimu kalau kamu sering belanja barang branded diam-diam."Mendengar ancaman dari kakaknya, Nina sontak diam, sedangkan Nina yang sedang berada di ruang tamu, diam-diam ia tertawa ketika mendengar hal ini."Syukurin, salah siapa mau menang sendiri, dan pokoknya mulai saat ini, tidak akan kubiarkan mereka membodohiku habis-habisan," batin Aretha yang merasa puas.Beberapa tahun hidup bersama, namun hanya dirinya sendiri yang menderita, tentunya tidak adil bukan? Jadi salahkah Aretha melakukan hal ini?"Assalamu'alaikum, tumben sudah cantik, kamu mau pergi ke mana?" tanya Fauzan setelah ia memasuki rumah."Mau pergi ke kondangan, Mas. Sama Lina, tapi aku nanti pulang malam ya, soalnya disuruh nemenin Lina beli baju juga.""Oh, iya. Kalau begitu hati-hati."Lina adalah sahabat Aretha sejak mereka berdua mulai duduk di bangku SD, persahabatan mereka terus terjalin hingga mereka masing -masing menikah, dan Lina juga mendapatkan suami yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya Fauzan.Lalu tidak lama kemudian Lina menyusul Aretha ke rumahnya, mereka berdua berboncengan motor dan pergi ke acara pernikahan teman sekelas mereka dulu.Sedangkan di dalam rumah, setelah kepergian Aretha, Fauzan buru-buru pergi mandi, lalu setelah mandi ia kembali sibuk dengan ponselnya sendiri.Saking sibuknya Fauzan, ia bahkan tidak mempedulikan Vano yang baru saja pulang mengaji, bahkan di saat Vano sedang belajar pun Fauzan tidak mau mendampingi untuk membantunya belajar."Yah, jawaban soal yang ini gimana ya? Vano nggak ngerti."Vano lantas menoleh ke arah ayahnya karena pertanyaannya tidak dijawab, lalu kemudian ia memanggil Fauzan lagi. "Yah, ....""Apaan sih, Van. Kamu kok berisik banget, Ayah lagi sibuk nih, kalau kamu nggak bisa tanya ke Tante Nina saja," sahut Fauzan kesal.Vano mendesah, tantenya mana mau mengajarinya, sedangkan orang satu-satunya yang mau mengajarinya belajar selama ini adalah ibunya. Namun, saat ini Aretha sedang tidak ada di rumah."Ya sudah, kalau begitu aku jawab asal saja," gerutu Vano kesal, namun meskipun Vano mengatakannya dengan nada keras, Fauzan tetap tidak mempedulikan keluhannya, bahkan ayahnya itu saat ini sedang melihat ponsel sembari tersenyum-senyum sendiri."Ish, mana ada orang sibuk senyum-senyum gitu, biasanya kan kalau orang lagi sibuk mukanya kan serius," batin Vano seraya menatap tajam Fauzan, saat ini ia benar-benar kesal dengan ayahnya sendiri."Heh, Retha. Kenapa dari tadi kamu diam aja? Padahal tadi waktu berangkat kamu banyak bicara, tapi sekarang ....""Nggak apa-apa, cuma lagi 'bad mood' aja. Yuk, cari tempat ngobrol, sekalian nanti aku ceritain."Dengan cekatan Lina membawa Aretha ke kedai teh dulu, setelah membeli minuman, lalu kemudian Lina membawa Aretha ke alun-alun desa.Setelah mereka berdua sampai di alun-alun, Lina mengajak Aretha duduk di trotoar sembari menikmati cilok dan segarnya angin malam."Ada apa?" tanya Lina seraya menatap wajah murung Aretha."Gini Lin, setelah lihat semua teman-teman kita tadi, kayaknya cuma aku sendiri ya yang hidupnya kelihatan susah banget.""Ish, kamu ngomong apaan sih, Reth. Hei, Ingat ya! Di dunia ini semuanya itu cuma 'sawang sinawang', jadi kita tidak bisa menilai kehidupan orang lain dari pandangan kita aja, dan kita mana tahu kalau orang yang kelihatannya sukses, terus bahagia. Tapi, pada kenyataannya justru sebaliknya, jadi jangan pernah merasa rendah sendiri, oke?""Iya
Satu bulan kemudian....Setelah mengetahui Fauzan mulai bermain api di belakangnya, Aretha lantas tidak langsung mencecar atau menyudutkan Fauzan dengan tuduhan perselingkuhan. Namun, Aretha sengaja membiarkan Fauzan melangkah bebas ke mana pun ia mau."Bagaimana?""Sudah, semuanya sudah diurus sama saudara suamiku, jadi kapan pun kamu siap tinggal di PT, kamu tinggal pindah saja," sahut Lina seraya tersenyum sedih. Lina sedih karena sahabatnya ini akan pergi jauh ke belahan dunia yang lain."Terima kasih ya, terutama untuk Vano." Aretha yang tidak kuat membayangkan akan meninggalkan anaknya, ia langsung menangis ketika menyebut nama Vano."Sudah, sabar ... jangan nangis, aku nanti juga ikutan nangis lho. Pokoknya kamu yang tenang aja, aku pasti akan bantu jaga Vano seperti anakku sendiri, dan kamu juga tidak perlu khawatir soal kebutuhan Vano, karena kami akan selalu siap memenuhi segala kebutuhannya, pokoknya kamu cukup fokus bekerja saja."Aretha yang mempunyai rencana untuk menjad
Satu tahun kemudian ....Setelah berpisah dengan Fauzan, Aretha langsung berangkat ke PT, dan saat ini ia sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai pengasuh lansia. Awal-awal bekerja sebagai TKW adalah masa yang paling berat yang harus dialami oleh semua para TKI, namun bukan hanya TKI saja, semua pekerja lain pun akan mengalami masa sulit ini karena mereka harus beradaptasi dengan orang baru dan juga lingkungan yang baru.Aretha bahkan diam-diam sering menangis ketika ia hendak tidur, sebab selain merindukan anaknya, ia juga mengalami tekanan mental saat merawat bosnya yang sudah tua itu."Laoban, Laoban Niang, makan siang sudah disiapkan," ujar Aretha pada anak majikannya yang saat ini sedang berkunjung ke rumah ibunya."Iya, terima kasih, Retha.""Retha, bukankah aku sudah pernah bilang? Panggil kami, Thai-Thai dan Sienseng!" raung nenek yang dirawat Aretha. Majikan Retha sangat mempedulikan status, oleh karena itu ia tidak suka jika Aretha memanggil mereka dengan sebutan Laoba
Dua tahun kemudian ...Aretha entah harus merasa sedih atau senang, sebab saat ia hendak memperbaharui kontrak kerja, ternyata nenek yang selama ini ia rawat telah menghembuskan napas terakhirnya karena sakit, sehingga masa kontrak kerja pun berakhir dan Aretha diperbolehkan pulang ke Indonesia.Sebelum nenek sakit parah, ia pernah berpesan agar Aretha pulang saja jika dirinya telah meninggal. Nenek juga berpesan untuk menyuruh Aretha menerima saja apa yang akan anak-anaknya berikan nantinya."Semua wasiat Nainai sudah saya kirim ke rekeningmu, terima kasih karena selama ini sudah merawat Nainai dengan baik, salam buat keluargamu di Indonesia ya, dan hati-hati di jalan."Aretha kembali mengingat ucapan terakhir anak majikannya sebelum ia berangkat ke bandara, Aretha hendak menanyakan maksud wasiat yang dibicarakan bosnya itu, namun anaknya yang lain sudah mendesaknya agar cepat berangkat agar tidak ketinggalan pesawat.Aretha menghembuskan napas panjang ketika melihat buku rekening ta
Sesuai dengan dugaan Aretha, kini para tetangganya Fauzan mulai berbisik-bisik ketika melihat Aretha menempati rumah kosong yang berada di kawasan rumah mereka.Meskipun rumah itu terbilang sedikit jauh dari rumah Fauzan, namun tetap saja mereka sekarang berada di satu komplek, dan Aretha juga pasti sedang digosipkan bahwa ia belum bisa move on dari Fauzan."Eh, itu tuh ... dia keluar," bisik salah satu tetangga yang masih bisa didengar Aretha saat ia hendak membeli sayuran di pedagang sayur keliling."Lho, Mbak Aretha. Lama tidak kelihatan, bagaimana kabarnya?" tanya Mamang tukang sayur dengan ramah."Alhamdulillah baik, Mang. Mamang sendiri bagaimana?""Alhamdulillah baik juga, wah ... Mbak Retha habis kerja di luar negeri, pasti sekarang duitnya banyak dong.""Halah, sama saja Mang, kan cuma tiga tahun di sana," sahut Aretha merendah, namun itu malah menjadi bahan hinaan terempuk buat para tetangganya."Eh, Retha. Yang namanya kerja di luar negeri, nggak peduli berapa tahun juga ka
Nina melengos, namun sebelum ia pergi dari tempat itu, Nina sempat melirik isi keranjang belanjaannya Aretha. Melihat banyaknya aneka macam snack yang Aretha ambil, membuat Nina iri, dan tentunya ia juga tidak boleh kalah dari Aretha, lantas Nina pun segera mengambil lagi beberapa boks snack untuk anaknya."Ternyata Nilna suka jajan ya, kalau begitu ini ambillah, kamu kasihkan ke Nilna, ya anggap saja sebagai oleh-oleh aku pulang dari luar negeri," ujar Aretha sambil menyodorkan sekotak cokelat dengan harga yang cukup mahal.Di dalam hati Nina, ada sebuah gejolak perasaan untuk ingin mengambilnya. Namun, rasa gengsinya telah mencegahnya untuk mengambil barang tersebut."Huh! Maaf ya, Nilna nggak level makan cokelat murah seperti itu," sahut Nina sombong, padahal yang ditawarkan Aretha adalah cokelat dengan merek yang sudah terkenal enaknya, dan tentunya lumayan mahal."Oh ... kalau begitu bagaimana dengan yang ini?" Aretha mengembalikan cokelat di tangannya pada tempatnya, lalu kemud
Aretha dan Lina kini akhirnya sampai di depan toko swalayan tempat kerjanya Fauzan, dan juga Nila, yang kini sudah menjadi istrinya Fauzan."Kita mau beli apa di sini? Kan nggak mungkin kalau cuma lihat mantan suamimu dan istri barunya," ujar Lina polos, dan ia juga takut jika sahabatnya nanti akan dipermalukan dan dianggap belum move on dari mantan suaminya."Ya Kita lihat-lihat dulu, nanti kalau ada yang cocok ya kita beli," sahut Aretha santai sembari menahan senyum, ia sengaja menggoda Lina dengan jawaban seperti itu agar Lina semakin khawatir dan juga terlihat semakin lucu."Ish, kamu ini ... nanti kalau mereka berdua mempermalukan mu gimana? Aku kan khawatir.""Sudah kamu tenang saja, bukan aku yang nantinya akan malu, akan tetapi mereka," sahut Aretha sembari tersenyum miring.Lina menghela napas, ia bingung mau menjawab apa, yang penting ia hanya bisa berdoa semoga apa yang direncanakan sahabatnya itu akan selalu berhasil.Setelah masuk ke dalam toko, Aretha dan Lina langsung
Para karyawan langsung menunduk hormat ketika sang pemilik toko datang, begitu juga dengan Nila yang langsung menundukkan kepalanya dalam, sebab ia malu dan juga takut."Ada apa ini?" Ulang Pak Prabu dengan wajah sangarnya, namun ia langsung tersenyum ramah pada Lina, karena ia mengenal Lina sebagai istri temannya."Eh, Bu Lina. Anda bersama siapa, Bu? Dengan Pak Roni kah?""Oh, bukan Pak. Saya datang bersama sahabat saya, ini perkenalkan, namanya Aretha."Aretha dan Pak Prabu lantas bersalaman, lalu kemudian ia menanyakan masalah yang tadi lagi."Mohon maaf sebelumnya, ini ada apa ya Bu Lina?" tanya Pak Prabu yang memang tidak mengerti pokok permasalahannya, namun tadi ia sempat mendengar suara teriakan keras Nila."Jadi begini, Pak. Aretha tadi ingin minta warna lain dari baju ini, namun mbaknya mungkin sudah lelah ya, jadi dia marah-marah pada sahabat saya dan mengira sahabat saya hanya mengerjainya saja, padahal sahabat saya ini sudah membeli banyak baju lo, itu buktinya di atas m