Share

Part 5

"Heh, Retha. Kenapa dari tadi kamu diam aja? Padahal tadi waktu berangkat kamu banyak bicara, tapi sekarang ...."

"Nggak apa-apa, cuma lagi 'bad mood' aja. Yuk, cari tempat ngobrol, sekalian nanti aku ceritain."

Dengan cekatan Lina membawa Aretha ke kedai teh dulu, setelah membeli minuman, lalu kemudian Lina membawa Aretha ke alun-alun desa.

Setelah mereka berdua sampai di alun-alun, Lina mengajak Aretha duduk di trotoar sembari menikmati cilok dan segarnya angin malam.

"Ada apa?" tanya Lina seraya menatap wajah murung Aretha.

"Gini Lin, setelah lihat semua teman-teman kita tadi, kayaknya cuma aku sendiri ya yang hidupnya kelihatan susah banget."

"Ish, kamu ngomong apaan sih, Reth. Hei, Ingat ya! Di dunia ini semuanya itu cuma 'sawang sinawang', jadi kita tidak bisa menilai kehidupan orang lain dari pandangan kita aja, dan kita mana tahu kalau orang yang kelihatannya sukses, terus bahagia. Tapi, pada kenyataannya justru sebaliknya, jadi jangan pernah merasa rendah sendiri, oke?"

"Iya sih, tapi yang tadi itu jelas kelihatan banget, terus kamu coba ingat lagi deh, semua orang yang datang di sana pada pakai baju model baru, kamu juga. Dan, sudah jelas banget cuman aku sendiri lah yang pakai baju buat lebaran dari lima tahun yang lalu," sahut Aretha seraya tersenyum sedih.

Lina sontak meringis, ia jadi bingung harus menanggapinya bagaimana? Sebab, apa yang dikatakan Aretha memanglah kenyataan.

Jangankan berpikir untuk bisa berpenampilan mewah seperti orang-orang tadi, Aretha bahkan kesulitan hanya sekedar untuk beli satu baju lebaran yang datangnya hanya satu tahun sekali.

Sungguh miris sekali bukan? Sebab, Aretha selama ini memang selalu mendahulukan anaknya terlebih dahulu, karena Aretha harus memastikan bahwa anaknya tidak akan mengalami nasib yang sama dengannya, oleh karena itu Aretha selalu berusaha agar anaknya terlihat sama dengan anak sebayanya, ya contohnya dengan membeli baju baru di setiap lebaran idul fitri datang, ya walaupun itu juga cuma satu.

"Dan, pasti tadi pas aku ambil 'dessert', semua orang pasti tadi sedang ngomongin aku kan? Mereka pasti mengomentari penampilanku yang terlihat ketinggalan zaman banget."

"Hus! Kamu ini ngomong apaan sih! Nggak ada yang ngomongin kamu, jangan kepedean deh ...." sahut Lina berbohong.

Sebab kenyataannya teman-teman mereka tadi memang sedang membicarakan Aretha, semua orang mengatakan prihatin, namun sorot mata mereka tadi tidak bisa menipu kalau mereka tadi sedang mencemooh Aretha.

"Lin, pokoknya aku pingin banget sama seperti yang lain, kalau nggak bisa, separuhnya aja deh nggak apa-apa, ya minimal bisa dandan cantik kayak kamu dan yang lainnya gitu. Tapi, gimana caranya ya? Soalnya Mas Fauzan pelit banget, dan aku juga tidak dibolehin bekerja, lantas kapan aku bisa bahagia sama dengan seperti kamu dan yang lainnya?"

"Kamu yang sabar dulu ya, Reth. Mereka tadi kelihatan 'wah' karena rata-rata mereka memang bekerja sendiri, contohnya seperti Dinda, dia kan jadi TKW di luar negeri, jadi tidak heran kalau pakaian dan tasnya bagus, terus perhiasannya juga banyak. Tapi, jika soal pahala, kemungkinan besar pahalamu lebih besar dari dia, soalnya kamu kan nggak kerja karena menuruti perintah suamimu untuk tetap di rumah saja, ya kan?"

"Halah, kamu itu memang pandai menghibur orang. Ya udah kalau begitu ayo, kita pulang sekarang," ajak Aretha yang kemudian langsung diangguki Lina.

Sesampainya di rumah, Vano sedang menonton televisi dengan neneknya. Namun, setelah ia mendengar Aretha sudah pulang, ia buru-buru menghampiri ibunya.

"Bu, tolong ajarin aku jawab PR dong, tadi Ayah nggak mau bantuin aku," ujar Vano seraya menarik-narik baju Aretha.

Sedangkan Aretha yang mendapat laporan dari Vano, ia sontak melirik suaminya yang baru saja keluar dari kamar.

"Aku kan tadi lagi sibuk disuruh rekap penjualan dari atasan, jadi nggak bisa ngajarin Vano dong."

Aretha mendesah, jika Fauzan memang sibuk bekerja, ia pun tidak bisa mengomeli suaminya.

"Ya sudah kalau begitu ayo, kita kerjakan PR mu," ajak Aretha seraya menggandeng tangan Vano masuk ke dalam kamar mereka.

Di dalam kamar hanya ada Aretha dan Vano saja, sebab Fauzan pindah duduk di teras seraya masih asyik dengan ponselnya sendiri.

Setelah beberapa menit kemudian, Vano sudah menyelesaikan tugas sekolahnya, lalu kemudian ia memasukkan kembali buku-bukunya ke dalam tasnya.

"Bu, tadi Ayah lo nggak sibuk kerja, tapi Ayah lagi sibuk WA an sama orang. Aku juga lihat Ayah tadi senyum-senyum sendiri, kan kalau sibuk seharusnya mukanya serius kayak aku lagi belajar kayak tadi."

"Iya, nggak apa-apa biarin aja, mungkin Ayah lagi capek, jadi cari alasan biar nggak bantuin kamu belajar," sahut Aretha seraya mengusap kepala Vano.

"Ya sudah lebih baik kamu tidur sana, biar besok bangunnya nggak kesiangan."

"Iya, Bu."

Setelah kepergian Vano, Aretha mendesah, ia masih memaklumi sikap Fauzan tadi karena mungkin Fauzan memang lagi capek, namun kenapa suaminya itu juga harus membohonginya? Dan, seseru apa sih chat an suaminya, hingga dia bisa tersenyum-senyum sendiri dan bahkan sampai mengabaikan Vano.

"Hadeh ... daripada aku mikir yang nggak-nggak, lebih baik aku ganti baju aja sekarang, terus pergi salat lalu tidur," gumam Aretha yang kemudian mengganti pakaiannya.

Setelah selesai berganti pakaian, Aretha hendak meletakkan baju kotornya ke dalam ranjang baju kotor. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat sesuatu di punggung baju kerja suaminya tadi.

"Apa ini? Kayak lipstik, tapi kenapa ada bekas lipstik di baju suamiku?"

Berulang kali Aretha mengamati warna lipstik tersebut, lipstik itu jelas bukan punyanya, apalagi Nina ataupun Ibu mertuanya. Lalu kalau begitu lipstik ini punya siapa?

"Halah, mungkin tadi ada pembeli yang tidak sengaja nabrak punggungnya," gumam Aretha yang tidak ingin curiga pada suaminya sendiri. Sebab Aretha yakin kalau Fauzan itu sosok suami yang setia.

Daripada berpikir yang macam-macam, Aretha memutuskan pergi ke kamar mandi yang terletak di dapur untuk mengambil air wudhu.

Namun, saat Aretha hendak kembali ke kamarnya untuk salat, Aretha sempat mendengar suaminya terkekeh kecil seraya memegang ponsel.

"Mas Fauzan lagi chatting an sama siapa sih? Kenapa dari tadi kelihatan seneng banget, memangnya hal lucu apa yang sedang mereka bahas."

Karena penasaran, Aretha berniat mengintip sedikit isi pesan Fauzan lewat jendela kaca depan rumah yang menghalangi tubuh mereka. Akan tetapi, apa yang Aretha lakukan malah membuat Aretha merasa menyesal sendiri.

Aretha tidak menyangka bahwa kepercayaan yang ia berikan pada Fauzan, nyatanya malah membuatnya kecewa sendiri, sebab sekarang Aretha melihat Fauzan sedang asyik berbalas pesan dengan Nila. Ya, Nila, yaitu nama dari seorang gadis yang beberapa hari ini datang mengganggu kehidupannya.

Lalu, kalau sudah terjadi kejadian seperti ini, apakah itu berarti sekarang memang sudah waktunya untuk Aretha melepaskan pernikahannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status