"Sebenarnya apa yang nggak kamu tahu tentang Kalina, sih, Van?" Pertanyaan Kamila di tengah perjalanan sukses membuat Revan tertegun. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu sama dia?" Keheningan pekat menyelimuti keduanya. Sudah dua bulan sejak mengenal lelaki berdarah chinese ini, Kamila selalu bertanya-tanya tentang hubungan macam apa yang dimiliki saudara kembarnya dan asisten pribadi Wisnu."Kita dekat, tapi hanya sebatas sahabat," aku Revan akhirnya. "Aku sudah mengenal Kalina sejak kita duduk di sekolah menengah, mengingat Papa yang sudah lama mengabdi sebagai dokter pribadi keluarga ayahmu. Pekerjaan yang kulakukan sekarang juga semata-mata karena tugas yang diberikan beliau. Tidak ada alasan lain, just money." Tatapan lelaki berkulit putih itu terpaku pada jalanan di depan. Tak ada yang aneh dengan nada suara dan bagaimana cara dia menjelaskan.Kamila mangut-mangut tanda mengerti. "Kirain." Perempuan itu mengedikkan bahu, lalu kembali terpaku pada ponsel di genggaman tangan.Keh
Pagi-pagi sekali kediaman Wijaya sudah dihebohkan dengan suara nyaring wajan dan panci yang beradu. Kebisingan yang disebabkan salah satu menantu yang akhir-akhir ini berubah meresahkan itu menyebabkan para anggota keluarga lain yang masih menikmati hangatnya bergelung dalam selimut tebal, terganggu. Akhir pekan yang harusnya mereka manfaatkan dengan istirahat panjang, berujung keributan yang tak terelakkan."Perhatian!"Prang!"Perhatian!"Prang!Suara toa dan bisingnya alat-alat dapur membuat satu per satu penghuni rumah berdatangan dengan piama dan muka bantal."Si Lina ngapain, sih?" Della yang kebetulan kamarnya di lantai dasar, lebih dulu tiba sembari menggerutu. Sedangkan Indra yang masih setengah sadar menyandarkan dahi di daun pintu. "Sialan, jalang ini maunya apa, sih?" Yayang menyusul dari lantai dua sembari, menyeret Hendri yang masih memeluk bantal polkadotnya."Ada apa ini?" Dahlan dan Dahlia Wijaya turun dari lift. Sedangkan Wisnu menyusul di belakang Yayang dan Hendri
"Keuangan kita ini lagi nggak stabil, Wisnu. Bisa-bisa kamu transfer dia duit cuma buat dihambur- hamburin kayak gini?""Sadar, nggak, sih? Si Kalina makin keliatan licik sekarang. Sengaja banget nutup semua rekening setelah tahu kita pake kartu kreditnya buat belanja bulanan, terus ngotak-atik ATM Bang Wisnu dan traktir kita makan seolah-olah pake duitnya.""Kita nggak bisa diem aja kayak gini. Wanita sial itu bener-bener harus dikasih pelajaran!""Udahlah. Yang udah terjadi biar terjadi. Lagian kalau rumor tentang Kalina yang bakal ngambil alih perusahaan Poltaris benar-- semuanya bakal keganti lebih dari ini.""Iya juga, sih. Kita cuma bisa nunggu keputusan dalam sebulan ini. Kalau sampai Kalina nggak dapat apa-apa, lebih baik kalian cerai, Bang, terus dia kita tendang. Untung aja kalian nggak punya keturunan. Jadi, prosesnya lebih gampang."Brak! Suara meja yang dipukul keras terdengar nyaring. "Mau ke mana kamu, Wisnu!""Pulang!""Loh, terus ini gimana?"Kamila mendengus keras,
Tut ....Tutt .... Tuttt .... Nomber yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi. "Ck, ke mana, sih, si Revan? Lagi penting gini malah susah dihubungi. Aku, kan harus tanya tentang maksud Pak Dahlan kalau Kalina berpotensi mengambil alih kepemimpinan perusahaan." Kamila menggerutu saat mendengar jawaban sama setelah beberapa kali dia mencoba menghubungi Revan. "Apa samperin ke vila aja kali? Siapa tahu di sana dia lagi nungguin Kalina," putusnya final. "Tapi, kan vilanya lumayan jauh dari sini."Cukup lama Kamila larut dalam dilema. Akhirnya dia mendapatkan keputusan final demi mendapatkan cukup kejelasan dari pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran. "Ah, bodo amat mau jauh apa enggak. Yang penting ketemu dulu."***Menjelang sore Kamila tiba di vila milik keluarga ayahnya yang ada di Puncak, Bogor. Bangunan seluas 500m² yang dikelilingi pohon pinus asli menyambutnya kala mobil terparkir di pekarangan. Tak seperti terakhir kali dia datang bersama Revan. Tem
Kamila menghela napas panjang, lalu menyambar kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah yang ada di depan. "Jadi, ceritanya mereka mau balas dendam? Cih, nggak elegan. Mainnya keroyokan." Kamila mengedikkan bahu. "Dipikir aku takut ditinggal sendirian? Nggak layau, udah biasa. Lagian lebih enak juga begini. Aman, nyaman, dan ten--"Kamila mematung diambang pintu saat melihat keadaan kamarnya yang benar-benar berantakan. Jejak air kotor yang dia ketahui berbau got tercecer di lantai bersama dengan beberapa pakaian yang tersebar koyak di beberapa bagian. Ranjangnya penuh dengan lumpur dan rumput taman. Dan yang semakin membuat Kamila geleng-geleng kepala, kunci yang tergantung di lemari pakaiannya hilang, kamar mandi dibiarkan terbuka dengan bau air seni yang menyengat hingga menyebar ke ruang kamar. Bahkan skincare dan bodycare-nya dibuat untuk menyumbat closet. Kamila berlari kecil menuju balkon dan dibuat terkejut lagi saat melihat beberapa pakaian dalamnya dilempar ke kolam bere
"Sudah sedekat apa kamu dengan Revan? Setelah sebulan lalu aku melihat kalian berdua di Paris, lalu kemarin melihatnya mengantarmu membeli sepatu." "Pagi tadi, dia juga tiba-tiba mengirimkan surat resign tanpa alasan yang jelas. Apa ini ada hubungannya denganmu yang pergi ke sebuah vila yang ada di Puncak?"Kamila menelan ludah susah payah, sebisa mungkin dia mengendalikan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang. Pertanyaan Wisnu jelas di luar perkiraan, apalagi Kamila juga baru tahu ternyata kembarannya saat itu pergi ke Paris bersama Revan. Hanya ada dua kemungkinan kenapa Revan tiba-tiba menghilang. Pertama dia dan Kalina memang ada hubungan, atau Revan pandai membaca situasi agar mereka tidak ketahuan bertukar peran. "Ekhmm." Kamila berdeham, lalu menegakkan tubuh menghadap Wisnu. "Bukannya Revan adalah asisten pribadimu? Seharusnya kamu yang lebih tahu! Jangan coba untuk lempar batu sembunyi tangan, Wisnu. Cuma karena kamu melihat kami beberapa kali bersama, bukan berart
"Nya, kita beneran minta maaf tentang semalem.""Nggak butuh klarifikasi!" ketus Kamila sembari menghindari Cici saat menjemur pakaian dalamnya yang semalam tercecer di kolam berenang. "Saya sama Wati sebenarnya pengen bantu, cuma kita takut dipecat.""Bodo amat.""Ayolah, Nya. Jangan ngambek. Lain kali kita bakal usahain bantu semampunya," bujuk Cici seraya terus-menerus mengikuti pergerakan Kamila dari jemuran satu ke jemuran lainnya. "Nggak percaya.""Please, Nya. Kalau Nyonya mau maafin nanti saya bantu ngambil diem-diem laptop Nyonya yang diambil paksa sama si Kuyang waktu itu. Kan, di sana banyak data-data penting Nyonya."Deg! Segala kegiatan Kamila langsung terhenti saat itu juga. Dia berbalik menghadap Cici dengan sorot serius yang kentara. "Laptop? Diambil si Kuyang?""Iya. Kenapa tiba-tiba amnesia, sih? Tuh, laptop, kan sering banget Nyonya bawa ke mana-mana."Kamila menghela napas panjang. Asumsinya langsung melayang menghubungkan antara kecelakaan, kebencian, juga ra
"Ee, eeh ... Nyonya mau ke mana?" tanya Cici saat melihat Kamila hendak kembali ke kamar. "Ganti baju.""Ngapain? Bukannya udah diperingatin sama Nyonya Besar kalau hari ini Nyonya Kalina nggak boleh keluar kamar," ingat Cici. "Larangan sama depan perintah bagiku, Ci. Lagian istri mana yang dengan tolol diem aja liat suaminya memperkenalkan wanita lain sama keluarganya seolah masih bujangan, atau baru menyandang titel duda," tegas Kamila sembari membusungkan dada. "Lah, bukannya nyonya yang selama ini diem aja?" celetuk Cici santai. Kamila menepuk dahi. "Dahlah, cape ngomong sama kamu mah, Ci." Tak mau memperpanjang perdebatannya dengan Cici, bergegas Kamila berlari kecil menuju kamar. Setibanya di kamar, dia memilih outfit yang terlihat paling elegan dan mahal. Lalu duduk di depan meja rias dan mematut diri dengan skincare dan make up yang baru dia beli menggunakan uang Wisnu. Terlihat di dalam cermin pantulan wanita dewasa yang sangat cantik dengan kulit kuning langsat. Wajahn