Share

Part 5

Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir. 

"Nggak bisa, Pak," sahutku.

"Kenapa?"

"Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru." Aku beralasan.   

Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak. 

Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain. 

"Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah," ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan. 

"Eh, eh, ngapain dorong-dorong?" protesnya, tanpa menolak. 

Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar. 

 

[Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan. 

Bip bip. 

Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. 

[Oke, jangan lupa cemilannya, ya,] balasnya dengan emoticon tertawa.

Tak lama kami sampai di sebuah klinik kecil. Aku menemani sampai ke dalam, saat perawat membersihkan lukanya. Entah mengapa, ia diam, sama sekali tak keberatan, atau merasa tak nyaman saat aku bersamanya. 

Setelah selesai dengan wajah, Dokter datang dan menyuruhnya berbaring untuk, memeriksa apa ada luka lain di bagian tubuh.

Pak Malik membuka kancing kemeja bagian atas, agar dokter bisa memeriksa dengan steteskop yang dari tadi menggantung di leher.

Deg!

Rasa nyeri di jantung kembali menusuk. Ada tanda lahir di dada kirinya. Tanda lahir yang sama persis dengan yang ada di bawah mata kiri bang Malik-ku. 

Firasat apalagi ini? Aku ingat dulu saat masih kecil, Bang Malik bilang dia punya dua tanda lahir yang sama persis. Salah satunya ada di bawah mata.

Saat itu aku masih sangat kecil, jadi tidak terpikir untuk bertanya di mana letak yang satunya. Lagi pula tidak mungkin bagi para anak panti untuk saling membuka pakaian di depan anak lainnya. Apa lagi aku dan Bang Malik berlawanan jenis. 

Aku masih terdiam, sama sekali tak mengerti dengan semua ini. Aku keluar begitu saja dari ruangan menuju ruang tunggu. Berjalan dengan langkah gontai. Hingga terduduk lemas di kursi panjang.

"Ayo pergi! Melamun aja!" Suara Pak Malik menyadarkanku. 

Kutatap sesosok itu dari atas sampai ke bawah. Benarkah laki-laki yang yang ada di hadapanku sekarang adalah Bang Malik? Kakak masa kecilku dulu yang selalu sayang dan melindungiku? 

Bulir bening menetes dari sudut netra. Tanpa sadar aku menerkam, dan membenamkan wajah di dadanya, menangis sesenggukan.

Pria itu membiarkanku saja. Lagi-lagi tak ada penolakan. Yang kurasakan hanya tangannya bergerak ke atas, seperti memberi tanda menyerah. 

Beberapa lama aku menangis dalam pelukannya. Mulai tersadar, dan langsung melepaskannya. 

"Iya, Chaca. Saya masih hidup," ujarnya. Aku menatapnya dalam. Tak percaya. Mungkinkah.... 

"Pukulan kamu belum terlalu keras untuk bisa membunuh saya. Ayo pulang! udah malam," ketusnya lagi. 

Ia berjalan dengan cepat. Aku mengernyit, mengikutinya dari belakang, pasrah karena yang aku pikirkan tidak sama dengan pikirannya. 

Aku berlari kecil menyusul dan mengekor ikut masuk ke mobil. Masih takut untuk bertanya, kenapa semua ini bisa serba kebetulan. Mulai dari nama, dan juga tanda lahir. Bagaimana dia bisa hidup dengan baik seperti saat ini? 

Apa dia diadopsi? Kenapa harus membuang tanda lahir, agar terlihat tampan seperti sekarang ini? Kalau dia sudah hidup enak dan berkecukupan, kenapa tidak berusaha mencariku? Atau, dia kehilangan ingatan? 

Beribu tanda tanya kini bermain di pikiran. Ingin sekali kutanyakan langsung.Tapi bagaimana jika aku salah, dan itu hanya dugaan saja. Dia pasti menganggapku lebih aneh lagi, dan berpikir aku hanya ingin sok akrab dengannya.

"Hei. Nama kamu Chaca, kan?" Suaranya membuyarkan pikiran.

"I iya, Pak," sahutku gugup. 

"Chaca, panggilan dari nama apa?" 

Haruskah kusebutkan nama sial itu? Atau nama yang diberikan nenek?

"Clarissa, Pak." Pak Malik manggut-manggut, seperti memahami sesuatu. 

"Biasanya gadis bernama Chaca itu sangat manis dan imut-imut. Aku sangat menyukai nama itu."

.

Darahku kembali berdesir mendengar penuturan laki-laki ini. Abangku Malik juga berkata seperti itu saat membuat panggilan nama Chaca. 

"Bapak juga punya kenalan yang namanya Chaca?" Dengan bibir sedikit bergetar, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya. 

"Iya, adikku juga bernama Chaca. Annisa. Aku memanggilnya Chaca karena dia terlihat sangat manis dan imut. Tapi sayang, kini aku tidak tau keberadaannya." Dia terdengar seperti mengenang sesuatu. 

Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Kali ini begitu deras. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya. Pak Malik langsung mengambil setir ke kiri, lalu menghentikan mobil di pinggir jalan. 

"Kenapa nangis lagi?" Ia terdengar panik. 

Entah kenapa, sesak di dada ini tak dapat lagi kutahan, hingga tumpah ruah semua air mata. 

"Bang Malik, ini Chaca, Bang. Chaca adiknya Abang," tangisku semakin pecah, memegang lengannya dengan kuat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status