Share

Part 8

Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan.

"Abang jahat, Abang jahat," teriakku. 

Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit.

"Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."

Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.

******

POV MALIK

Hannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.

Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan.  Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. 

Setidaknya itulah cerita yang kudengar dari pengurus panti tentang riwayat hidupku. Hari- hariku selama berada di sana tidaklah seindah anak-anak seusiaku pada umumnya. Begitu juga anak-anak lain.

Hidup kami penuh siksaan dan juga derita. Tak ada kasih sayang, bahkan tak ada izin sama sekali untuk orang lain mengadopsi. Mereka lebih senang meminta sumbangan yang diberikan langsung kepada pihak panti.

Saat usiaku enam tahun, aku mendengar suara tangis bayi dari luar pagar. Aku segera berlari memanggil pengurus panti. Bayi itu dibawa masuk untuk kemudian dirawat sebagai penghuni baru.

Tak ada peninggalan apa pun, baik pakaian ganti atau secarik pesan. Hanya terbungkus selimut yang cukup tebal berwarna merah muda, lalu diletakkan di dalam keranjang rotan.

Hanya itu yang kuingat tentang kejadian malam itu. Entah kenapa aku begitu iba pada bayi malang itu, nasibnya tidak lebih baik dari aku. Aku menatap wajah dan bibir mungilnya.

Benar-benar cantik. Cantik seperti bidadari pada buku cerita yang kubaca di perpustakaan panti. 

Annisa. Pengurus panti menyematkan nama itu. Artinya wanita, cuma itu saja. Tak ada arti khusus untuk membuat nama bagi mereka. 

"Aku akan menuliskan nama Annisa pada akte kelahirannya. Kurasa nama itu pun terlalu bagus untuk bayi yang tidak punya asal usul seperti dia," gerutu pengurus panti. 

Wajahnya yang manis dan bibirnya yang imut membuatku begitu menyukainya. Chaca, kuberi dia nama panggilan seperti anak kecil yang belum bisa menyebut kata dengan huruf S. 

Hari berlalu, waktu berganti. Kami tumbuh bersama sebagai kakak adik. Aku tak tega kalau dia juga mendapat perlakuan yang sama dengan kami. Dengan segala cara aku  melindunginya agar tak pernah tersentuh hukuman.

Hingga pada suatu hari Chaca membuat kesalahan fatal. Gadis polos itu berceloteh kepada salah seorang donatur tetap yang mengajaknya ngobrol. Sang donatur menanyakan langsung kepada kepala Panti apakah benar kalau anak-anak di sini tidak pernah diberi makanan yang layak.

Dengan segala cara, ia menjelaskan dan meyakinkan bahwa tidak pernah ada kejadian seperti itu. Ibu kepala panti murka dan marah besar.

Chaca dipukuli dan ditampar berulang kali didepan semua anak. Tubuhnya dipukul dengan rotan yang biasanya memang digunakan untuk menghukum para penghuni. 

Aku berteriak sekuat tenaga untuk membuatnya berhenti. Tapi orang-orang suruhan kepala panti dengan kasar memegangi kedua tanganku hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kusaksikan sendiri tubuh Chaca digiring menuju lorong dan menghilang.

******

Emosiku berapi-api. Usia remaja tak membuatku takut takut dalam bertindak. Jam sembilan malam saat semua orang tertidur lelap, aku menyelinap masuk ke kantor.

Kubuka paksa lemari itu dengan perlahan, kumasukkan semua yang ada ke dalam tas ransel yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Pernah secara tak sengaja aku memergoki Kepala panti menyimpan sesuatu di situ dengan sangat berhati-hati.

Ya. Uang itu kini sudah berpindah kedalam ranselku. Aku bergegas menuju gudang tempat Chaca disekap. Kami melarikan diri malam itu.

.

Menjelang pagi aku dan Chaca berpindah tempat duduk yang semula di samping pengemudi, kini berganti duduk di bak belakang.  Sungguh nikmat udara pagi hari ini. Udara kebebasan yang seumur hidup belum pernah kami rasakan.

Aku berterima kasih kepada Bapak supir yang baik hati,  begitu kami sampai tujuan. Aku hendak memberinya uang,  tapi dia menolak. Beliau pun melanjutkan perjalanan.

"Ini kota Medan ya, Bang?" tanya Chaca dengan senyum tersungging di bibirnya yang masih memar.  Aku mengajaknya beristirahat di halaman sebuah masjid.

"Iya, Cha. Ini kota impian Abang. Kita akan tinggal di kota ini. Chaca mau, kan?"

"Mau. Kemana pun Abang pergi, Chaca pasti ikut."

"Apa pun yang terjadi kita akan tetap tinggal di sini."

"Tapi kita mau tinggal dimana, Bang? Kita kan nggak punya uang."

"Uang kita banyak, Cha. Chaca mau makan apa aja, pasti Abang beliin."

"Betul, Bang?" Chaca tertawa kegirangan.

Aku membersihkan diri dan mengganti pakaian yang mengisi ranselku. Tak lupa kumasukkan sepasang baju untuk Chaca.

Chaca keluar dari kamar mandi masjid dengan wajah bersih dan segar. Aku menyisir rambutnya yang lurus dan memoles bedak bayi di pipi mulusnya.

Sudah jadi kebiasaanku di panti mengurus Chaca seorang diri. Jadi semua kebutuhan Chaca sudah kumasukkan ke dalam ransel.

Orang orang yang keluar masuk area masjid selalu menoleh ke arah kami. Bahkan ada ibu- ibu yang memuji kelihaianku mengurus adik.

Kami pun pergi meninggalkan tempat itu. Kulirik sepenggal alamat di secarik kertas yang aku bawa. Kumasukkan kembali di kantong kecil bagian ransel. 

******

Aku dan Chaca menikmati makan dengan lahap saat kami memasuki sebuah rumah makan Padang. Aku memesan segelas jus jeruk untuk Chaca. Senyumnya merekah dengan tulus. Tak pernah kulihat dia sebahagia itu sebelumnya.

Kami menyusuri jalanan kota Medan. Chaca sungguh takjub melihat gedung- gedung yang menjulang tinggi. Inilah kota impianku. Satu satunya kota yang pernah kulihat seluruh gambarannya dari majalah yang ada di perpustakaan panti. Hingga aku bermimpi untuk bisa menginjakkan kaki dan tinggal di sini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zezi AB
seru kayaknya, sedih ada...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status