Setelah menyambut para tamu dan mengantarnya ke ruang pertemuan, Lachi melanjutkan pekerjaan. "Ck, setelah aku sah jadi staf tetap di sini, lihat saja! Aku akan berubah malas." Lachi mengetik penuh kesetanan pada keyboard, kasar karena pekerjaannya yang sangat banyak–melebihi staf lama atau staf tetap. Ada dua faktor yang membuat pekerjaan Lachi banyak, yang pertama karena staf lama mengalihkan beberapa tanggung jawab pada mereka yang berstatus pekerja magang. Yang kedua karena Lachi masih magang, jadi dia berupaya terlihat rajin–harus optimal dalam melakukan pekerjaan. Trik ambil hati bos!Jika dia malas, bagaimana dia akan diterima? Sedangkan sudah rajin begini saja Lachi tak bisa pastikan dirinya diterima. "Lachi." Lachi berhenti mengetik lalu mendongak ke arah Bela dan Kiandra. Terlihat wajah Bela yang muram dan sinis ke arah Lachi, tetepi Lachi tak peduli. Jika Bela kesal padanya tanpa sebab maka Lachi lebih kesal pada Bela karena mulutnya yang suka menghina. 'Memangnya kenap
Setelah menyerahkan laporan pada atasannya, Lachi bergegas menemui Danzel. Ada yang tak beres dengan bosnya tersebut. "Pak Danzel," panggil Lachi saat melihat Danzel. Pria itu terlihat menoleh padanya dan Lachi buru-buru menghampiri. "Ada yang ingin aku bicarakan, Pak," ucap Lachi, setelah berada di hadapan Danzel. Pria itu tak menjawab tetapi memberi isyarat agar Lachi masuk dalam ruangannya. Lachi terlihat ragu, akan tetapi dia tak akan bisa berbicara dengan pria ini jika dia berani membantah. Dia harus menurut bukan?! Setelah di ruangan kerja Danzel, Lachi langsung membungkuk memberi hormat–posisi tepat di depan Danzel yang duduk secara bossy pada sebuah sofa. "Pak--" "Silahkan duduk," potong Danzel. Lachi menganggukkan kepala lalu segera duduk di salah satu sofa kosong. "Pak, aku ingin bertanya. Kenapa Pak Danzel mengirim uang padaku?" tanya Lachi to the point. "Tidak kusangka kau akan mendatangiku secepat ini," jawab Danzel, menyunggingkan smirk tipis sembari denga
"Memang si Bela nggak ada berubah-berubahnya yah. Dan kamu juga, tolol banget! Kenapa masih mau berteman dengan orang yang tak menghargai kamu?! Kamu itu pintar loh, Lachi. Tapi masalah pertemanan, kamu paling bodoh," marah perempuan bernama Indah, salah satu teman dekat Lachi. Dia adalah orang yang pernah mengontrak dengan Lachi dan Bela dulunya. Mereka teman dekat, seorang kakak bagi Lachi juga karena Indah lebih tua darinya dua tahun. Indah memang sempat menganggur, dua tahun sebelum kuliah. "Iya, Kak, aku bodoh." Lachi menganggukkan kepala. "Tapi … kata-kata mutiaranya bisa nggak diperhalus? Kak, namamu Indah. Jangan dirusak dong sama perkataan nggak bagus." "Aelah." Indah mendengus pelan, "sekarang gimana? Mau aku antar nggak sampe ke rumah?""Cukup sampe di terminal saja, Kak. Aku sudah menghubungi Ayah dan nanti ayah yang jemput kalau udah sampe di terminal kotaku," jawab Lachi lesu, masih tak percaya kalau pertemanannya akan berakhir seperti ini. "Eh, utang si Bela Anj itu
"Siapa sih, tengah malam nelpon nelpon?" Dengan malas dan mata berat Lachi meraih handphone di atas nakas. Tanpa membaca nama kontak, Lachi langsung mengangkat kemudian menempelkan HP di telinga. "Halo, ini siapa?" sapa Lachi dengan suara sayu dan berat, efek masih setengah sadar–melawan rasa kantuk yang melanda diri. Dia menguap, menggaruk-garuk pipi kemudian menyenderkan tubuh di kepala ranjang. 'Humm.'Deg'Suara deheman berat dan dingin terdengar, mata Lachi seketika membulat. Rasa kantuk yang melanda langsung hilang. Lachi menegakkan punggung, duduk tegak dengan menatap lurus ke depan. Jantungnya berdebar kencang, ingin meloncat dari tempat. Hanya sebuah deheman namun berhasil membuat Lachi merinding disko. 'Kau pergi tanpa memberitahuku.'Lachi mengenga lebar. Tadi dia sangat kaget karena orang yang menghubunginya tengah malam begini adalah big bosnya sendiri. Sekarang dia jauh lebih kaget mendengar ucapan Danzel. Pertanyaannya, kenapa Lachi harus mengabari Danzel? Memangnya
"Kalau nggak jual diri dia nggak bisa bayar uang kuliah."Zendaya merebut balik cookiesnya, tak membiarkan Bela membuka atau mencicipi. Bukan pelit, masalahnya ini milik kakaknya dan hanya dia yang diperbolehkan memakannya. "Pelit banget sih," kelu Bela karena tak diperbolehkan memakan cookies tersebut. "Ini punya Kakak aku dan dia nggak suka berbagi," jawab Zendaya dongkol. "Kamu keterlaluan banget sampe bilang Lachi jual diri. Kalau benci nggak usah sampe ke tahap fitnah, Bel," ketus Kiandra, kali ini tersulut karena menurutnya Bela semakin kurang ajar. "Loh, aku bilang sesuai fakta. Dan aku buka semua aib dia karena yah … aku udah muak sama sikap nggak tahu dirinya. Aku udah capek nutup-nutupin kelakuan gila dia dari kalian. Tapi kalau kalian tetap pengen nyusul, yaudah sih pergi saja. Biar kalian tahu se miskin apa Lachi."Zendaya dan Kiandra sama-sama bersitatap. Apa mereka harus menyusul saja? Tetapi mereka sama sekali tidak tahu Lachi tinggal di mana. Maksudnya mereka hany
"Apaan dah Lachi punya hutang ke dia?" Indah menatap horor pada Zendaya dan Kiandra, setelah itu menatap tak suka pada Belle. Bela sendiri sudah memucat, berkeringat dingin dan takut. Karena Zendaya keukeuh untuk bertemu dengan Lachi–menyusul ke desanya, Zendaya menemui Indah. Zendaya yakin Indah tahu tempat tinggal Lachi ada di sana. Selain untuk mencari alamat Lachi, Zendaya juga sekalian menanyakan kebenaran perkataan Bela. Bela sejujurnya malas ikut dengan Zendaya dan Kiandra. Tetapi kemarin dia menguping pembicaraan keluarga Zendaya, dia mendengar jika Danzel menyusul Lachi. Oleh sebab itu Bela terpaksa ikut. Jika nanti Danzel telah melihat rumah kumuh Lachi dan Danzel berakhir jijik pada Lachi, maka Bela ingin menjadi orang pertama yang menertawakan Lachi. Sialnya, Bela tak menduga Zendaya akan menemui Indah dan menanyakan pasal perkataannya pada perempuan ini. "Yang ada dia yang punya hutang ke Lachi. Sampe sekarang belum dibayar." Indah menatap sinis ke arah Bela. Lalu t
Danzel yang kepanasan, masa bodo dan memilih tidur. Sedangkan Nathan dan Karamel, sudah mencondongkan tubuh ke depan–penasaran, terpana dan tak sabar melihat sosok perempuan cantik tersebut. Perempuan itu mengangkat pandangan. Nathan, Naren dan Karamel terus memandang–jantung mereka berdebar kencang. Mungkinkan perempuan yang mereka tabrak merupakan jodoh salah satu dari mereka?Flasss'Angin bertiup lebih kencang, membuat rambut cantik tersebut tertiup dan berkibar indah. "Sial!""Fuck!""What the hell!"Ketiganya seketika saling mengumpat. Awalnya mereka terkesima melihat si perempuan, tetapi setelah mengangkat dan mendongak mereka bertiga sama-sama mengumpat–langsung menarik doa-doa yang sempat terpanjat dalam batin. Alih-alih menabrak gadis desa cantik speak bidadari seperti di film, yang mereka tabrak ternyata seorang bapak-bapak. Kebetulan punya rambut panjang yang bagus serta tubuh kecil dan kurus.Bapak-bapak tersebut mengenakan baju kaos bergambar bunga-bunga sembari mengen
"Kenapa Pak Danzel datang ke sini?" Lachi masih berdiri di belakang tubuh mamanya, menatap gugup bercampur syok ke arah Danzel dan tiga teman pria itu. "Bukannya kau yang menyuruhku untuk datang melamarmu?" ucap Danzel santai. "Hah?" Lachi melongo kaget, reflek menutup mulut sembari menatap mamanya yang juga ikut-ikutan menutup mulut. "Ih, Mama ngapain sih?" gumam Lachi pelan, memutar bola jengah pada sang mama yang terkekeh pelan padanya–menertawakan tingkah Lachi yang kaget barusan. Lachi langsung menatap ayahnya. Raut muka wajah Lachi tegang dan jantungnya berdebar kencang. Lachi khawatir ayahnya salah paham, mengira jika selama di kota Lachi hanya sibuk pacaran. Dia takut ayahnya marah. "Yah, aku bisa jelasin," ucap Lachi, menghampiri ayahnya secepat mungkin. Lachi langsung duduk di sebelah ayahnya dan langsung memijit pundaknya–merayu sang kepala keluarga agar tak marah padanya. "Tidak apa-apa. Orang Ayah suka kok dengan calon kamu," jawab Adit sembari tertawa kecil. Lachi