"Mbak, tungguin aku!" teriak Rama pontang panting mengejarku sambil membawa tupperware berisi gurami rasa cinta.
"Hadeh, kamu tuh laki-laki, masak larinya cepetan aku sih," tukasku lalu memelankan langkah."Lah embak keburu lari dan aku masih digandoli sama tupperware ini!" tukas Rama kesal sambil mengguncang-guncangkan tupperware yang langsung membuat hatiku juga seolah terkena gempa."Dek, jangan diguncang-guncang! Penentu masa depanku ituh!" Tunjukku pada kotak warna pink yang dibawa Rama."Hah? Penentu masa depan? Maksudnya apa Mbak?""Hilih, anak yang kutu buku mana mungkin tahu, ayo jalan lagi!""Kalau nggak mau diguncang-guncangin, bawa aja sendiri!" tukas Rama manyun sambil mengulurkan bawaannya padaku."Kamu saja yang bawa. Kan kamu laki-laki," sahutku santai."Eh, mbak Maemunah! Nggak ada hubungannya antara gender dengan membawa kotak. Gih bawa, atau aku guncang-guncangin kotak ini!" Ancam Rama."Dih, iya iya." Aku menerima tupperware itu dan mendekapnya setulus hati.Saat ini mungkin hanya bisa mendekap makanan untuk kangmas, semoga di masa depan bisa mendekap kangmas Marzuki beneran setelah sah tentunya. Uhuk!Aku melanjutkan langkah dengan penuh semangat empat lima menuju rumah masa depan. Eh."Mbak.""Hm.""Dih, pelit banget jawab nya," sahut Rama sewot."Ye, biarin. Lagi fokus menentukan kalimat untuk bertemu dengan calon suami." Aku tersenyum lebar."Dengar-dengar dokter Marzuki sudah punya anak ya?" tanya Rama.Aku tertegun lalu menatap adik lelakiku."Emang kenapa kalau sudah punya anak? Apa aku nggak boleh jatuh cinta sama Om-om?" tanyaku mendelik."Wah, tenang Mbak. Jangan bar-bar gitu jawabnya," sahut Rama tertawa."Jadi kenapa kamu pake nanya dokter apa dokter Marzuki sudah punya anak atau belom?"Rama terlihat menghela nafas panjang."Yah, gimana ya? Mbak kan suka manjat-manjat pohon, nggak bisa masak, dan kayaknya memang nggak ada jiwa keibuannya sama sekali gitu. Apa mbak sudah mantap memilih calon suami."Aku melirik ke arah Rama. "Iya sih kamu benar. Tapi nggak apa-apa deh. Yang penting sekarang kita anter gurami dulu ke Pak dokter, sesuai dengan perintah ibu.Kalau untuk masa depan, bawa happy aja, Ram. Ya siapa tahu pak dokter bisa buat penyemangat belajar. Semangat!' seruku mengepalkan tangan."Wah, tumben mbak. Biasanya kalau disuruh belajar aja lebih memilih ikut ke kebun jeruk sama bapak. Sekarang kok tumben semangat ngomongin belajar?" sindir Rama."Yee kamu tuh aneh. Aku malas, diledek. Aku rajin, kamu nggak terima. Suka heran sama adik sendiri, untung sayang," tukasku sambil ngeloyor pergi meninggalkan Rama."Mbak La! Tunggu! Oke, oke! Aku dukung mbak buat belajar sungguh-sungguh!"Dan kami pun bercanda sampai tiba di rumah dokter Marzuki."Nah, sudah sampai," gumamku sambil berjalan mendekat ke teras rumah bercat biru muda itu.Kami berjalan perlahan ke KUA. Eh maksudnya pintu rumah dokter Marzuki. Rumah itu tampak sepi. Tidak ada siapapun di luarnya."Lah Mbak, pintu depannya sudah terbuka tuh," bisik Rama mencolek pinggangku.Aku pun terkesiap. "Kayaknya memang Dokter Marzuki punya firasat akan kedatangan calon istri, Dek." Jawabku berbinar-binar."Hah? Gak mungkin lah dokter Marzuki mau sama mbak yang jilbabnya miring-miring dan makannya berantakan," tukas Rama."Ih kamu! Gak bisa lihat Mbak seneng,""Hahaha, bukan gitu mbak. Tapi aku juga nggak ingin Mbak terlalu berharap terus endingnya kecoa, eh kecewa.""Dahlah, aku yakin ini jodoh yang dikirim untuk mbak setelah mbak digosting Rangga.""Hah? mbak digosting mas Rangga? Makanya denger apa kata bapak, Mbak. Jangan terlalu dekat sama laki-laki bukan muhrim. Yang rugi entar mbak sendiri," tukas Rama."Elah, adik gue kok mendadak jadi pak ustadz," batinku."Heh, sudah sampai nih. Ayo kamu yang ngasih salam!" Titahku pada Rama.Aku dan Rama celingukan memandang ruang tamu yang kosong tapi pintunya terbuka itu."Lah, kok aku. Harusnya Mbak dong. Katanya jodohnya Mbak kan?" tukas Rama nyengir.Aku menghela nafas. "Oke, Bismillah.""Assalamu'alaikum," panggilku dengan suara semerdu mungkin."Dih, lebay.""Yee, biarin." Aku menjulurkan lidah."Waalaikumsalam, bawa masuk saja paket untuk saya."Suara dokter Marzuki yang khas menyapa telingaku tapi anehnya sosoknya tidak terlihat di ruang tamu sama sekali.Aku berpandangan dengan Rama."Kok bisa tahu ya Ram, kalau aku bawa sesuatu untuknya?""Entahlah, tapi dari suaranya sepertinya ada yang aneh,""Aneh, apaan sih? Itu berarti salah satu bukti bahwa kami berjodoh. Tanpa melihat dan aku beritahupun, dokter Marzuki tahu aku akan memberikan sesuatu untuknya," tukasku penuh percaya diri."Ayo masuk saja kalau gitu," sambungku lagi."Mbak, nanti saja. Nunggu dokter Marzuki keluar menemui kita," saran Rama."Loh, tadi kan sudah dipersilakan masuk," tukasku sambil melangkahkan kaki ke ruang tamu dokter Marzuki."Saya masuk ya Dok.""Ya, bawa masuk saja paketnya. Maaf berantakan ya, Ma,""Hah, emejing Ram! Dokter Marzuki sudah memulai memanggil mama dan papa. Fix jodoh!" tukasku dan kurasa hidungku kembang kempis penuh asmara.Sementara Rama terlihat mengernyitkan dahinya."Saya duduk ya, Dok.""Iya. Paket dari siapa Ma? Tolong dibacakan nama pengirimnya.""Hah, nama pengirim? Maksudnya apa?" batinku.Tapi tak urung juga aku menjawab,"Dari ibu saya Dok. Gurami asam manis.""Oalah, baru datang ya paketnya. Padahal sudah saya tunggu-tunggu dari kemarin."Hatiku mulai tumbuh kuncup."I-iya. Kan dokter Marzuki baru datang hari ini ke kampung kami.""Iya sih. Maaf Ma kalau sedikit berantakan. Soalnya belum sempat membersihkan kemarin,"Kuncup hatiku mulai berbunga."Mau dibantu menyapukah?""Wah, boleh Ma kalau tidak merepotkan."'Wah, kesempatan untuk melakukan pendekatan pada dokter Marzuki nih.' Aku melihat ke penjuru ruang tamu dan melihat sapu ijuk yang tergantung."Tapi kalau Mama capek, nggak usah disapu ya.""Nggak capek kok Dok, ini sehat dan semangat."Aku mulai meraih sapu dan mengayunkannya ke lantai ruang tamu."Iya Ma, aku juga kangen banget.""Aduh, Dokter. Kok belum apa-apa sudah berani bilang kangen, sih? Kan baru tadi sore lihat saya manjat pohon mangga?" tanyaku malu.Bunga di hatiku mulai dikelilingi kupu-kupu."Kan baru kemarin berangkatnya. Iya doain bisa mengamalkan ilmu disini ya, Ma."Aku tercekat. Tunggu ini ada yang aneh bin ajaib."Oh iya sudah kalau mau ke mall. Semoga sehat selalu Ma. Salam untuk Papa."Aku bengong dan bunga di hatiku langsung layu."Iya, Marzuki tutup teleponnya ya Ma. Assalamu'alaikum."Dowenggg...Gluduk gluduk jdier!Mamp*s!Tiba-tiba keluarlah sosok dokter Marzuki dari balik kamar sambil menyibak tirai.Mata kami berpandangan dan dia menatap sapu yang ada di tanganku."Loh Mbak yang tadi jatuh dari pohon mangga, kenapa pegang sapu .di rumah saya?""Hahahaha," suara Rama sebagai ganti jawaban atas pertanyaan dokter Marzuki."Ya Allah, bolehkah saya pingsan sekarang?"Next?Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku."Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku."Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang.""Sebe
"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu. Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengi
Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan
Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng