Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu.
"Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?""Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini.Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercanda ya Mbak. Kepala pusing itu pada usia muda, biasanya terjadi karena beberapa hal. Yang pertama adalah anemia atau kurang darah akibat diet atau makanan yang dikonsumsi kurang bergizi dan menstruasi yang berlebihan. Kedua hipoglikemia atau menurunnya kadar gula darah dalam darah, ini disebabkan karena diet sehingga asupan karbohidrat kurang.Yang ketiga teknan darah rendah. Bisa diakibatkan karena kurang istirahat. Lalu yang keempat bisa karena stres. Stresnya macem-macem sebabnya bisa karena faktor pelajaran yang menumpuk, mikirin ulangan, atau pacar. Kalau Mbak Layla ingin mengetahui penyebab pasti pusingnya, silahkan datang ke puskesmas besok. Sudah jelaskan Mbak Layla?" tanya dokter Marzuki panjang lebar.Aku mengangguk dan merasa berdebar. Duh, senyumnya membuat diabetes, kata-katanya membuat jantung berdebar lebih kencang. Kalau bisa jadi istrinya, entah apa yang akan terjadi pada diriku. Ya Allah!"Untuk warga yang lain, ada lagi yang ditanyakan?" tanya dokter yang mirip dengan Rey Mblayang itu tersenyum."Saya!""Saya!""Saya!"Beberapa emak-emak tampak mengangkat tangan, termasuk emakku yang rupanya telah pindah duduk di bangku depan sendiri. Huft, entah kapan ibuku berteleportasi ke sana.Aku menahan tawa, saat melihat reaksi bapak yang mendelik saat melihat ibu ikut mengacungkan tangan. Wah, ada apa dengan wanita yang telah melahirkanku? Apa yang akan ditanyakannya? Semoga bukan pertanyaan aneh bin ngawur."Baiklah, silakan Mbak yang berjilbab hitam di depan." Terdengar suara dokter Marzuki sambil menunjuk teman di samping Juleha."Dokter Marzuki, perkenalkan nama saya Ai, lengkapnya Ai lope you. Eh, bercanda Dok. Nama saya Ayu." Ayu yang duduk di sebelah Juleha bertanya dan tersipu diiringi gumaman dari beberapa warga desa.Hadeuh, Ayu!Dokter Marzuki tertawa meihat Ayu yang sepertinya nervous itu. "Silakan pertanyaannya dilanjutkan Mbak Ayu," kata dokter Marzuki."Saya punya banyak jerawat nih. Boleh dong beri saran agar jerawat saya menghilang dari wajah?" tanya Ayu."Ehem, jerawat ya." Dokter Marzuki tampak berpikir sejenak."Coba Mbak, jerawatnya disayang-sayang. Karena sesuatu yang disayang-sayang biasanya akan menghilang dengan sendirinya."Geeerr lagi. Dan Ayu tampak tersenyum simpul."Kalau masalah jerawat sebenarnya tergantung beberapa hal ya Mbak Ayu, sebenarnya yang lebih berhak menjawab adalah dokter kulit, tapi saya akan menjawab secara umum. Pertama penyebab jerawat itu adalah ketidakseimbangan hormon, stres berlebih, kurang nya menjaga kebersihan wajah, terlalu banyak makan yang berminyak dan juga tidak cocok dalam hal kosmetik."Dokter Marzuki terdiam sejenak memandangi kami yang terdiam dan menunggu lanjutan jawaban dokter Marzuki."Cara agar jerawat berkurang atau menghilang adalah makan-makanan yang segar, buah dan sayur, mengurangi gorengan, menjaga kebersihan wajah, kalau bisa menghindari stres, dan memakai kosmetik yang cocok Mbak Ayu. Seperti itu. Apa bisa dipahami?" tanya dokter Marzuki.Ayu mengangguk dan wajahnya tampak sumringah. Ah, sepertinya bukan hanya wajah Ayu yang sumringah. Tapi wajah semua warga terutama bani Hawa di sini pasti bersemangat mempunyai seorang dokter yang seperti dokter Marzuki.Bapakku melihat arloji sejenak lalu menulis sesuatu di atas kertas dan memberikannya pada dokter Marzuki.Dokter Marzuki menerima secarik kertas tersebut, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk."Baiklah, mengingat jamnya yang terbatas, boleh deh satu pertanyaan lagi. Silakan," kata dokter Marzuki.Beberapa orang mengangkat tangan. Dan suasana di balai desa bergemuruh sekali lagi."Baiklah, karena tadi dua perempuan. Sekarang silakan bapak yang berkopyah hitam dan duduk di depan untuk bertanya," tukas dokter Marzuki tersenyum sambil menunjuk pak Agus yang merupakan pak RT dengan jempol tangan kanannya.Pak Agus pun mengajukan pertanyaan dan dijawab dengan baik pula oleh dokter Marzuki."Baiklah, karena menurut pak Jaka waktu sudah habis, saya berikan lagi micropone ini pada beliau selaku moderator." Dokter Marzuki lalu menyerahkan micropone pada bapakku yang segera menutup acara perkenalan dokter Marzuki.Next?Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng
Dokter Marzuki tersenyum pada Laila dan di sampingnya, Yasmin menatap Laila antara takut dan malu. "Dokter Marzuki?" "Iya. Mbak La."'Wah, kesempatan dan kesemutan nih,' bisik hati Laila riang. 'Tunggu, ini mimpi nggak sih kalau dokter Marzuki ke rumah?' Laila lalu mencubit lengannya dan tak lama kemudian dia mengelus lengannya karena merasa nyeri. 'Wah, nggak ada hujan, nggak ada panas, mendadak ada calon suami dan calon anak sambung bertamu nih,' batin Laila. Dia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Yasmin. "Hai Yasmin cantik! Apa kabar nih? Masuk yuk ke rumah kakak?" tawar Laila mempersilakan anak dokter Marzuki untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hm, iya mbak La, terimakasih ya sebelum nya dan maaf mengganggu. Tapi kami di sini saja. Cuma ingin bertanya dimana alun-alun di daerah sini. Soalnya ..,""Ada siapa, La?" terdengar suara dari belakang punggung Laila. Laila dan Marzuki menoleh ke arah suara itu. "Oh Pak dokter! Kenapa cuma berdiri saja di luar?" tanya Pak Jaka, ayah
"Apa tidak merepotkan dokter Marzuki kalau Laila ikut ke alun-alun?" tanya Pak Jaka menatap dengan tidak enak ke arah dokter Marzuki. Dokter Marzuki menggelengkan kepalanya. "Insyallah tidak. Justru nanti mbak Laila bisa menjadi guide saat saya dan Yasmin kuliner.""Kalau begitu saya ganti baju dulu ya, Dok."Laila melesat ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban dari dokter Marzuki.Di depan kaca, Laila termangu. Dirinya memang termasuk bongsor dengan tulang bahu lebar. Bentuk dada dan pantat lebih subur dari anak seusianya. Jadi dia selalu menganggap bahwa badannya gemuk. "Ck, apa nggak ada baju yang jika dipakai bisa membuat lebih langsing seperti Lina blackping?" gumam Laila kesal. Akhirnya diraihnya baju lengan panjang dan celana kain hitam. Tak lupa jilbab warna navi menutup kepalanya. "Haduh, nggak punya bedak sama lipstik lagi. Udah baju gelap, wajah pucet, ck. Ini mau ke alun-alun apa mau takziyah. Duh Laila!" Laila menepuk jidatnya sendiri."Kamu jadi ikut dokter Marzuki, M
DOKTER 14 Laila dan Yasmin menoleh ke asal suara. Tampak Dokter Marzuki menyedekapkan kedua tangan di dada sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menahan senyum. Terlihat ekspresi wajah gemas juga merasa aneh saat melihat Laila yang baru saja merayap turun dari pohon mangga. "Papa!" seru Laila riang. Marzuki menatap ke arah anaknya dan Laila bergantian. "Wah, kamu dapat layang-layang, Sayang?" tanya Marzuki seraya menatap ke tangan anaknya yang sedang mengacungkan layang-layang itu. "Ya, mbaknya yang dapat. Mbaknya pintar banget manjat pohon, Pa. Kayak monyet!"Marzuki langsung mendelik dan menatap sungkan pada Laila. Sementara itu, Laila tertawa lebar mendengar ucapan polos Yasmin. "Yasmin Sayang. Nggak boleh ya ngatain manusia kayak binatang. Nama mbak ini, mbak Laila.""Panggil saja Mbak La, Min," sahut Laila sambil meletakkan mangga ke meja kayu yang ada di teras rumah dokter Marzuki. "Pa, aku mau dong pintar manjat pohon kayak mbak La!" seru Yasmin dengan bersemangat.